Langsung ke konten utama

Belajar menjadi Penceramah (2)

Era 80-an dan 90-an adalah masanya para penceramah ulung tampil. Di Cirebon seorang maesenas bernama Yukeng (maaf kalau nulisnya keliru) rutin menyediakan tempatnya bagi singa-singa podium. 

Habib Idrus Jamalulail, Abu Hanifah, sesekali ada Habib Riziek, dll memukau hadirin dengan ceramahnya yang menggelegar dan membakar semangat massa. 

Waktu itu, tiap pagi saya hanya bisa nguping ceramah beliau-beliau dari tape recorder yang distel tetangga dengan suara sangat keras. Saking seringnya mendengar ceramah-ceramah itu, bawaanya pengen langsung angkat senjata saja berperang melawan kaum kafir.

Kelebihan para penceramah mazhab Yukeng ini menurut saya terletak pada pemilihan kata, permainan intonasi suara yang akrobatik, dan pesan-pesan yang disampaikan berhubungan langsung dengan perjuangan umat Islam kala itu, yang baru saja mengalami tragedi Tanjung Priok yang menewaskan kalau tidak salah Amir Biki.

Inilah kekhasan pertama cara ceramah yang mampu menyihir hadirin. Ceramah berkaitan langsung dengan aspirasi orang kebanyakan. Mencerminkan ide, cita-cita, dan perjuangan umat. 

Tak perlu banyak gimmick atau tingkah polah, asal materi bersesuaian dengan geliat di tengah umat, ceramah hampir dipastikan akan memikat. 

Seiring berjalan waktu, pengajian Yukeng redup. Cirebon kembali pada situasi yang khas dunia santri; sunyi dalam mengaji.

Selanjutnya, dengan gayanya yang menghibur K.H Zainuddin MZ memesona jutaan umat di seluruh pelosok Indonesia. 

Beliau bisa melucu tanpa ia sendiri harus ikut tertawa terbahak-bahak bersama khalayak. Beliau tetap cool. 
Gaya busananya necis, tatapan matanya dingin, tapi sekali keluar getar suaranya, bahkan saat sebelum beliau melucu, langsung disambut gerrr luar biasa.

 "Ya bu.. Ya bu" begitu Kyai MZ biasa menyapa hadirin saat hadirin terlihat bete atau ngantuk. Saya tidak tahu kenapa selalu ibu-ibu yang biasa disapa. Mungkin karena ibu-ibu mudah diserang kantuk saat ikut pengajian.

Selain materi-materi ceramah yang mudah dicerna karena diselingi humor-humor cerdas, keistimewaan Kyai MZ adalah ia paham situasi kebatinan jamaah atau mengetahui seluk belik kondisi kejiwaan jamaahnya. Beliau paham kapan harus serius, dan kapan mesti melempar lelucon.

Kemunculan Kyai MZ berbarengan dengan bergairahnya industri pertelevisian yang dikelola swasta. Walhasil, kemahsyuran namanya merentang jauh ke pelosok-pelosok, ceramahnya selalu dipenuhi massa. Beliau pun dijuluki da'i sejuta umat. 

Inilah menurut saya, kunci ceramah kedua, penceramah paham psikologi massa, baik sebelum ceramah maupun saat ceramah.

Bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya