Heboh terma usang "pribumi" yang diremajakan kembali lewat mulut
Gubernur DKI Jakarta terpilih di pidato pertamannya, membuat saya terkenang mendiang Dick Hartoko.
Bukan. Bukan pada pemikiran
humanioranya yang bersahaja tapi pada tulisan sangat menyentuh hati dari
Sindhunata terkait detik-detik terakhir mangkatnya budayawan besar,
penjaga rubrik legendaris “Tanda-Tanda
Zaman” majalah kebudayaan "Basis."
Salah satu bagian paling menarik dari tulisan Sindhunata yang entah
kenapa selalu susah saya lupakan itu ialah ketika Sindhunata
mengidentifikasikan atau menyejajarkan riwayat hidup dirinya dengan Dick
Hartoko terkait masalah identitas,
silsilah dan atau keturunan. Dick Hartoko berdarah campuran Jawa - Belanda
sedangkan Sindhunata sendiri berdarah Tionghoa - Jawa.
Sindhunata menuliskan bagaimana ketegangan batin terus menerus
menghantui dan menggelisahkan Dick Hartoko sepanjang hidupnya. Di nyaris setiap
pergaulan sosialnya. Siang dan malam sampai ia menghembuskan nafas terakhir.
Di lingkungan sebagian tuan-tuan dan nyonya-nyonya Belanda ia selalu
merasa diri sebagai orang Jawa, bahkan rekan-rekan sepergaulan kalangan Belanda
terpelajar pun banyak, meski tak semua, yang menganggap ia Jawa.
Sebaliknya, di lingkup sebagian orang-orang Jawa sendiri Dick Hartoko,
menurut penuturan Sindhunata, kerap dicap dan merasa diri sebagai orang asing (Belanda).
Pun demikian halnya Sindhunata sendiri yang terkenal sangat dekat
dengan alam pikir Jawa berikut manusia-manusianya.
Saat bergaul dengan seniman atau banyak kalangan budayawan Jawa, ia
selalu masih merasa diri-dan dianggap-sebagai orang Tionghoa.
Sebaliknya, saat kongkow-kongkow
dengan warga keturunan Tionghoa, Sindhunata oleh teman-temannya selalu dilabeli
sebagai orang Jawa bahkan dengan nada yang terkesan sinis dan nyinyir.
Kisah Dick Hartoko dan Sindhunata menemukan momentumnya saat ini,
ketika ada sebagian kalangan, termasuk cerdik pandai dan kalangan penghamba
“click bait” berikut para relawan pengecer aneka jenis info dan berita aneh
tentang pribumi, yakin perbedaan pribumi dengan non-pribumi
adalah perbedaan yang ketat, “clear,”
dan sudah jelas dengan sendirinya hingga tak bisa dipermasalahkan lebih jauh lagi.
Oleh kalangan ini, mereka yang non-pribumi kerap diposisikan sebagai sosok
menyeramkan dan mengancam.
Faktanya, berangkat dari cerita Romo Dick dan Romo Sindhu di muka, apa
yang disebut sebagai pribumi itu sendiri tampak sangat cair, tak mudah
dirumuskan, hasil saling silang keterpengaruhan satu unsur dengan unsur yang lain, serta cenderung absurd, kecuali
tulisan asal usul yang tertera di KTP atau Kartu Keluarga yang selalu harus
jelas. Pribumi seakan-akan selalu "bertukar tangkap dengan lepas," meminjam puisi Amir Hamzah, saat hendak didefinisikan secara ketat.
Kisah Dick Hartoko dan Sindhunata adalah fragmen kecil dari gambaran
besar dan kompleks bagaimana susahnya mengartikan identitas; Persoalan yang
khas dan mendasar bagi warga yang lahir, tumbuh, dan berkembang di sebuah
dunia yang disebut sebagai Dunia Ketiga
(negara-negara korban jajahan bangsa-bangsa lain).
Problem pelik identitas inilah
yang juga tergambarkan dengan
sangat baik di novel Pramoedya Ananta
Toer "Bumi Manusia" dengan tokoh-tokoh seperti Minke (berarti Monkey,
Kera, sebutan dari teman-teman sekolah yang kebanyakan sinyo-sinyo Belanda) Nyai
Ontosoroh, Darsam, Tuan Herman Mellema, Annelies, Jean Marais dan masih banyak
lainnya.
Pada lapangan puisi, puisi-puisi
Sitor Situmorang kerapkali dianggap mencerminkan sebuah pengembaraan batin yang
panjang dan penuh liku sang penyair yang berikhtiar mencari jati diri.
Pergulatan menentukan identitas diri
juga tampil sangat dramatis di buku Frantz Fanon "Wretched of the
Earth" pada era 1960-an, yang diberi kata pengantar oleh salah satu filsuf
Prancis paling berpengaruh Jean Paul Sartre.
Sartre menyebut gejolak yang mengguncang negara-negara Dunia Ketiga
dalam skala global itu dengan pernyataan “the Third World finds itself and
speaks to itself through his voice.”
So, sebelum menyoal tentang pribumi dan non-pribumai, lihatlah diri
kita sendiri. Berikutnya, sebagai makhluk yang dikaruniai akal, bertanyalah dengan jenis pertanyaan
yang paling hakiki lalu menjawabnya dengan jujur; siapa kita? Dari mana kita
berasal? dan siapakah yang kita anggap sebagai orang lain itu?
Saya berharap jawabannya alih-alih mirip judul lagu dangdut yang pernah
populer, "aku mah apa atuh" jawabannya serupa lagu lirik lagu
"Human" dari The Killers, kita adalah manusia bukan sekadar onggokan
benda padat belaka.
Komentar
Posting Komentar