Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2018

Hamka dan Dawam; Ketika Gagasan Harus Menjadi Peristiwa

Mengenang M. Dawam Rahardjo (MDR) adalah mengingat salah satu bukunya yang paling berpengaruh "Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim" (1993). Meski kumpulan tulisan, buku ini termasuk sistematis dan komprehensif memotret lanskap, dinamika, serta gagasan-gagasan penting alam pikir muslim Indonesia dari masa ke masa.  Buku-buku dengan gaya serupa, mengetengahkan sebuah penelusuran kritis atas silsilah gagasan, dapat kita sua dari karya-karya, sebut saja, Azyumardi Azra (Jaringan Ulama) dan   Yudi Latief (Genealogi Inteligensia). Salah satu bab di buku ini (Ulama dalam Perubahan Sosial) memperlihatkan bagaimana salah seorang dedengkot Muhamadiyah Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) lewat karya "Tasawuf Moderen" mendapat tempat istimewa  dalam  pemikiran MDR.  Setelah mengulas karya dan kehidupan Hamka, MDR sampai pada kesimpulan; "Hamka, melalui karya-karyanya, telah berbuat banyak untu...

Belajar menjadi Penceramah (4)

Pendekatan akademik dalam ceramah tak pernah ketinggalan. Prof. Quraish Shihab dan Professor Nasaruddin Umar adalah beberapa di antaranya.  Dengan bertitik tolak dari disiplin Tafsir Al Qur'an, kedua professor dari UIN Syarif Hidayatullah ini masih terus memberi pencerahan ke  masyarakat ihwal persoalan-persoalan kemasyarakatan hingga tauhid dengan berlandaskan tafsir atas nash-nash Al Qur'an. Pendekatan tematik yang diketengahkan beliau-beliau, masih mendapat tempat istimewa di kalangan muslim kelas menengah perkotaan, yang haus akan informasi valid tentang dalil-dalil Al Qur'an. Pendekatan akademik memprasyaratkan penguasaan berbagai disiplin ilmu lain dalam cara-cara ceramahnya. Maksudnya, meski bertolak dari ilmu tafsir, baik Prof. Quraish maupun Prof. Nasaruddin Umar jelas sekali menguasai berbagai disiplin ilmu lain misal humaniora, ekonomi, politik, sosial, dll meski secara umum. Wawasan dan pemahaman lintas disiplin ilmu ini (pokok keempat) pentin...

Belajar menjadi Penceramah (3)

"Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati lentera hidup ini". sebait syair ini identik dengan K.H Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Bintang ceramah selanjutnya. Mengusung pendekatan manajemen qalbu ceramah-ceramah Aa sangat meneduhkan. Tema-tema sufistik dikemas secara modern dan disampaikan dengan cara-cara yang menyentuh hati serta kisah-kisah inspiratif. Menyelipkan kisah-kisah inspiratif juga menjadi salah satu kunci sukses ceramah para motivator.  Baik berkaitan dengan kisah pribadi, cerita orang lain, riwayat tokoh-tokoh penting dalam lintasan sejarah atau bahkan mungkin ada di antaranya hasil karangan bebas. Kisah-kisah ini diketengahkan tak lain dengan maksud untuk meyakinkan audiens. Gaya ceramah Aa disebut-sebut menyerupai gaya ceramah dedengkot  Muhammadiya Buya Hamka, penulis salah satu buku paling laris Tasawuf Modern. Di buku karangan Buya Hamka itu, topik-topik penting ilmu tasawuf dikemas secara populer dan dikaitkan dengan kondisi kejiwaan ...

Belajar menjadi Penceramah (2)

Era 80-an dan 90-an adalah masanya para penceramah ulung tampil. Di Cirebon seorang maesenas bernama Yukeng (maaf kalau nulisnya keliru) rutin menyediakan tempatnya bagi singa-singa podium.  Habib Idrus Jamalulail, Abu Hanifah, sesekali ada Habib Riziek, dll memukau hadirin dengan ceramahnya yang menggelegar dan membakar semangat massa.  Waktu itu, tiap pagi saya hanya bisa nguping ceramah beliau-beliau dari tape recorder yang distel tetangga dengan suara sangat keras. Saking seringnya mendengar ceramah-ceramah itu, bawaanya pengen langsung angkat senjata saja berperang melawan kaum kafir. Kelebihan para penceramah mazhab Yukeng ini menurut saya terletak pada pemilihan kata, permainan intonasi suara yang akrobatik, dan pesan-pesan yang disampaikan berhubungan langsung dengan perjuangan umat Islam kala itu, yang baru saja mengalami tragedi Tanjung Priok yang menewaskan kalau tidak salah Amir Biki. Inilah kekhasan pertama cara ceramah yang mampu menyihir hadirin...

Belajar menjadi Penceramah (bagian 1 dari 4 catetan)

Dulu, saban malam Jumat, pesantren tempat saya mesantren di daerah Kadipaten, Majalengka Jabar, rutin menggelar apa yang disebut "khitobah" atau belajar ceramah. Sayangnya, dari puluhan kali malam Jumat hanya beberapa kali sempat saya ikuti kegiatan itu, sisanya kesempatan jadi penceramah muda, selalu saya gunakan untuk kabur, nongkrong sampai larut malam di Perempatan Kadipaten. Kenapa bisa sering kabur?  Tampaknya karena khitobah saat itu menurut saya lebih sekadar rutinitas belaka jadinya tidak menarik dan cenderung membosankan. Khitobah  bagi saya adalah seni berbicara di depan publik. Di belahan dunia Barat kegiatan itu serupa dengan disiplin "retorika" bentuk kuna dari seni berorasi atau sebutan lebih kekiniannya "public speaking";  retorika dalam sistem pendidikan Yunani Kuno (lewat kaum sophis) Abad Pertengahan, hingga puncaknya di era Romawi, ratusan tahun silam, termasuk kurikulum wajib dalam sistem pendidikan mereka (ter...