Langsung ke konten utama

Bergerak Bersama Puisi (Pikiran Rakyat, 03/05/09)

"Menjadi penyair hebat harus juga menjadi audiens yang mumpuni" - Walt Whitman

RISALAH Damhuri Muhammad "Kesadaran Puitis & Politik" (Pikiran Rakyat, 5/4) menyiratkan keterpesonaan pada Demonstran Sexy (2008) Binhad Nurrohmat. Sebaliknya Yopi Setia Umbara lewat "Dam, Dam, Dam"(Pikiran Rakyat, 19/04/09), meski judul tersebut terkesan melecehkan Damhuri, sepaham dengan Damhuri terkait kesejajaran kedudukan puisi dan politik yang diangkat keduanya.

Pablo Neruda dikutip Yopi sebelum menyudahi tulisannya. Neruda, salah satu puisinya berjudul "Coretan-coretan untuk Lenin," termasuk penyair besar yang syair-syairnya baik "formal" maupun "materi" terpusat pada relasi timbal-balik antara puisi dan politik yang ini berbeda tajam dengan ekspresi seni yang "terkesan" harus steril dari kepentingan politik. Tema ini dalam sejarah seni abad ke-19 lampau disebut "Seni untuk Seni."

"Seni untuk Seni," jika Yopi Setia Umbara konsisten, itulah pokok kesimpulan yang mungkin dari tulisannya mengingat baginya "Dari zaman baheula sekali pun, puisi merupakan ekspresi seseorang dengan media bahasa, yang berguna sebagai penyucian diri."

Genealogi "Seni untuk Seni" dapat ditelusuri jejaknya pada ekspresi seni yang bervisi seniman dan karya seni hanya dapat diapresiasi segelintir orang; relasi kehidupan seni dan kehidupan keseharian (ordinary life) manusia bersifat antithetical, tak dapat dikombinasikan dan direkonsiliasikan.

Dengan kata lain, pengasingan seniman dari konteks sosial adalah warisan seniman-seniman romantik, terkait pemahaman atas misi Ilahi, anugerah khusus (baca talenta) terkait superioritasnya atas manusia kebanyakan. Dalam kosa-kata pemikir Immanuel Kant, yang karya-karyanya banyak dijadikan pembenaran filosofis seni romantik yang berbuah formalisme itu, apresiasi seni adalah ohne alles interesse (bebas kepentingan sepenuhnya) alias kontemplatif.

Pandangan ini mendapat gempuran paling telak dari para seniman yang menimba gagasan dasar dari filsafat Marx. Meski Karl Marx tidak pernah menulis traktat khusus tentang seni tetapi pandangannya tentang basis dan superstruktur membuka jalur ke arah kesenian revolusioner.

Dalam tafsir yang lazim atas pemikiran filsafat Marx, seni, budaya, hukum, dan agama mengeram dalam superstruktur. Seni (formalis) dituding menebarkan jejaring kesadaran palsu dan berwatak ideologis sehingga harus didobrak. "Art should not be a mirror," pekik kelompok konstruktivis (Soviet), "but a hammer!"

Dalam rangka konfrontasinya dengan Damhuri, apakah Yopi setia dengan argumentasi yang dibangunnya? Tidak. Karena diam-diam ia sepakat dengan Damhuri terkait pokok paling mendasar tulisannya pertama, "kesadaran politik kepada rakyat" dan kedua, masalah transformasi fungsional seni. Perbedaan terletak hanya pada, ungkapan Yopi, "jangan dengan menyederhanakan persoalan, dong."

TERKAIT kumpulan puisi Binhad Nurrohmat, Demonstran Sexy, Damhuri menulis: "Bila ditimbang sebagai `puisi sejati’," puisi-puisi dalam Demonstran Sexy "mendekonstruksi semua `syarat rukun` kadar estetika puisi. Tapi bila diposisikan sebagai `puisi yang terlibat` ia tidak menegaskan sebuah usungan ideologi sebagaimana `puisi-pusi terlibat` lazimnya."

Tulisan di atas mengesankan adanya dua hal. Pertama, puisi-puisi Demonstran Sexy bukan puisi sejati kedua bukan "puisi-puisi terlibat". Kalau Demonstran Sexy dinikmati secara lebih akrab idiom-idiom dalam "puisi sejati" dan idiom-idiom "puisi terlibat" keduanya tampak "bertukar tangkap" begitu intim meski tak dapat dipungkiri Demonstran Sexy memiliki kelihaian mengelak dari aneka definisi.

Simak, misalnya (Republik Puisi) Dari puisi oleh puisi dan untuk puisi; (Karakter Indonesia) Menjadi demokrat sejati /bila punya bakat kompromi; (Teologi Reformasi) Suara rakyat suara tuhan/mari ganyang sang tiran!; (Doa Reformis Sejati)Tuhan, berkahilah Indonesia serta beri selamat dan lindungi kami dari pejabat berwatak jahat; (Perbedaan Penyair) Kau angkatan `66/gue angkatan 69.

Imajinasi tentang doa, gairah, kesejatian, rakyat, demokrasi, reformasi, dan Indonesia melekat kuat dalam benak pengarangnya. Pada tingkat tertentu pengaburan batasan idiom-idiom inilah yang menjadi sekaligus kelemahan dan kekuatan puisi-puisi dalam Demonstran Sexy.

Dalam sejarah seni idealisasi yang terlalu pada "puisi sejati" berdampak pada formalisme. Sebaliknya penekanan berlebihan pada "puisi-puisi terlibat" akhirnya terperosok pada rezim komunisme. Demonstran Sexy rupanya tak mau berjejak secara ekstrim di salah satu kutub sebaliknya ia asyik bermain di antara dua kutub tersebut. Binhad sedang berupaya membuka diri untuk menjadi audiens yang baik atas dinamika kehidupan sosial mereka yang kerap dikucilkan.

Bagaimana menempatkan Demonstran Sexy?

Menurut Bradley dan Esche (2007), menjelang abad ke-21 seni bertransformasi menjadi apa yang disebut sebagai "gerakan tentang gerakan-gerakan" (movement of movements) dari mulai avant-gard modernis berikut gagasan dan komitmen politis yang diusungnya hingga gerakan-gerakan yang secara definitif mengugat modernisme artistik.

"Gerakan tentang gerakan-gerakan" adalah ungkapan seni berbasis kesadaran akan politisasi seni yang merupakan respons terhadap realisasi seni yang sudah selalu terpolitisasi-manakala karya seni melulu dikangkangi kepentingan kelompok dominan.

Kekhasan "gerakan tentang gerakan-gerakan" terletak pada arti penting seni dalam konteks perjuangan politis sebagai suatu pelibatan kebenaran personal, dan kebebasan artistik yang disandarkan pada kebebasan individual. Di samping itu, seni diposisikan sebagai bagian integral kehidupan sehari-hari (Lebenspraxis) keseluruhan anggota masyarakat.

Sayangnya, fenomena "gerakan tentang gerakan-gerakan" yang hendak menjadi "budaya-tandingan" lambat laun terhisap pada budaya yang mau dilawannya terutama dalam konteks kapitalisme global yang makin canggih seperti sekarang.


Demonstran Sexy mendialektikakan dua gagasan seni di atas; pandangan yang memosisikan seni sebagai representasi perkembangan estetika dan gerakan-gerakan seni pendukung avant-gard dalam upaya memutuskan diri dari kungkungan tradisi demi kreativitas seni (puisi), tanpa maksud menuntaskan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya