Langsung ke konten utama

MELANGKAH DI RERUNTUHAN BABEL, MEMAHAMI DIMENSI INTERPRETASI MANUSIA

Oleh Adinto Fajar (Alumnus STF Driyarkara Jakarta, pengelola mabuk kata)


Sumber gambar:www.theost.com



Pengantar
Di sebuah dataran Marokko, terdengar pekikan senapan memecah kebekuan. Gaungnya berpanjang-panjang menjelajahi tanah-tanah kering dan tandus. Dua anak kecil, Yussef dan Ahmed, menunggu-nunggu apa yang akan terjadi. Selang beberapa detik, peluru yang dibidik ke sebuah bus pariwisata dalam jarak kurang lebih dua ratus meter ternyata mengenai sasaran. Dicekam rasa takut, dua anak itu bergegas mengumpulkan domba-dombanya, pulang.
Babel (2006), sebuah film karya seorang sutradara Mexico – Alejandro Gonzales Iñarritu, memang seperti berkisah tetang peluru. Dari sebutir peluru iseng dua bocah gembala, satu demi satu insiden-insiden tragis terjadi. Terentang di empat negara: Marokko, San Diego hingga Tokyo. Selengkapnya

Alkisah, peluru itu menembus bahu turis wanita Amerika, Susan, yang ada dalam bus tersebut bersama suaminya. Pers segera merespons peristiwa itu dan melabelinya ‘serangan teroris’, yang dengan segera menyulut insting paranoid Amerika untuk mengeluarkan travel warning dan segala tetek bengeknya. Film pun berjalan menyoroti dua anak pasangan tersebut yang ditinggalkan bersama pengasuhnya. Ternyata mereka terlunta-lunta di gurun, setelah inangnya yang berdarah Mexico dicurigai sebagai penculik oleh polisi perbatasan. Di Jepang, seorang remaja, yang ayahnya ternyata bekas pemilik senapan Winchester .207 yang dipakai dua anak Marokko tadi, didera kesepian. Di tengah-tengah hingar bingar dan gemerlap warna-warni lampu kota Tokyo, Chieko menyadari betapa lingkungannya tidak mampu – bahkan tidak mau memahami dirinya, yang bisu-tuli.
Dalam kitab Kej. 11:9, Babel berakar dari bahasa Ibrani, ‘bll’ yang berarti mengacaukan atau membuat bingung[1]. Tuhan menghancurkan Babel, sebuah menara megalomanik karya manusia-manusia pertama di Mesopotamia yang dihancurkan oleh Tuhan; sekaligus konon, mulai saat itu pula, bangsa manusia diserak-serakkan dalam kebingungan karena perbedaan bahasa. Tuhan membiarkan manusia terpecah-pecah.
Kesedihan selama berabad-abad itu dibangkitkan kembali oleh Babel, yang menunjukkan kebingungan-kebingungan manusia dalam tataran dunia global; sebuah serial ketidakterpahaman nan tragis yang dialami oleh manusia-manusia modern seolah menjadi keniscayaan, meskipun sesungguhnya tiap manusia juga terhubungkan antara satu dengan yang lain. Manusia modern menghadapi tantangan globalisasi, yang membuat semua orang saling terhubung dan pada saat yang sama, orang-orang juga terjebak dalam kelas-kelas ekonomi, kotak-kotak budaya, fanatisme politis bahkan keterbatasan fisik. Pada saat masyarakat disergap obsesi penghilangan sekat-sekat, di saat itu, manusia mengalami tantangan komunikasi intersubyektif yang melintasi keanekaragaman. Dalam Babel, terlihat jelas bagaimana semua emosi dan kepedihan individu tersesat dalam bahasa yang beraneka; tidak semua orang bisa menerjemahkan, apalagi mengerti.
Tulisan ini hendak mengolah lebih dalam permasalahan fundamental manusia, yaitu mengenai hakikat relasi intersubyektif manusia. Permasalahan ketakterpahaman berkaitan dengan niscayanya hubungan antar sesama, sekaligus niscayanya kesulitan dalam menjalin hubungan tersebut. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya juga akan dibahas mengenai hambatan yang terjadi, bahaya kekerasan, serta upaya melampaui keterbatasan-keterbatasan tersebut. Sebuah keterbukaan adalah prasyarat utama cara manusia bersosialita; inilah yang ingin ditawarkan oleh tulisan ini.
Dari the Invisibility of Man, modus interpretasi, hingga otentisitas
Manusia yang mengalami keterasingan
Bahwa para leluhur Israel telah menuliskan kisah menara Babel nun ribuan tahun yang lalu membangkitkan kemakluman akan perbedaan yang telah menjadi pergulatan sehari-hari manusia sejak zaman dahulu kala. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap konflik atau ketegangan memang selalu diawali oleh perbedaan atau pertentangan. Bahkan, sebuah perbedaan memang tidak dapat diandaikan akan pupus begitu saja. Bisakah kita berandai-andai manusia ditakdirkan sama: paling tidak satu suku saja, atau satu bahasa, atau setidaknya satu cita-cita politis?
Sejak kejadian penabrakan dua buah pesawat penumpang ke menara kembar World Trade Centre pada 11 September 2001, kemarahan dunia terarah pada kaum Muslim. Media menyoroti Muslim sebagai kaum fundamentalis yang keji, anti Amerika, bahkan anti pembangunan[2]. Demikian pula, kaum muslim tidak bersedia untuk diperlakukan demikian. Terjadilah perpecahan. Beberapa kaum muslim merasa didiskreditkan, beberapa sosiolog merasa resah, dan berbagai dialog antar agama mulai digiatkan. Ini menjadi sebuah contoh mencolok mengenai respons dunia yang direpotkan (atau mau tidak mau merepotkan diri) dengan perbedaan.
Seandainya saja, bangsa manusia tidak mengenal perbedaan kesukuan, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya, apakah persoalan selesai? Ronald David Laing dalam bukunya The Politics of Experience (1967) mengatakan: “[Y]our experience of me is invisible to me and my experience of you is invisible to you. I cannot experience your experience. You cannot experience my experience. We are both invisible men. All men are invisible to one another. Experience is man’s invisibility to man.”[3] Laing adalah seorang psikolog yang hendak menegaskan mengenai ‘ruang pemisah’ (gap) antara individu satu dengan yang lain. Antara individu satu dengan yang lain dipisahkan oleh pengalaman.
Dalam hubungan intersubyektif, ‘aku’ dan ‘engkau’ sama sekali tidak mengetahui benar-benar seperti apakah ‘aku’ dialami oleh ‘engkau’, dan begitu pula sebaliknya. ‘Aku’ tidak mengalami ‘engkau’ seperti ‘engkau’ sedang mengalami ‘dirimu’ sendiri. Adanya pengalamanlah yang membuat yang satu dengan yang lain menjadi tidak tercapai, karena pengalaman setiap individu tidak bisa diakses seakurat mungkin; padahal pengalaman itulah bagian terpenting dari seorang individu. Mengenal Sugiyo, atau Peter, atau Butet bukan berarti seseorang mengerti Sugiyo cs sebagaimana Sugiyo cs mengenal dirinya. Yang didapatkan hanyalah persepsi seseorang akan yang nampak sebagai Sugiyo. Pengalaman Sugiyo dan pengalaman pengenalanku sama-sama tidak bisa dilihat.
Dengan gagasan itu, R. D. Laing menjelaskan bagaimana manusia itu menjadi tidak tampak di mata yang lain (invisibility of man). Ketaktampakan inilah yang membentuk dasar relasi interpersonal, karena ‘aku’ bereaksi seolah ‘aku’ tahu bagaimana ‘engkau’ mengalami ‘aku’. ‘Aku’ menganggap ‘yang nampak’ seolah sebagai realitas, yang secara kontinyu terus menerus ‘aku’ geluti. Dalam pokok ini, tidak lain harus diakui bahwa ‘interpretasi’ adalah dasar dari relasi interpersonal. Minimal dua manusia secara kontinyu melakukan interpretasi terhadap ketidaknampakan di antara mereka.
Sifat relasi interpersonal ditentukan pula oleh kegiatan interpretasi itu. Dalam prakteknya, sebuah relasi dimungkinkan oleh interpretasi dua pihak yang selain kontinyu, juga bersifat timbal balik. Dengan kata lain, relasi interpersonal selalu merupakan interaksi yang mengalir secara aktif antara dua pihak. Oleh karena antara dua pihak terdapat ruang pemisah, yang bisa diketahui oleh masing-masing hanya dua: (1) pengalamanku terhadap ‘aku’, dan (2) pengalamanku terhadap ‘engkau’. Dengan demikian, dua pengalaman itu membentuk persepsi. Setiap orang bertindak dengan persepsi itu, yaitu memperlakukan ‘engkau’ dengan dasar pengalaaman akan ‘engkau’, dan ‘aku’ bertindak dengan menangkap yang nampak dari caramu memandang ‘aku’. Kedua hal itu terus menerus terjadi dan semakin akrab, semakin akuratlah penangkapan persepsi lawan bicara. Meski invisibility itu tetap ada, manusia dapat menjembataninya dengan berinteraksi dan melakukan interpretasi.
Interpretasi menjadi cara setiap manusia mengada (mode of existence). Dengan kesadaran demikian, perbedaan adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam relasi interpersonal, karena antara satu orang dengan yang lain, bahkan orang tidak memiliki ide apapun untuk menganggap yang lain adalah sama dengan dirinya, apa lagi menegasikan. Seorang A dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang sangat khas, entah berupa pengalaman kesukuan (Batak), pengalaman dalam kelas ekonomi, hingga pengalaman eksistensial.
Menjadi jelas sekarang bahwa manusia terkondisikan dalam keadaan di mana dia terasing dengan yang lain. Seandainya semua orang dari suku yang sama, agama yang sama, bahasa yang sama, warna kulit yang sama disatukan dalam satu komunitas, tetap saja manusia butuh untuk menafsir.
Manusia yang mengalami kesepian
Dalam Babel, ada suatu corak yang ditampilkan oleh sang sutradara yang dominan pada setiap tokoh, yaitu rasa sepi. Meskipun setiap tokoh ada dalam ruang waktu yang berbeda, pada saat yang sama mereka disatukan oleh sebuah rasa sepi. Rasa sepi itu berasal dari kesedihan karena keinginan mereka tidak pernah dapat tertangkap dengan baik oleh lawan bicara.
Sang sutradara menggambarkan pergolakan hati setiap tokoh yang tidak terjemahkan dengan baik. Dalam sebuah adegan, digambarkan bagaimana Chieko, yang bisu tuli, memandang hamparan pencakar langit kota Tokyo di waktu malam. Setelah cintanya ditolak oleh seorang detektif, dia keluar dengan telanjang bulat, sambil menangis sendirian.     
Pengalaman memang mencirikan keunikan manusia, sekaligus kesendiriannya. Eksistensi manusia merupakan kekhasan cara dia mengada. Menurut Kierkegaard, ‘eksistensi’ itu memang menyarankan suatu kehidupan, meski arti manusia ‘eksis’ berbeda dengan hewan dan tumbuhan ‘ada’. Dalam manusia, eksistensinya merupakan sebuah keunikan (partikularitas) yang bersifat niscaya (kontingen) yang tidak mungkin disederhanakan ke dalam sistem pemikiran rasional[4].
Pemikiran yang abstrak dihasilkan secara sub specie aeterni, dari titik pijak pengamat yang absolut, sehingga mengabaikan kehidupan manusia yang bersifat konkret dan temporal; manusia, menurut Kierkegaard, tersituasikan dalam sintesis, antara yang sementara dan yang abadi, yang terbatas dan tak terbatas, dan sulit untuk disederhanakan dalam sebuah skema organik apapun. Dengan kata lain, seseorang tidak mungkin dipandang dengan samarata, meski oleh sebuah studi antropologis yang paling akurat terhadap leluhur dan lingkungannya sekalipun.
Sebagai makhluk yang eksis, manusia merupakan subyek, yang harus dipandang dalam respek terhadap ke’ada’annya yang penuh. Heidegger menggunakan secara sengaja kata Dasein[5] yang menunjukkan manusia bukan sekedar specimen, yang dipandang berdasarkan properti yang dimiliki melainkan cara-cara dia mengalami hidupnya.
Yang menjadi implikasi hal tersebut adalah bahwa pengalaman bagi manusia adalah sekaligus otentisitas yang membentuk dirinya dan mengasingkan dirinya. Setiap individu akan mengalami individuasi, sebuah terminologi dari Heidegger, yang menunjukkan saat di mana orang menyadari eksistensinya, sadar akan perspektif-perspektif waktu, baik faktisitas maupun masa depannya, yang membuatnya beda dari kumpulan atau kelompok (das man). Mulai saat itu, ia merasa pengalamannya adalah unik dan kadang tidak tersampaikan kepada yang lain.
Keniscayaan proses individuasi dan otentisitas being menjelaskan mengapa pengalaman tidak hanya menunjukkan keasingan dari yang lain (dalam proses relasi interpersonal) melainkan juga menunjukkan kesepian secara eksistensial. Otentisitas sebagai ciri khas eksistensi manusia membawa serta sebuah kesepian. Keinginan diri untuk ditemukan dalam rasa sepi itu sebanding dengan mimpi untuk menerima interpretasi yang tepat atas pengalaman sesama.
Kekerasan: Interpretasi versus blokade komunikasi
Blokade komunikasi dalam menghadapi ‘yang lain’
Jika pada dasarnya, manusia selalu terikat dengan sesamanya dalam bentuk relasi interpersonal, dari mana timbul kekerasan? Kekerasan yang sangat gamblang tampak dalam wujud ledakan bom, perampasan, pemerkosaan, penembakan, atau pembunuhan. Di balik itu, kekerasan muncul pula dalam bentuk yang paling mendasar; melalui proses mula relasi.
Interpretasi sebagai basis dari interaksi dan relasi menyimpan benih-benih kerentanan, di mana manusia dapat tergelincir untuk melakukan kekerasan. Kekerasan dapat ditelusuri di dalam akarnya, yaitu bagaimana manusia menemui blokade dalam melakukan suatu proses interaksi yang baik.
Zaman modern salah satunya ditandai oleh kata-kata Rene Descartes: “Cogito Ergo Sum” atau aku berpikir maka aku ada, yang meringkaskan sebuah moda berpikir modern, yaitu kepercayaan pada subyek manusia sebagai pembentuk pengetahuan. Descartes memaparkan bagaimana pengetahuan tentang suatu obyek didapatkan dalam bentuk idea tentang keluasan yang ditangkap oleh mental subyek secara jelas dan terpilah (clara et distincta).
Dalam kerangka epistemologis semacam itu, keberadaan pengetahuan “yang lain” atau “yang bukan aku” disimpulkan secara tidak langsung dari keberadaan dan pengetahuan mengenai diri sendiri[6]. Kekerasan terjadi setiap kali proses pendefinisian itu[7]. Manusia melakukan pendefinisian yang semena-mena dan tergesa-gesa, sebagai akibat gejala solipsisme.
Dalam perjalanan waktu, ‘yang lain’ atau yang di luar dirinya sering dihakimi dengan sewenang-wenang. ‘Yang lain’ gagal dimengerti sebagai subyek yang penuh karena tergesa-gesa memperoleh label, sebagai: yang asing, yang berbeda, yang kotor atau bahkan yang bermusuhan. ‘Yang lain’ juga sering dimengerti bukan sebagai subyek tunggal melainkan sebagai bagian dari kelompok terbuang: yang Islam, yang WNA, yang tidak waras atau yang teroris. Ada sebuah fenomena kegagalan interpretasi di balik itu, yaitu sebuah ketertutupan diri, atau kemacetan karena menemui semacam blokade.
Dalam Babel, rombongan di dalam bus wisata itu akhirnya harus mampir ke sebuah dusun terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama bagi luka tembak yang dialami Susan. Ketika memasuki dusun itu, digambarkan mimik keresahan turis-turis itu. Di mata mereka, wajah-wajah para penduduk Maroko, yang miskin, kotor, berjanggut dan diam menjelmakan suatu ancaman. Salah seorang turis mendesak sopir untuk segera meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Tahukah kamu, pernah ada berita 30 turis Jerman dibantai di salah satu kampung! Kita harus keluar dari kota ini sebelum malam.”
Heterofobia atau takut akan ‘yang lain’ adalah blokade utama dalam interaksi intersubyektif. Dalam bukunya Memahami Negativitas[8], Budi Hardiman menulis demikian: “Heterofobia jelas berasal lebih dari gambaran yang salah tentang manusia lain yang timbul dari defisit kontak dan rasa takut untuk bersentuhan atau singkatnya: dari blokade komunikasi. Target kebencian yang sesungguhnya bukanlah manusia konkret yang dikenal secara personal, melainkan manusia yang dikenal hanya sebagai anggota kelompok yang tak disukai.”
Pada peristiwa itu, ‘aku’ dicekam oleh persepsiku yang tidak valid, dan menerapkannya secara sewenang-wenang. Pengalaman bertatapan dengan ‘yang lain’ diserobot oleh keresahan, sehingga ‘aku’ dengan gegabah memperlakukan manusia lain tidak sebagai sesama, melainkan sebagai anggota dari sebuah kelompok yang berlawanan dengan kelompokku. Semenjak wacana terorisme global dikaitkan dengan Islam, Amerika begitu dicekam oleh paranoid sehingga setiap orang yang berkaitan dengan segala atribut Islam menjadi sulit untuk diterima secara utuh.
Interaksi interpersonal merupakan modus yang sekiranya berjalan dengan baik, akan menghindari salah tafsir terhadap lawan bicara. Manusia yang terjebak dalam aneka perbedaan selalu akan bertemu dengan ‘yang lain’. Pertemuan itu berisiko untuk jatuh ke dalam kekerasan ketika seorang memblokade interaksinya dengan penafsiran yang tergesa-gesa dan asal merampatkannya dengan prasangka-prasangkanya sendiri.
Catatan mengenai fundamentalisme
Berbicara mengenai kekerasan dan interpretasi, mau tidak mau tulisan ini bersentuhan dengan fenomena fundamentalisme. Fundamentalisme merupakan sebuah paham yang memegang teguh kebenaran-kebenaran dasariah, dan berusaha untuk mempertahankannya sebagai sebuah kemurnian. Gerakan ini pada dasarnya dapat diterima, seandainya tidak disertai dengan gejala ketertutupan dan kekerasan. Kecenderungan negatif beberapa gerakan fundamentalisme adalah interpretasi yang literal-dogmatik-sektarian-kaku dan anggapan bahwa yang lain itu mutlak salah yang berbuah sikap tidak mau berdialog dengan yang lain.
Permasalahan mendasar fundamentalisme adalah interpretasi yang tertutup. Dalam fundamentalisme terdapat pula blokade berupa ketertutupan terhadap yang lain (atau yang beda), yang menimbulkan suatu arogansi. Gerakan-gerakan semacam ini bukanlah hal yang baru, seandainya ikut dilibatkan beberapa kasus chauvinisme Nazi, maupun terorisme-terorisme atas agama yang berulang kali terjadi.
Fundamentalisme berhubungan dengan identitas kelompok. Individu-individu mengasosiasikan diri dan lingkungannya sebagai kelompok-kelompok. Ada kelompok yang paling benar, dan kelompok yang salah-jahat. Relasi interpersonal terhambat baik oleh pengelompokan maupun oleh cara suatu kelompok fundamentalis bersikap.
Ada dua catatan. Catatan pertama, dalam bukunya Human Condition, Hannah Arendt menyatakan hakikat manusia yang a politis[9]. Artinya, manusia-manusia itu penuh sebagai pribadi dan tidak pernah tertampung dalam identitas ‘massa’. Mengenali kelompok-kelompok adalah mengenali manusia-manusia sebagai ‘kami’ dan bukan ‘aku’. Dalam tataran ini, seringkali proses interpretasi gagal karena akal budi sebagai inti identitas otentik ‘aku’ yang melakukan interpretasi dibekukan oleh sentimen kelompok. Akibatnya, bukan hanya terjadi penghilangan identitas, melainkan moralitas pun menjadi seolah-olah nisbi, karena orang dapat menjadi dingin dan tanpa ada beban moral apa pun meski telah melakukan suatu kekerasan. Dalam proses itu, moralitas individu terhimpit oleh gerak massa. Proses pemaknaan tidak berjalan dengan sehat, karena yang terjadi adalah retreat from reason[10]: manusia mundur dari akal sehat, tidak berpikir, karena memilih menggantungkan diri pada ‘ide’ kelompok.
Catatan kedua, menolak fundamentalisme semacam di atas, secara prinsip sebuah interpretasi yang sehat adalah yang menghargai manusia secara utuh. Hal ini berarti interpretasi yang baik adalah yang berani memandang manusia beserta nilai-nilainya. Kelompok-kelompok sosial politik memang dibutuhkan, tetapi harus pula diikuti dengan sebuah sikap pemahaman akan yang lain secara baik. Penafsiran akan suatu hal tidak lagi dijalankan dengan menegasi ‘yang lain’.
Dalam hal ini, Gadamer memberikan gagasan yang menarik mengenai peleburan dua horizon dalam proses hermeneutika: horizon latar belakang sejarah teks dan sejarah partikular-faktual saat ini. Unsur menarik dari gagasan ini adalah upaya untuk selalu mendasarkan diri pada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan saat ini sebagai salah satu horison yang harus dilibatkan. Horison adalah cakrawala, yang mengimplikasikan wawasan atau pandangan; selain latar belakang (berupa nilai-nilai sejarah, yang dogmatis) kondisi kemanusiaan yang aktual juga diperhitungkan. Dengan demikian, usaha penafsiran harus mempertimbangkan segi aktual manusiawi sekarang ini.
Gerakan fundamentalisme merupakan keniscayaan yang timbul dari realitas kehidupan manusia yang terkelompokkan dan terbedakan. Kekerasan dalam situasi semacam ini sekali lagi dapat dihindari dengan sebuah model interpretasi yang senantiasa terbuka terhadap sesama.
Melangkah di reruntuhan babel, bangun dari keterserakan
Kondisi kemanusiaan modern harus dipahami sebagai kondisi keterserakan. Seperti layaknya kisah dalam Kejadian mengenai menara Babel, manusia kini berhadapan dengan reruntuhan dan keadaan keterserakan. Ada banyak hal yang hingga kini masih saja membuktikan keadaan itu: konflik di Poso, diskriminasi rasial di negara tetangga, perang saudara di India dan Timur Tengah, perang berkepanjangan antara Israel dan Palestina, serta geliat tak kunjung henti tentara Amerika di Irak. Dengan hati terbuka, kita harus menerima realitas ini.
Kemanusiaan yang relasi dan interaksinya dibangun dengan mode interpretasi memang rentan. Dengan kata lain, pada dasarnya secara inheren, relasi antar manusia memang sewaktu-waktu dapat jatuh ke dalam kesewenangan dan kekerasan. Ini menjadi realitas Babel yang membuntuti perjalanan wajah kemanusiaan.
Sikap seorang penafisir, yang merupakan keniscayaan bagi tiap manusia, adalah sikap membuka diri: membiarkan dialog terjadi, sehingga tanda-tanda dari lawan bicara dapat diakses dengan lancar. Ada sebuah kisah menarik, yang diceritakan oleh Cicero, mengenai nasib buruk Cassius di Siria. Alkisah, panglima tersebut mendengar seorang penjaja buah ara yang berteriak-teriak “Cauneas! Cauneas!”, ketika ia tengah menyiapkan pasukannya di pelabuhan Brindisi. Cassius menangkap kata Cauneas sekadar teriakan penjual, yang berarti “Buah ara dari Kauna”, sebuah kota di Turki Selatan yang terkenal akan kelezatan buah aranya. Ternyata, serbuan ke Siria berbuahkan kemalangan. Pasukannya dihancurkan oleh tentara Persia, dan Cassius sendiri mati. Sesungguhnya menurut Cicero, seandainya Cassius peka dan membuka diri, teriakan penjual buah merupakan sebuah tanda, yang kalau ditafsirkan secara cermat berarti “Caue ne eas!” yang berarti “Awas, jangan berangkat!”. Persis disitu, ketertutupan atau kesalahan menafsir tanda berbuahkan kemalangan[11].
Oleh karena itu, perlu dibangun sebuah sikap keterbukaan. John Macquarrie menggarisbawahi gagasan-gagasan Heidegger yang kiranya sangat penting. Sejauh eksistensi membutuhkan lingkungan dunia (wordly environment), eksistensi membutuhkan pula lingkungan personal (personal environment). Manusia membutuhkan co-existents yang ada di dunia bukan sebagai instrumen melainkan sebagai sesama. Dalam hubungan semacam ini, antara satu dengan yang lain, gerakan kehidupan dibimbing oleh kewelasan (solicitude)[12] . Sebuah pandangan kewelasan adalah pandangan cinta yang peduli terhadap sesamanya, sehingga dengan demikian, relasi dihasilkan dari kesadaran penuh akan nilai kemanusiaan yang tidak bersifat instrumen, seperti layaknya dunia benda.
Dalam bahasa Buber, relasi interpersonal haruslah melibatkan sebuah pandangan yang sejajar, yaitu antara I-Thou. Dalam relasi yang demikian, manusia berhadapan manusia. Sebuah interpretasi memang merupakan proses penjembatan ruang pemisah antara ‘aku’ dan ‘engkau’. Meski demikian, antara ‘aku’ dan ‘engkau’ harus diprekonsepsi dengan sebuah sebuah keyakinan, bahwa ‘aku’ merasa aman, karena ‘engkau’ adalah sesamaku.
Proses yang demikianlah yang membawa keterbukaan. Keterserakan manusia modern harus dibangun ulang dengan membuka diri dalam menerima ‘yang lain’. Tantangan perbedaan di segala aspek ditanggapi dengan etika komunikasi yang menolak dominasi, dan menghargai lawan bicara. Keterbukaan merupakan penghargaan penuh pada lawan bicara, supaya si ‘engkau’ dapat mengudarkan dirinya dengan optimal.
Simpulan
Babel diawali dengan letupan senapan. Meski senapan adalah simbol kekerasan, kekerasan yang sesungguhnya justru terjadi bukan lewat pekiknya yang gamblang, melainkan dari rentetan ketertutupan diri terhadap wajah-wajah sesama yang berupaya berkomunikasi. Ini merupakan gejala yang membuntuti manusia sejak dahulu kala, seperti tertuang dalam kisah mengenai menara Babel.
Manusia memang secara inheren terjebak dalam keterasingan dengan yang lain, sehingga kerentanan terdapat pada proses interpretasi. Adanya perbedaan-perbedaan yang melahirkan kelompok-kelompok acapkali mencipta blokade komunikasi dan persentuhan yang sehat. Kekerasan acapkali terjadi pada kesempatan ini.
Menanggapi ini semua, dibutuhkan keterbukaan. Keterbukaan adalah syarat mutlak yang dibutuhkan dalam usaha relasi interaktif dengan sesama dan melancarkan proses interpretasi terhadap sesama. Dengan berupaya untuk terbuka, manusia diajak untuk bangun dari kondisi keterserakan, dan melangkah optimis di antara reruntuhan menara Babel.***

Daftar Pustaka
Gianto, A. 2002. “Antara Buah Ara dan Tafsir Wacana” dalam majalah BASIS, Nomor 11-12, Tahun ke-51, November-Desember. Yogyakarta: Kanisius
Sartre, Jean-Paul. 1992. Being and Nothingness (diterjemahkan oleh Hazel Barnes). New York: Washington Square Press
Laing, Ronald D. 1972 (cetakan ke-7). The Politic of Experience. Great Britain: Penguin Books
Macquarrie, John. 1973. Existentialism. New York: Penguin Books
Sudarminta, J. 2004. Epistemologi Dasar. Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius
Hardiman, F. Budi. 2005, Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Terror, dan Trauma. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Rubinoff, Lionel. 1974. “Violence and the Retreat from Reason” dalam Reason and Violence. Philosophical Investigations (ed.: Sherman M. Stanage). America: Oxford Press



[1] Dalam bahasa Ibrani, pada dasarnya memang ‘bll’ meskipun dalam pengucapannya adalah ‘balal’. Babel dalam kitab Kejadian menampakkan refleksi orang-orang Israel mengenai sebuah kota kosmopolitan, Babylon. Di satu sisi, dapat pula dikatakan bahwa kisah ini merupakan refleksi teologis kaum Jahwista terhadap perbedaan dalam kehidupan manusia. Bdk. Raymond E. Browns (eds.), 1968, The Jerome Biblical Commentary, hal. 17, entry 49. The Towe of Babel.
[2] Menurut laporan Council on American-Islamic Relation (CAIR) pada tahun 2002, dengan judul Stereotypes and Civil Liberties: Executive Summary, kekerasan dan diskriminasi yang menimpa ummat Islam Amerika semenjak kasus WTC sampai bulan Februari 2002 lalu telah mencapai 1717 kasus. Bentuknya macam-macam; meliputi penyerangan fisik (289 kasus), pembunuhan (11 kasus), diskriminasi di tempat kerja (166 kasus), diskriminasi di bandara (191 kasus), perlakukan diskriminasi yang dilakukan oleh aparat baik polisi maupun FBI (224 kasus), intimidasi di sekolah (74 kasus), perlakuan kebencian yang lewat e-mail (315 kasus). Yang terbanyak adalah pelecehan seksual terhadap para Muslimah (372 kasus). Salah seorang yang menjadi korban adalah Samar Kaukab (22). Seperti diungkap Sahid edisi Februari lalu, mahasiswi Ohio State University ini dipaksa telanjang untuk digeledah oleh petugas bandara AS, hanya lantaran ia berjilbab. Mereka mencurigai setiap wanita berjilbab berpotensi memiliki hubungan dengan terorisme. http://www.cair-net.org/asp/execsum2002.asp
[3] Bdk. Ronald David Laing, 1972 (cetakan ke-7), The Politic of Experience, hal. 16
[4] Man paradoxically joins in himself the temporal and the eternal, the finite and the infinite; and thought will never ‘make sense’ of this or combine two sides of man’s being in a unitary whole. Existence is not an idea or an essence that can be intellectually manipulated. Indeed, man becomes something less than human if he allows himself and his being to be absorbed into some organic scheme of being or some rational system of thought. Bdk. John Macquarrie, 1973, Existentialism, hal. 45.
[5] Strictly speaking, Dasein is not equivalent to ‘man’. Dasein is an ontological term. It desifnates man in respect of his being: and if this kind of being is found elsewhere than in humanity, then the term Dasein could be appropriately applied. Bdk. Ibid., hal. 46. 
[6] Bdk. J. Sudarminta, 2004, Epistemologi Dasar. Pengantar Filsafat Pengetahuan. hal. 53
[7] Kekerasan terjadi pada setiap proses pendefinisian. Bagaimana memahami hal ini? Dapat dijelaskan dengan gagasan Sartre: relasi antar manusia berbeda dengan relasi manusia dengan lingkungan benda mati. Melihat sesama manusia adalah melihat ruang dan obyek-obyek yang berada di sekitar dia. Seperti sebuah Gestalt, orang melakukan tindakan persepsi dengan memetakan mana obyek (figur) dan mana latar (background), si pelihat adalah subyek. Ketika orang melihat sesama, ada dua alasan kekerasan: (1) seorang subyek merasa ruangnya telah dirampok oleh penglihatan si lawan, karena subyek menjelma menjadi obyek di mata lawan, dan (2)  tatapan yang mengobyekkan itu telah mengguncang otonomi atau kebebasan ‘aku’. Tindakan pengobyekan dalam penglihatan itu merupakan sebuah kekerasan, karena sebagian otonomi subyek telah diguncang dengan proses itu. Tidak heran Sartre mengucapkan afirmasi yang terkenal: Neraka adalah orang lain. Bdk. Sartre, 1992, Being and Nothingness, hal. 343.
[8] Bdk. F. Budi Hardiman, 2005, Memahami Negativitas, hal. 19.
[9] Seperti dikutip dalam oleh Budi Hardiman. Bdk. F. Budi Hardiman, 2005, Memahami Negativitas, hal. 23
[10] Bdk. M. Lionel Rubinoff, ‘Violence and the Retreat from Reason” dalam Sherman M. Stanage (ed.), 1974, Reason and Violence. Philosophical Investigations, hal. 73. Demikian tulis Lionel: The rationality of our time is, if anything, a disguised form of unreason,….But nowhere is the propaganda of irrationalism more evident than in our current worship of deities of apocalyptic destruction. What kind of logis is it which equates security with the capacity to destroy others?  
[11] Cerita ini ada dalam karangan A. Gianto. Bdk. A. Gianto, “Antara Buah Ara dan Tafsir Wacana” dalam majalah BASIS, no. 11-12, Tahun ke-51, November-Desember 2002.
[12] We have seen that existence requires not only a wordly environment but also a personal environment. Within the world I meet persons, but these are not objects belonging to the world…..The relation between the self and the everyday world was described in terms of concern. The relation between one existing self and another we shall call solicitude. Bdk. John Macquarrie, 1973, Existentialism, hal. 79







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya