Bergson yang hidup antara 1859-1914 di Paris, Prancis ini,
bukan orang sembarangan. Meski di kalangan tertentu ia dikenal sebagai ahli
filsafat yang pengaruhnya awet hingga kini lewat orang bernama Gillez Deleuze
yang telah dengan sabar dan setia mengurai keruwetan pemikiran Bergson,
khalayak justru lebih mengenal Bergson sebagai peraih nobel sastra pada 1928.
Urusan Bergson dengan film bermula saat ia berpandangan,
cara kerja film meniru praktik keseharian kita, terutama berkaitan dengan cara
bagaimana kita memahami dan memaknai lingkungan sekitar.
Contohnya kira-kira begini. Pagi tadi, sebelum sarapan, saya
mengawali hari dengan bercakap-cakap bersama beberapa teman lama di sebuah WAG.
Tak lama setelah itu, saya sarapan. Selesai sarapan saya menikmati secangkir
kopi Toraja dan menghisap sebatang rokok, sambil mengamati pergerakan lini masa
teman-teman FB.
Lagi asyik-asyiknya fesbukan, saya dikejutkan dengan suara
tik tik tik bunyi hujan di atas genting. Ko gerimis sih, kata saya dalam hati.
Saya melongok ke langit, sedikit mendung. Gerimis tak berlangsung lama
ternyata.
Cerita di atas (saya kasih judul saja "Pagiku adalah
Bukan Pagimu" biar kaya judul-judul sinetron yang lagu backsoundnya berbunyi
"ku 'menangiiiiis membayangkan betapa kejamnya dirimu... " silakan
teruskan di dalam hati kalian) tersusun oleh bagian-bagian kecil yang saya
cuplik dari bagian besar pengalaman saya pagi tadi.
Kerja film ternyata juga seperti itu. Plot film yang disajikan
dengan memadukan suara dan rupa itu, tersusun dari rangkaian gambar-gambar
(snapshot) pilihan sutradara yang kemudian disatukan dan digerakan dalam durasi
waktu tertentu di ruang editing.
Durasi film yang di mata awam akan dianggap konkret, misal 2
jam, 1 jam dan seterusnya, di mata Bergson akan dinilai sebagai abstrak. Aneh
memang tapi biarin ajalah namanya juga filosof. Tapi, setidaknya kenapa disebut
abstrak, sepertinya karena durasi film, diambil begitu saja dari durasi semesta
yang selalu dalam pergerakan dan perkembangan.
Meski menaruh perhatian besar pada film yang diakui sendiri
oleh Bergson sebagai produk dari kemajuan teknologi, dan pernah dijadikan
analogi untuk memperjelas posisi pemikirannya tentang--kalau tidak salah—“ingatan”
di buku "Creative Evolution," Bergson selalu menolak saat disuruh
berpose di depan kamera dan jarang sekali pergi ke bioskop untuk menonton.
Sekali waktu, Bergson menduduki jabatan penting di salah
satu institusi pendidikan bergengsi di Paris. Sebuah perusahaan penerbitan di
sana bermaksud mengabadikan Bergson dalam sebuah film. Turut hadir juga di
momen itu seseorang, kemungkinan jurnalis, yang menjelaskan momen-momen saat
Bergson diarahkan untuk syuting, lengkap dengan set di kediaman Bergson yang
penuh dengan bunga.
"Bisa Anda bayangkan?" Kata Bergson mengejutkan si
jurnalis, "sebuah perusahaan film meminta saya berpose."
Bergson yang mengenakan mantel ramping, menurut kesaksian si
jurnalis, duduk di kursi yang kiri dan kanannya penuh bunga. Senyuman menghiasi
wajahnya. Saat take, Bergson terlihat grogi. Pipinya memerah, matanya selalu
tertunduk. Saat bicara, Bergson selalu menampilan gerakan alamiah memiringkan
kepala seperti sedang berpikir keras. Suara yang ke luar dari mulutnya,
terdengar mirip erangan seekor kambing.
Mungkin merasa tak berdaya, Bergson akhirnya berkata,
"Meski sinematografi menarik minat saya sama seperti ketertarikan saya
pada penemuan-penemuan baru, saya menolak," begitu katanya.
Bergson melanjutkan "fisuf harus mencatat
peristiwa-peristiwa apa saja di kehidupan eksternalnya, termasuk hal-hal baru,
sebagaimana telah saya terapkan di filsafat yang selalu mendasarkan pada
pengalaman.
Bergson menutup pernyataannya dengan kalimat kira-kira,
sinematografi jika bisa menghibur banyak orang, ia juga bisa menolong para
cendekiawan, seniman, sejarahwan, dan bahkan filsuf. Tapi, Bergson
mewanti-wanti, pengakuan filsuf, pada film tak bisa secara serta merta
diperluas dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai subyek bagi sinematografi,
pungkas Bergson.
Saya tak tahu apakah penjelasan panjang lebar Bergson adalah bagian dari cara "ngeles tingkat filsuf" lantaran merasa rikuh berakting di depan kamera, atau memang betul-betul ke luar dari perenungan mendalamnya sebagai filsuf hebat. Yang jelas posisi Bergson ini berbeda dengan orang Prancis lain, Jacques Derrida yang menikmati bergaya di depan kamera.
Komentar
Posting Komentar