Langsung ke konten utama

Hamka dan Dawam; Ketika Gagasan Harus Menjadi Peristiwa

Mengenang M. Dawam Rahardjo (MDR) adalah mengingat salah satu bukunya yang paling berpengaruh "Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim" (1993).
Meski kumpulan tulisan, buku ini termasuk sistematis dan komprehensif memotret lanskap, dinamika, serta gagasan-gagasan penting alam pikir muslim Indonesia dari masa ke masa. 

Buku-buku dengan gaya serupa, mengetengahkan sebuah penelusuran kritis atas silsilah gagasan, dapat kita sua dari karya-karya, sebut saja, Azyumardi Azra (Jaringan Ulama) dan   Yudi Latief (Genealogi Inteligensia).

Salah satu bab di buku ini (Ulama dalam Perubahan Sosial) memperlihatkan bagaimana salah seorang dedengkot Muhamadiyah Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) lewat karya "Tasawuf Moderen" mendapat tempat istimewa  dalam  pemikiran MDR. 

Setelah mengulas karya dan kehidupan Hamka, MDR sampai pada kesimpulan;

"Hamka, melalui karya-karyanya, telah berbuat banyak untuk "membumikan" dan "mempribumikan" Islam di Indonesia. Ini dia lakukan dengan caranya menginterpretasikan ajaran-ajaran Islam lewat pengalaman-pengalaman hidup yang konkret." 

Hamka memahami  agama sebagai memiliki "daya hidup" atau katakanlah "elan vital" bagi pemeluknya;"' berani hidup' tapi 'tidak takut mati," begitu kira-kira lugasnya. 

Dengan penekanan pada unsur transformatif dalam agama (Islam) jualah gagasan-gagasan MDR bergerak lincah melintasi berbagai disiplin ilmu. Dawam tidak menjadikan filsafat sebagai stasiun terakhir. Ia melanjutkan dengan berfalsafah seperti para pendahulunya, Hamka dan Natsir. 

Falsafah, kata MDR sendiri, berkaitan dengan "renungan-renungan mendalam, untuk mencari hikmah-hikmah hidup." Pencarian hikmah hidup dijelmakan  MDR lewat segudang kegiatan  yang tidak melulu berkutat dalam "asketisme dari ruang baca;" Ia terlibat aktif di tengah geliat masyarakat; berjuang menjadikan gagasan-gagasannya sebuah peristiwa historis.   

Akhirnya, Mas Dawam, begitu beliau disapa, telah tiada. Cendekiawan muslim pemberani itu, meninggal dunia di pertengahan bulan suci Ramadan 1439  hijriah. 

Selamat jalan Mas Dawam. Alfatihah ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...