Langsung ke konten utama

Detektif di Ladang Sastra (Pikiran Rakyat, 31/10/2010)

Dari cara pandang Binhad Nurrohmat kritik sastra selalu perspektif ("Kritik dan Hama Sastra", Pikiran Rakyat, 19 September 2010). Menurut dia, "perspektif selalu punya batas; dan kritik sastra dibatasi perspektifnya. Tiada perspektif total-sempurna." Dua pekan dari tulisan tersebut Maman S. Mahayana menjawab "perspektif dalam kritik sastra bukanlah pendekatan ... Dalam kritik sastra, ada tiga jenis penilaian, yaitu penilaian absolut, relatif, dan perspektif." ("Seolah-olah Kritik Sastra", Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2010). Dua tulisan tersebut berhasil memicu hasrat untuk memikirkan kembali peran kritik dan kritikus sastra.

Atas pernyataan Nurrohmat di atas Mahayana wajib resah karena bila penyataan tersebut diterima sepenuhnya kemungkinan besar kurikulum sastra dan kritik sastra semakin jauh terabaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Jika ruang lingkup kritikus sastra direduksi menjadi sekadar ilmu perspektif maka semua orang, dengan kekayaan sudut pandang (baca perspektif) masing-masing dapat dengan mudah menjadi seorang kritikus. Lalu bagaimana peran program studi ilmu sastra? Uraian saya tak akan melebar ke arah sana.

Kajian atau kritik sastra merupakan bidang penulisan yang berupaya memberikan dasar rasional atas keyakinan bahwa kajian-kajian sastra mampu menciptakan pengetahuan yang bernilai dan bermakna secara akademik. Sementara itu, perspektif, yang dipahami Nurrohmat, tampaknya serupa teropong. Jika kita mengamati pohon cemara dengan menggunakan teropong dari jarak tertentu, yang tampak hanyalah bagian tertentu dari cemara. Dalam arti ini, perspektif nyata benar keterbatasannya karena keseluruhan cemara tak seluruhnya mampu teramati. Akan tetapi, bukankah pada hampir benak semua orang dengan kelengkapan pancaindra tercetak gambar bahwa cemara adalah sejenis pohon yang memiliki batang, dahan, daun, ranting, akar, dan lain sebagainya?

Keterbatasan yang melekat dalam perspektif tidak pernah terbatas secara total. Potensi untuk melampaui keterbatasan tersebut tetap ada. Mengikuti argumentasi kaum eksistensialis ketika seseorang seperti kritikus, seniman, penyair, ilmuwan, dan lainnya, mengetahui keterbatasannya, ia sesungguhnya memiliki potensi untuk melampaui keterbatasannya. Aktualisasi dari potensi tersebut terwujud melalui apa yang disebut sebagai pemaknaan.

Cemara di tangan Chairil Anwar misalnya melahirkan baris puisi Derai-derai Cemara yang anggun dan memesona; Cemara menderai sampai jauh/terasa hari akan jadi malam/ada beberapa dahan di tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam. Pemaknaan serupa juga dilakukan oleh kritikus sastra yang bersahaja yakni yang dapat memaparkan secara argumentatif penilaiannya atas karya sastra dan karya yang dihasilkan kritikus mampu melahirkan pengetahuan dan pemahaman baru baik dari segi khazanah sastra sendiri maupun dari aspek sosialnya yaitu mampu menggerakkan pembacanya.

Penyataan Nurrohmat bahwa "kritik sastra yang baik adalah laku komunikasi yang memperkaya pemahaman dan pemaknaan karya sastra" baru efektif jika sebelumnya melibatkan apa yang disebut Mahayana sebagai apresiasi.

Sesederhana itukah persoalannya? Tidak. Hubungan antara kritikus sastra dan karya sastra pada mulanya adalah hubungan antarbahasa jadi merupakan peristiwa bahasa. Bahasa yang dimiliki kritikus sastra di satu sisi dan bahasa, yang merupakan perluasan dari jati diri pengarang, yang tertuang dalam karya sastra di sisi lain. Pertanyaannya, yang dimaknai itu apakah bahasa-bahasa spesifik dan khas dari karya sastra atau sebaliknya sebelum mengulas karya sastra kritikus terlebih dahulu harus memahami kerangka konseptual (bahasa-bahasa umum) tentang bahasa yang kelak digunakannya untuk menganalisis karya sastra?

Ilmu bahasa mengalami perkembangan pesat. Dalam bahasa (pasca-Ludwig Wittgenstein) berlaku apa yang disebut tekstur terbuka dari bahasa (open texture of language). Frasa ini mau memperlihatkan bahwa bahasa selalu terbuka bagi kemungkinan tafsir-tafsir baru sehingga mengakibatkan tak adanya ketunggalan definisi dan pemahaman yang akurat tentang bahasa sebagaimana contohnya dapat kita simak pada pertikaian di wilayah tafsir atas pasal-pasal hukum di muka pengadilan dan tafsir terhadap risalah-risalah suci yang terkadang berujung pada pengusiran, pengejaran, dan penumpasan.

Sementara itu, Paul de Man dalam apa yang dikenang sebagai perdebatan Baltimore 1966 secara sinis menyatakan, sejarah sastra sebagai disiplin ilmu didominasi oleh konsep-konsep dengan watak dasar melakukan alegorisasi atas periode-periode dan tren-tren (Jean-Michel Rabaté, 2003:93). Artinya, konsep-konsep dipahami terlebih dahulu baru kemudian melakukan pemahaman dan pemaknaan atas karya sastra. Atas dasar ini hubungan kritik sastra dan karya sastra berpotensi mengarah pada gejala seperti tecermin pada ungkapan pagar makan tanaman. Kritikus dengan aneka konsep dan definisi dengan meyakinkan mengobjekkan karya sastra.

Dalam mengapresiasi karya seni, tulis Walter Benjamin (1969:69), pertimbangan si penerima tak pernah dijamin berhasil. Ketidakberhasilan terjadi karena pertama sedari mula telah ditetapkan khalayak yang jadi pembaca. Kedua, pada sesat representasi, apa yang diimajinasikan pengarang berbeda dengan yang dibayangkan kritikus. Ketiga, konsep "yang ideal" menurut si penerima merugikan pertimbangan teoretik tentang seni yang pada keseluruhan aspeknya mengasumsikan eksistensi dan hakikat manusia. Demikian pula halnya seni. Seni mengandaikan eksistensi spiritual dan fisikal manusia. Benjamin menambahkan bahwa tak satu pun dari karya-karya seni berhubungan langsung dengan tanggapan-tanggapan atasnya.

Tak perlu cemas. Terlepas dari persoalan-persoalan di atas nyata bahwa tugas yang dipikul kritikus sastra, dengan berguru pada Benjamin, sekurang-kurangnya ialah ia dituntut untuk dapat menyeimbangkan tegangan antara aspek teoritik di satu sisi dan unsur puitik di sisi lain. Tingkat kesulitan dalam tugas seperti itu serupa dengan kerja seorang detektif swasta yang berniat menangkap pelaku pembunuhan berantai.

Seorang detektif berupaya memecahkan teka-teki dengan cara melakukan penelusuran atas jejak-jejak, mengumpulkan barang bukti, menanyakan pada saksi-saksi dan seterusnya untuk sekadar mencari tahu pola umum di balik kasus pembunuhan yang tengah dihadapi dan membekuk pelaku tetapi di saat bersamaan ia juga dituntut untuk selalu mewaspadai serangan tiba-tiba dan mematikan yang dilancarkan pelaku pembunuhan yang diburunya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya