Langsung ke konten utama

Bergson Ogah Main Film

Henri Bergson (www.offscreen.com)
Sejak kemunculannya di peralihan abad 19 ke abad 20, film atau gambar bergerak, telah memicu ragam reaksi. Tak hanya dari kalangan awam yang cuma tahu asyiknya nonton film, tanggapan pada film juga muncul dari para seniman, teknokrat, birokrat, konglomerat, hingga ahli filsafat seperti pernah dialami oleh tokoh kita kali ini: Henri Bergson.

Bergson yang hidup antara 1859-1914 di Paris, Prancis ini, bukan orang sembarangan. Meski di kalangan tertentu ia dikenal sebagai ahli filsafat yang pengaruhnya awet hingga kini lewat orang bernama Gillez Deleuze yang telah dengan sabar dan setia mengurai keruwetan pemikiran Bergson, khalayak justru lebih mengenal Bergson sebagai peraih nobel sastra pada 1928.

Urusan Bergson dengan film bermula saat ia berpandangan, cara kerja film meniru praktik keseharian kita, terutama berkaitan dengan cara bagaimana kita memahami dan memaknai lingkungan sekitar.

Contohnya kira-kira begini. Pagi tadi, sebelum sarapan, saya mengawali hari dengan bercakap-cakap bersama beberapa teman lama di sebuah WAG. Tak lama setelah itu, saya sarapan. Selesai sarapan saya menikmati secangkir kopi Toraja dan menghisap sebatang rokok, sambil mengamati pergerakan lini masa teman-teman FB.

Lagi asyik-asyiknya fesbukan, saya dikejutkan dengan suara tik tik tik bunyi hujan di atas genting. Ko gerimis sih, kata saya dalam hati. Saya melongok ke langit, sedikit mendung. Gerimis tak berlangsung lama ternyata.

Setelah gerimis sirna, sebuah pesawat melintas di angkasa. Gemuruh suaranya terdengar sangat dekat dengan telinga. Saya ya santai
saja lah wong di kawasan Jakarta Timur ini, suara bising dari pesawat hilir mudik di angaksa sudah biasa koq.

Cerita di atas (saya kasih judul saja "Pagiku adalah Bukan Pagimu" biar kaya judul-judul sinetron yang lagu backsoundnya berbunyi "ku 'menangiiiiis membayangkan betapa kejamnya dirimu... " silakan teruskan di dalam hati kalian) tersusun oleh bagian-bagian kecil yang saya cuplik dari bagian besar pengalaman saya pagi tadi.

Kerja film ternyata juga seperti itu. Plot film yang disajikan dengan memadukan suara dan rupa itu, tersusun dari rangkaian gambar-gambar (snapshot) pilihan sutradara yang kemudian disatukan dan digerakan dalam durasi waktu tertentu di ruang editing.

Durasi film yang di mata awam akan dianggap konkret, misal 2 jam, 1 jam dan seterusnya, di mata Bergson akan dinilai sebagai abstrak. Aneh memang tapi biarin ajalah namanya juga filosof. Tapi, setidaknya kenapa disebut abstrak, sepertinya karena durasi film, diambil begitu saja dari durasi semesta yang selalu dalam pergerakan dan perkembangan.

Meski menaruh perhatian besar pada film yang diakui sendiri oleh Bergson sebagai produk dari kemajuan teknologi, dan pernah dijadikan analogi untuk memperjelas posisi pemikirannya tentang--kalau tidak salah—“ingatan” di buku "Creative Evolution," Bergson selalu menolak saat disuruh berpose di depan kamera dan jarang sekali pergi ke bioskop untuk menonton.

Sekali waktu, Bergson menduduki jabatan penting di salah satu institusi pendidikan bergengsi di Paris. Sebuah perusahaan penerbitan di sana bermaksud mengabadikan Bergson dalam sebuah film. Turut hadir juga di momen itu seseorang, kemungkinan jurnalis, yang menjelaskan momen-momen saat Bergson diarahkan untuk syuting, lengkap dengan set di kediaman Bergson yang penuh dengan bunga.

"Bisa Anda bayangkan?" Kata Bergson mengejutkan si jurnalis, "sebuah perusahaan film meminta saya berpose."

Bergson yang mengenakan mantel ramping, menurut kesaksian si jurnalis, duduk di kursi yang kiri dan kanannya penuh bunga. Senyuman menghiasi wajahnya. Saat take, Bergson terlihat grogi. Pipinya memerah, matanya selalu tertunduk. Saat bicara, Bergson selalu menampilan gerakan alamiah memiringkan kepala seperti sedang berpikir keras. Suara yang ke luar dari mulutnya, terdengar mirip erangan seekor kambing.

Mungkin merasa tak berdaya, Bergson akhirnya berkata, "Meski sinematografi menarik minat saya sama seperti ketertarikan saya pada penemuan-penemuan baru, saya menolak," begitu katanya.

Bergson melanjutkan "fisuf harus mencatat peristiwa-peristiwa apa saja di kehidupan eksternalnya, termasuk hal-hal baru, sebagaimana telah saya terapkan di filsafat yang selalu mendasarkan pada pengalaman.

Bergson menutup pernyataannya dengan kalimat kira-kira, sinematografi jika bisa menghibur banyak orang, ia juga bisa menolong para cendekiawan, seniman, sejarahwan, dan bahkan filsuf. Tapi, Bergson mewanti-wanti, pengakuan filsuf, pada film tak bisa secara serta merta diperluas dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai subyek bagi sinematografi, pungkas Bergson.

Saya tak tahu apakah penjelasan panjang lebar Bergson adalah bagian dari cara "ngeles tingkat filsuf" lantaran merasa rikuh berakting di depan kamera, atau memang betul-betul ke luar dari perenungan mendalamnya sebagai filsuf hebat. Yang jelas posisi Bergson ini berbeda dengan orang Prancis lain, Jacques Derrida yang menikmati bergaya di depan kamera. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...