Dulu, saban malam Jumat, pesantren tempat saya mesantren di daerah Kadipaten, Majalengka Jabar, rutin menggelar apa yang disebut "khitobah" atau belajar ceramah.
Sayangnya, dari puluhan kali malam Jumat hanya beberapa kali sempat saya ikuti kegiatan itu, sisanya kesempatan jadi penceramah muda, selalu saya gunakan untuk kabur, nongkrong sampai larut malam di Perempatan Kadipaten.
Kenapa bisa sering kabur?
Tampaknya karena khitobah saat itu menurut saya lebih sekadar rutinitas belaka jadinya tidak menarik dan cenderung membosankan.
Khitobah bagi saya adalah seni berbicara di depan publik. Di belahan dunia Barat kegiatan itu serupa dengan disiplin "retorika" bentuk kuna dari seni berorasi atau sebutan lebih kekiniannya "public speaking";
retorika dalam sistem pendidikan Yunani Kuno (lewat kaum sophis) Abad Pertengahan, hingga puncaknya di era Romawi, ratusan tahun silam, termasuk kurikulum wajib dalam sistem pendidikan mereka (terkenal dari tiga kurikulum pokoknya retorika, gramatika, logika, dan beberapa pokok lain sebagai perkembangannya).
Rumusan paling tua menyatakan bahwa retorika adalah kemampuan untuk melihat kemungkinan mempersuasikan (membujuk, memotivasi) segala sesuatu kepada hadirin--apapun materi yang disampaikan--untuk selanjutnya mengikuti apa yang dikehendaki penceramah.
Berbeda dari percakapan atau dialog, ceramah memerlihatkan watak monolog, berbicara sendirian tanpa perlu tanggapan langsung dari hadirin atau audiens.
Meski pada praktiknya ada tanya jawab, pada ceramah (monolog), tanya jawab itu berlangsung pasif; selesai pertanyaan dijawab, habis perkara.
Selain itu, sementara dalam dialog para pihak yang terlibat, sama-sama melibatkan ketertiban berpikir yang ketat, pada ceramah (monolog) cenderung mengabaikan ketertiban itu dan semata berupaya membujuk hadirin memercayai apa-apa yang disampaikan penceramah dengan teknik-teknik penyampaian materi ceramah yang khas.
Nah, mungkin karena dulu saya tidak terlalu serius mengikuti praktik khitobah, dampaknya, setiap saya melihat tokoh-tokoh yang dikenal sebagai penceramah terkemuka lokal maupun "interlokal", baik langsung maupun tidak langsung, misal lewat TV, siaran radio, sekarang Youtube dll,
pusat perhatian saya pertama-tama selalu tertuju pada cara penyampaian materi dari sang penceramah, yang setelah saya amat-amati masing-masing ternyata memiliki kekhasan dan karakter yang berbeda-beda.
Seperti apakah itu?
Lanjut ke bagian kedua yaaa
Komentar
Posting Komentar