Ciputat awal tahun 2000an. Itu
masa ketika saya masih menjadi pendengar setia
radio M97 FM yang berhaluan rock klasik.
Nyaris saban hari, kuping
saya disesaki lagu-lagu Goodbye to Romance, Dreamer, No
More Tears (Ozzy Osboourne); musik-musik megah dan bergemuruh macam Kashmir, Achiles Last Stand (Led Zepppelin); Highway Star, Burn
(Deep Purple); Another Brick in the Wall (Pink Floyd); dan tak ketinggalan Mustafa Ibrahim dari Queen;
Ada juga lagu-lagu misterius yang membius seperti A Whiter Shade
of Pale (Procol Harum) Stairways
to Heaven (Led Zeppelin), House of the Rising Sun (Animal)
hingga Litle Wing, Purple Haze,
dan All Along the Watchtower (Jimi Hendrix); lagu yang disebut terakhir
aslinya milik Bob Dylan tapi kalah kesohor
dari versi Jimi Hendrix.
Masih banyak lagu-lagu
yang kerap di putar di M97 FM
termasuk rentetan hits dari The Beatles dan Rolling Stones. Dari M97
FM juga, saya bernostalgia dengan lagu-lagu lama Metallica yang pernah akrab di telinga saya
semasa SLTP dan SLTA seperti
lagu-lagu di album Black Album,
And Justice for All, Master of Puppets, Garage Inc, dan Kill Em All.
M97 FM tak hanya memutar lagu-lagu rock lawas.
Sesekali dihadirkan seorang bintang tamu untuk sekadar bincang-bincang
tentang musik rock klasik. Salah satu
bintang tamu yang sempat saya pantengin
topik pembicaraannya, adalah saat M97 FM
mengundang seorang penyair.
Nama penyair
terdengar asing bila dibandingkan dengan
Rendra, Sutardji Calzoum Bachri,
Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Najib dan
Goenawan Mohamad yang puisi-puisinya pernah saya baca. Seingat
saya, penyair yang diundang di studio M97 FM itu memperkenalkan
diri sembari membacakan puisinya, berikut
petikan puisinya;
Ini pembicaraan rahasia
Yang bukan intel tak ambil
bagian:
------------------------------------------------------------------------------------------------
L A P O R A N
Nama : Hasyim Wahid
Pekerjaan : Penganggur terselubung, pembangkang
terbuka
Catatan : Yang bersangkutan sepanjang
hidupnya tidak
pernah melakukan
kebaikan sebagai warganegara
Laporan selesai
-------------------------------------------------------------------------------------------------
(Puisi Pembicaraan
Rahasia, dalam Bunglon!, 2005)
Terselubung dan terbuka
Terselubung dan terbuka
Puisi Pembicaraan Rahasia
dari Hasyim Wahid (selanjutnya disebut
Gus Im) terasa sangat percaya diri, berani, dan tanpa basa basi. Ini mengingatkan saya
pada puisi-puisi pengemban amanat penderitaan rakyat yang kerap disuarakan penyair Wiji Thukul, seperti terbaca di salah satu puisinya Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa;
aku bukan artis pembuat
berita
tapi aku memang selalu
kabar buruk buat
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan
berdesakan
mencari jalan
Di tangan Gus Im dan Wiji Thukul, puisi menjadi jalan lain
untuk menampilkan diri secara otentik dalam artian lepas dari
pernak-pernik artifisial yang
membungkusnya, baik jabatan, profesi atau lainnya. Di puisi, Gus Im tampak nyaman dengan sebutan “penganggur
terselubung” dan “pembangkang terbuka,” dari pada menyebut diri sebagai salah
seorang yang memiliki kedudukan penting di partai politik atau di pemerintahan
yang nota bene adalah jabatan resminya.
Penyematan “penganggur terselubung” dan
“pembangkang terbuka” ini bagi saya sangat menarik karena menyiratkan cara Gus Im
memperkenalkan siapa dan
bagaimana dirinya ke khalayak.
Gus Im oleh kalangan terdekatnya dikenal sebagai
sosok eksentrik dan misterius;
ketokohannya selalu lebih dulu sampai ke telinga publik dari pada
perwujudan ragawinya. Mirip penyair Umbu Landu Paranggi barangkali.
Gus Im, setidaknya mengacu pada
puisi Pembicaraan Rahasia, tampaknya merupakan sosok yang selalu berada dalam
tarik menarik antara kutub “terselubung”
dan “terbuka.”
Ketegangan atau tarik menarik
serupa terasa juga dari Wiji Thukul yang
menyebut diri //aku bukan artis pembuat berita// tapi aku memang selalu kabar
buruk buat/penguasa// Ketegangan pun semakin jelas saat Wiji Thukul menyebut //puisiku bukan
puisi/tapi kata-kata gelap//
Thukul menyebut ia bukan “pembuat
berita” tapi karena ia mendaku diri sebagai “mimpi buruk buat penguasa” Thukul
selalu hadir, meski dalam bentuk
bayang-bayang gelap, di benak aparatur negara. Selain itu, Thukul boleh saja menyangkal puisinya bukan puisi, tapi para pembacanya
mengenal Thukul sebagai penyair yang rajin menulis puisi.
Selain masalah tarik menarik
antara yang terselubung dan yang terbuka dalam menunjukkan eksistensi
kepenyairan, titik temu Gus Im dan Wiji
Thukul lain terlihat dari perhatian keduanya pada rock klasik.
Psikedelik
Tak diragukan lagi, kehadiran Gus
Im di M97 FM seperti telah saya
singgung di bagian-bagian awal tulisan, adalah karena Gus Im dikenal luas di kalangan pecinta musik
sebagai penggemar rock klasik. Kecintaan Gus Im tergambar dari salah satu puisi, Tentang
Jimi Hendrix.
Permisi! Biarkan aku
mencium langit!
Katanya
lantas dia teriak dan
mainkan gitarnya
sampai langit jadi murka
lalu langit kirimkan luka
ke dalam kerongkongannya
lantas dia menggeliat
dan keraskan teriakannya
lalu langit kirimkan
neraka
ke dalam jari jemarinya
lantas dia jadi tambah
menderita
dan kemudian mendera
tali-tali gitarnya
lalu langit kirimkan cinta
ke dalam hatinya
kali ini langit salah duga
–
pada puncak kasmaran
dia katakan lagi:
Permisi! Biarkan aku
mencium langit!
Jimi Hendrix adalah penyayi dan
gitaris legendaris kelahiran Seattle, Washington yang hidup antara 1942-1970.
Di mata para penggemar fanatiknya, Jimi Hendrix sering dianggap sebagai gitaris yang telah memainkan
insturmen gitar dari yang tak ada
menjadi ada hingga yang mungkin akan ada.
Purple Haze menjadi salah satu lagu Jimi Hendrix yang membuat Gus
Im terpesona. Jimi Hendrix sendiri menyebut Purple Haze tercipta
setelah ia bermimpi berjalan di bawah
laut dan dikelilingi kabut ungu yang
lambat laun mendesak dan melenyapkannya. Tapi, di kalangan pemerhati Jimi
Hendrix ada kepercayaan, Puple Haze tercipta setelah Jimi
Hendrix teler berat.
Permisi! Biarkan aku mencium
langit! di puisi Tentang
Jimi Hendrix adalah terjemahan bebas Gus Iim untuk bait di Purple Haze yang
berbunyi Excuse me while I kiss the sky. Jimi Hendrix
digambarkan Gus Iim sebagai sosok
yang perkasa, penuh percaya diri, dan
memiliki energi luar biasa.
Jimi Hendrix berkehendak melawan
kekuatan yang jauh di atasnya. Meski
pergumulan terasa tak imbang, Jimi Hendrix tak gentar. Bahkan, ketika
Jimi Hendrix terpuruk dan kepayahan mendapat gelombang serangan dari langit,
bukannya menyerah, Jimi Hendrix malah
terus menyeru Permisi! Biarkan
aku mencium langit!
Selain Jimi Hendrix, seingat
saya, di siaran radio itu Gus Im juga
membacakan satu lagi puisi yang bertolak dari lirik musik rock, khususnya
metal, saat ia menerjemahkan secara bebas lirik Sad But True dari
Metallica. Sayang sekali, saya lupa dan tak menemukan secara lengkap bunyi
puisinya.
Menarik bahwa rock klasik juga
mendapat tempat istimewa di hati Wiji
Thukul seperti terbaca dari puisi Sajak Untukmu (dalam Aku Ingin
Menjadi Peluru, 2004) yang membicarakan
grup musik Pink Floyd. Berikut adalah petikan puisinya;
sapaan anjing dari
kelompok pink floyd rasuk ke darah
inilah pekerjaanku siang
ini
memandangi langit silau
merenungi gelisah kusut
keringat liar mengalir di
dalam dan tubuh lelah.
di dalam darah dada tulang
dan rasa
bayang-bayang berlarian
dan angin selatan meyakinkan
ragunya
ini bukan selatan, bukan,
ini bukan utara, bukan bukan,
bukan
ini bukan barat bukan
timur
ya siang itu masing-masing
arah tak yakin pada
posisinya
Puisi Sajak Untukmu di
atas terasa berbeda dari kebanyakan puisi-puisi Wiji Thukul yang umumnya bernada
perlawanan terbuka, protes keras pada praktik-praktik penindasan,
penuh siasat, dan disampaikan secara
lugas. Sajak Untukmu mendadak dipenuhi perlambang; puisi ini seperti jalan memutar untuk melakukan
perlawanan khas Thukul.
Seperti Jimi Hendrix dan
komplotannya. The Jimi Hendrix Experience, Pink Floyd yang dituliskan Wiji
Thukul, juga sering digolongkan pada grup musik berhaluan psikedelik; inspirasi
di balik proses kreatif bertolak dari explorasi bagian “ketidaksadaran” musisi,
yang seringkali kemunculannya mesti dirangsang oleh penggunaan obat-obatan dan
atau, sebagai alternatif, melalui mimpi, karena saat bermimpi terjadi pergesekan antara
“ketidaksadaran” dengan “kesadaran.”
Bagian “ketidaksadaran” perlu
digali dan ditampilkan mengingat, seperti terbaca di sejarah estetika Barat era generasi bunga
(periode 60an dan 70-an), kesadaran, via rasio, telah dikonstruksi dan
dikendalikan sedemikian rupa oleh berbagai kepentingan terutama yang berporos pada
apa yang kini dipahami sebagai mekanisme
pasar lewat industri massa.
Kendati demikian, hal di atas
bukan berarti seorang praktisi psikedelik menuliskan karyanya dalam kondisi tak
sadar. Mereka tetap dalam kondisi sadar tapi dengan kecurigaan penuh pada rasio
dan bahkan berusaha sekuat tenaga untuk
membebaskan diri dari kendali
rasio, demi tercipta hubungan timbal
balik antara yang terselubung dengan
yang terbuka, yang laten dengan
yang terwujud.
Terlepas dari urusan “sadar” dan
“tak sadar,” yang paling mengesankan dari puisi Tentang Jimi Hendrix adalah kemampuan Gus Im menyerap semangat
surealisme (aliran kesenian yang menjadi
ibu bagi psikedelik) yang menyelinap di
balik permainan musik Jimi Hendrix, seraya mendaratkannya pada sebuah peleburan
antara “yang sakral” dengan “yang profan.”
Begini. Jika langit yang
mengirimkan cinta ke dalam hati Jimi Hendrix ditempatkan sebagai simbol
kekuatan adi-kodrati (baca ‘yang sakral’) sementara Jimi Hendrix dengan permainan gitarnya diposisikan sebagai
‘yang profan,’ maka “puncak kasmaran” di puisi Tentang Jimi Hendrix adalah momen peleburan “yang sakral” dengan “yang profan.”
Tapi, Jimi Hendrix ala Gus Im ini,
sepertinya masih belum puas dan malah
menunjukkan keperkasaanya dengan kembali berdendang Permisi! Biarkan aku
mencium langit! Gus Iim sepertinya ingin bilang peleburan adalah pengalaman
paling hakiki bagi manusia untuk menemukan jati diri, meski yang ditemui di
momen peleburan itu adalah kekosongan
dan kesunyian.
Radio
Akhirnya, tulisan ini diawali
pembicaraan tentang radio dan akan saya akhiri juga dengan pembahasan tentang
radio dalam terang kepenyairan Gus Im
dan Wiji Thukul.
Beda dengan televisi yang
mengombinasikan suara dan rupa, radio mengondisikan penyimaknya hanya
berkonsentrasi pada suara bukan pada
rupa. Suara penyiar radio, laki-laki maupun perempuan, dengan nada dan getar
suaranya yang khas itu, nyelononong begitu saja ke telinga pendengarnya
secara sok akrab.
Simak saja sebutan penyiar radio
pada pendengarnya ada yang menyapa
dengan sebutan sobat, saudara,
eksekutif muda, kawan, remaja putri, bapak ibu sahabat setia, dan seterusnya.
Tak seperti televisi yang masih mengandaikan adanya jarak antara, katakanlah,
penyiar dengan penontonnya, di radio
jarak itu lenyap. Ketiadaan jarak itu membuat suara penyiar radio selalu
berhasil merasuki sukma dan mengendap
lama di sana.
Di balik itu, radio, diawal-awal
kemunculannya dan barangkali hingga
kini, masih mempertahankan kecenderungan dasariahnya yang bersifat didaktis
atau mendidik, khusunya berkaitan dengan topik-topik yang khas kehidupan sehari-hari.
Walhasil jika seorang pakar hadir
di radio dengan penjelasan-penjelasan yang rumit, abstrak, dan tak berjejak di keseharian tentang
sesuatu, misalnya, hampir pasti pendengar akan mematikan radio atau berpindah
saluran.
Radio juga seringkali dijadikan
alat untuk propaganda kepentingan politik tapi propaganda itu selalu mendapat
propaganda tandingan yang seringkali mengambil pola-pola tak biasa dan
mengejutkan dari audiens.
Radio, seperti disebutkan Wiji
Thukul di puisi Aku Berkelana di Udara // di udara seribu suara
berbicara// kalian tak bisa menyeragamkannya// kekejaman dikabarkan kepada
berjuta warga dunia// kebusukan menyebar siapa bisa menguburnya?//
Hadir dan berbicara tentang puisi
dan musik di stasiun radio yang rajin memutar rock klasik, Gus Iim menyadari
betul adanya model didaktis dan transformatif yang menggagumkan di balik
gelombang radio.
Model didaktis dan transformatif dari radio itu ternyata berdampak pada
saya yang telah menyelesaikan tulisan ini dengan berbekal kenangan akan wawancara Gus Im di
M97 FM tahun 2005 silam, yang entah kenapa sangat sulit saya lupakan.
@KhudoriHusnan,2020
Catatan: versi lengkap puisi-puisi
Gus Im yang saya kutipkan di atas saya dapat secara online dari www.kepadapuisi.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar