Langsung ke konten utama

Belajar menjadi Penceramah (bagian 1 dari 4 catetan)



Dulu, saban malam Jumat, pesantren tempat saya mesantren di daerah Kadipaten, Majalengka Jabar, rutin menggelar apa yang disebut "khitobah" atau belajar ceramah.

Sayangnya, dari puluhan kali malam Jumat hanya beberapa kali sempat saya ikuti kegiatan itu, sisanya kesempatan jadi penceramah muda, selalu saya gunakan untuk kabur, nongkrong sampai larut malam di Perempatan Kadipaten.

Kenapa bisa sering kabur? 

Tampaknya karena khitobah saat itu menurut saya lebih sekadar rutinitas belaka jadinya tidak menarik dan cenderung membosankan.

Khitobah  bagi saya adalah seni berbicara di depan publik. Di belahan dunia Barat kegiatan itu serupa dengan disiplin "retorika" bentuk kuna dari seni berorasi atau sebutan lebih kekiniannya "public speaking"; 

retorika dalam sistem pendidikan Yunani Kuno (lewat kaum sophis) Abad Pertengahan, hingga puncaknya di era Romawi, ratusan tahun silam, termasuk kurikulum wajib dalam sistem pendidikan mereka (terkenal dari tiga kurikulum pokoknya retorika, gramatika, logika, dan beberapa pokok lain sebagai perkembangannya).

Rumusan paling tua menyatakan bahwa retorika adalah kemampuan untuk melihat kemungkinan mempersuasikan (membujuk, memotivasi) segala sesuatu kepada hadirin--apapun materi yang disampaikan--untuk selanjutnya mengikuti apa yang dikehendaki penceramah.

Berbeda dari percakapan atau dialog, ceramah memerlihatkan watak monolog, berbicara sendirian tanpa perlu tanggapan langsung dari hadirin atau audiens. 

Meski pada praktiknya ada tanya jawab, pada ceramah (monolog), tanya jawab itu berlangsung pasif; selesai pertanyaan dijawab, habis perkara.

Selain itu, sementara dalam dialog para pihak yang terlibat, sama-sama melibatkan ketertiban berpikir yang ketat, pada ceramah (monolog) cenderung mengabaikan ketertiban itu dan semata berupaya membujuk hadirin memercayai apa-apa yang disampaikan penceramah dengan teknik-teknik penyampaian materi ceramah yang khas.

Nah, mungkin karena dulu saya tidak terlalu serius mengikuti praktik khitobah, dampaknya, setiap saya melihat tokoh-tokoh yang dikenal sebagai penceramah terkemuka lokal maupun "interlokal", baik langsung maupun tidak langsung, misal lewat TV, siaran radio, sekarang Youtube dll, 

pusat perhatian saya pertama-tama selalu tertuju pada cara penyampaian materi dari sang penceramah, yang setelah saya amat-amati masing-masing ternyata memiliki kekhasan dan karakter yang berbeda-beda. 

Seperti apakah itu?

Lanjut ke bagian kedua yaaa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya