Langsung ke konten utama

Film Wiro Sableng; Susahnya Merekayasa Kesablengan


Saat kesablengan digarap dengan keseriusan tingkat tinggi, ada dua kemungkinan sebagai hasil; pertama, semakin sableng dan kedua, semakin waras.
Film Wiro Sableng (20th Century Fox Pictures & LifeLike Pictures, 2018) semakin sableng tidak, semakin waras pun tidak. Mungkin ada di antara sableng dan waras.
Wiro Sableng, adalah pahlawan super bercita rasa nusantara. Lagaknya tengil, kurang waras, jago silat dan punya banyak ajian sakti, urakan tapi baik hati dan suka menolong. Karakter ini dengan susah payah coba dibangun lewat akting Vino G. Bastian.
Menyimak alur cerita dan para tokohnya, film Wiro sepertinya adaptasi dari tiga novel Bastian Tito yaitu Empat Berewok dari Gua Sanggreng, Maut Bernyanyi di Pajajaran, dan Dendam Orang-orang Sakti.
Wiro diselamatkan Eyang Sinto Gendeng (Ruth Marini) saat kampungnya diamuk gerombolan kejam pimpinan Mahesa Birawa (Kakak seperguruan Wiro, diperankan Yayan Ruhiyan). Orang tua Wiro (Happy Salma & Marcel Siahaan) dihabisi Mahesa di depan mata Wiro.
Wiro tumbuh dan besar dalam buaian dendam kesumat pada si Mahesa; Mahesa kelak berkomplot dengan para pengkhianat kerajaan melancarkan kudeta. Film Wiro mengisahkan pangembaraan Wiro memburu Mahesa.
Karena coba meringkas tiga novel sekaligus, film Wiro menjadi penuh sesak oleh jalinan cerita serta tokoh-tokoh ikonik novel Wiro Sableng termasuk Anggini (Sherina) yang tiba-tiba diplesetkan Wiro jadi Syahrini, Dewa Tuak (Andy /Rif), Bidadari Angin Timur (Marsha T) Dll.
Lantaran berisi timbunan kisah dan tokoh inilah, film Wiro tak bisa saya nikmati. Alih-alih menikmati kesablengan khas Wiro, saya malah dibuat sableng (baca bingung) sendiri. Ternyata, susah yah merekayasa kesablengan.
Dimensi waktu dan ruang yang khas Bastian Tito, penulis novel Wiro Sableng, misal sepeminuman teh, sepelemparan batu, dan perhitungan periode berbasis purnama misalnya, hilang di film ini.
Kendati secara alur tak bisa dinikmati, beberapa bagian film Wiro terbilang istimewa mencakup pertama, film dibuka dengan narasi ihwal filsafat silat yang konon berhubungan dengan "dhukka", "dharma", dan kemanunggalan.
Kedua, suguhan visual harus diakui sungguh spektakuler. Nama besar 20th Century Fox yang rajin memroduksi film-film Holywood menjadi pertaruhan seandainya visualitas film Wiro tak berkelas. Film Wiro berhasil di sini.
Ketiga, sajian musiknya sungguh ciamik. Meski bertema agak kolosal khas kerajaan di nusantara, penata musik memasukan unsur rock yang bergemuruh hingga cukup sukses membunuh kejenuhan.
Memasukan unsur rock adalah sebuah keputusan berani dan ini mengingatkan saya pada film Django Unchained (2012) besutan Quentin Tarantino. Di situ film bertema koboy, dipadupadankan dengan musik dari berbagai genre termasuk hip hop.
Keempat, Yayan Ruhiyan menunjukkan kelasnya sebagai pemeran antagonis kaliber internasional. Dia berhasil bikin kesel dan gemes. Yayan juga berhasil menularkan virus koreografi silat yang aduhai di film ini.
Selain Yayan, akting mengejutkan ditampilkan Andy /Rif (Dewa Tuak) dan si gembul pemeran Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi).
Marsha Timothy sungguh tampil anggun dan elegan di sini. Dia layak menjadi Bidadari Angin Timur, meski berparas sangat Barat. Kemunculan sang bidadari yang serba dadakan menjadi keanehan tersendiri di film ini.
Bagaimana dengan Dek Sherina? Doi masih identik dengan film Petualangan Sherina.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya