Pulang dari mengantar
orang tua ke Rumah Sakit untuk cek kesehatan, saya mampir ke Warteg. Hari masih
pagi kala itu. Lalu lalang kendaraan lagi
berisik-berisiknya. Tuntas dengan
urusan pesan memesan menu makanan, saya mulai khusyu menyantap makanan yang
tersaji; telor dadar, tumis kacang panjang, dan oreg. Nasi setengah, minumnya
teh tawar hangat bertabur senyum manis si mbak yang singset.
Warteg tak terlalu
ramai, di sela-sela melayani pembeli si mbak nyambi mengepel lantai. Aroma
pembersih lantai yang disiram si mbak, merangsak masuk lobang hidung. Si mbak asyik ngepel sambil berdendang
mengikuti irama lagu yang mengalun dari alat pemutar VCD. Tentu saja ia
menyanyikan lagu dangdut; //Sayang... Opo kowe krungu jerite atiku...
Mengharap engkau kembali...// Sayang nganti memutih rambutku// Ra bakal luntur tresnaku//
Daya hafal si mbak
dalam bernyanyi layak dipuji. Tak hanya hafal lirik lagu, si mba juga fasih
dengan gaya "hip-hop" yang mendadak hadir di tengah-tengah lagu, yang
baru belakangan saya tahu aslinya dinyanyikan Via Vallen, primadona baru
dangdut mazhab Pantura dan Youtube.
Yang menarik pada
lagu dangdut ini ialah dalam satu lagu muncul tiga warna lagu berbeda yaitu dangdut
berbahasa Jawa, dioplos dengan lagu pop dengan lirik bahasa Indonesia, dan di
beberapa bagian muncul hip-hop khas lagu-lagu Barat jaman now. Tak berhenti di
situ, sayup-sayup juga terdengar hentakan ala reggae.
Pencipta dan penata
musik lagu dangdut ini oke juga. Ia tak semata berani mencampuradukan aneka
corak lagu tapi mampu menjadikannya selaras dan enak dinikmati setidaknya oleh
mereka yang menjadi bagian dari jutaan jamaah dangdut yang menontonnya via Youtube.
Bukan bermaksud
bersikap chauvinistis, mengagung-agungkan suku tertentu, tapi dari lagu ini
saya menemukan kekhasan (meminjam
istilah Franz Magnis Suseno dalam menyebut Etika Jawa), pola kultural orang
Jawa yang selalu mampu hidup selaras, piawai menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial kekinian, dan peka membaca gerak-gerik jaman.
Industri musik pop
boleh turun naik bak goyang turun naik tapi dangdut panturaan tetap maju jalan
menghidupi para pemangku kepentingannya (shareholder). Sementara industri
dangdut pertelevisian masih disesaki wajah-wajah lama, dangdut Pantura
menghadirkan regenerasi yang mantap.
Hari sudah siang.
Makanan yang tersaji sudah masuk ke perut. Si mbak pun tak lagi bernyanyi karena terlalu sibuk
meladeni pembeli. Selesai membayar, saya
meninggalkan Warteg, ditingkahi lagu dangdut yang entah dari penyanyi siapa
lagi... (KH)
Komentar
Posting Komentar