Langsung ke konten utama

MEMAHAMI GUGATAN KIERKEGAARD ATAS YANG PUBLIK

Oleh Ari Wibowo (Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta)

Sören Kierkegaard (1813 - 1855)



Pendahuluan
            “Kita semua tahu  langkah apa untuk diambil dan langkah-langkah apa saja yang dapat diambil tapi tak seorang pun mengambil langkah-langkah itu.”[1] 

            Kierkegaard melalui salah satu karyanya The Present Age,[2] menggambarkan apa yang disebutnya kondisi masa kini sebagai sebuah fase sejarah yang dibuka oleh Revolusi Perancis. Masa kini tak dipahami semata sebagai peristiwa sosial politik, melainkan perubahan yang berpengaruh secara mendalam pada setiap lapisan kehidupan dan pemikiran. Fase itu, lugasnya, lebih  memperlihatkan  sebuah metamorfosis yang kelak dituntaskan lewat suatu keutamaan tentang kesadaran diri manusia yang mencapai tingat mayoritas.[3] Perubahan itu tidak hanya mengimplikasikan suatu revolusi eksternal pada ranah politik, terlebih lagi suatu revolusi 'di dalam', yakni bagaimana manusia melihat politik, agama dan kebudayaan dalam relasinya satu dengan yang lain.Baca Selengkapnya

            Dalam refleksinya tentang kondisi masa kini Kierkegaard mulai dengan mengamati bagaimana Kekristenan mengalami kebangkrutan dengan revolusi kultural Pencerahan, fase final sekularisasi tradisi Eropa yang dimulai sejak Renaisans. Agama dan kebudayaan tidak lagi dibebankan oleh tradisi, melainkan persoalan personal dan bertumpu pada kebebasan. Sapere aude! Beranilah berpikir sendiri menjadi motto Pencerahan. Kierkegaard—dalam tradisi Kantian—menitikberatkan metode personalis dan eksistensialis sebagai jalan tengah antara idealisme dan positivisme, untuk menyatukan kembali separasi tajam antara pikiran dan eksistensi, antara emansipasi dan tanggung jawab, antara kebudayaan dan agama. Separasi yang tersintesiskan dengan harmonis selama Abad Pertengahan.
            Perspektif historis Kierkegaard dalam  karyanya sebagaiman telah disebutkan di atas, yang secara umum menerangkan harus dibaca dalam konteks situasi yang melingkupi  saat ia menulis karyanya tersebut yang menjelaskan masa kini sebagai zaman refleksi, zaman kebanyakan orang, proses penyamarataan, dan zaman kesadaran diri individual yang berbeda dengan kawanan. Perspektif historis Kierkegaardian merupakan sebuah tahapan histories yang bertumpu pada pemahaman bahwa masa kini memuat bahaya sekaligus tantangan tak terelakkan.  
Tulisan singkat ini bermaksud mendedahkan dan memeriksa kondisi masa kini melalui pembacaan saya atas karya Kierkegaard, The Present Age. Masa Kini menemukan aktualitas dan kontinuitasnya dalam era globalisasi sekarang, ketika ruang dan waktu dimampatkan dan lalu lintas informasi dari seluruh dunia memadati isi kepala dan kesadaran kita. Buah-buah pikiran yang tersebar di media massa seperti televisi, radio, internet, dan koran, menawarkan pada kita bagaimana harus bertindak dan berpikir di tengah keberagaman orientasi nilai, di dalamnya terdapat kecenderungan untuk larut pada nilai-nilai dominan, nilai-nilai kolektif yang diproduksi dan direproduksi oleh semangat zaman, sedemikian sehingga kekonkretan dan pengalaman langsung kehidupan diabaikan dengan penyeragaman nilai.
Suatu bentuk kebudayaan baru memasuki ruang-ruang kehidupan manusia dan mengkonstitusi masyarakat. Media massa mengkonstruksi bagaimana orang-orang melihat dan memandang dunia dan sesamanya, sekaligus menjadi kekuatan pusat bagaimana individu-individu membentuk pandangan-pandangan umum tentang  nilai-nilai; baik-buruk, bermoral dan tak bermoral, dan resep-resep kebahagiaan. Eksistensi individu semakin tergerus dengan kerumunan massa, kebanyakan populasi, individu-individu  abstrak, dan perilaku-perilaku kawanan.
            Bagian pertama tulisan ini merupakan pengantar untuk memasuki gerbang pergumulan Kierkegaard mengungkap kondisi-kondisi historis masyarakat masa kini, yang dipaparkan lebih jauh pada bagian kedua. Bagian ketiga memaparkan kritik Kierkegaard terhadap Publik yang melebur di dalam Masa Kini. Analisis-analisis Kierkegaard ini menyentuh kawasan filsafat sosial tapi justru membela dan mempertegas posisi dan metode eksistensialisme yang diajukannya. Bagian keempat  berisi upaya merevitalisasi konsep etis-religius sebagai prinsip-prinsip sentral dalam memahami eksistensialisme Kierkegaard, terutama sekali menggarisbawahi dimensi praksis  eksistensi manusia yang penuh hasrat dan komitmen, tanpa menutup kemungkinan berdialog dengan klaim-klaim epistemologisnya. Bagian penutup berisi sejumlah catatan.
Zaman Refleksi
            Dalam rumusan Kierkegaard, Masa Kini adalah suatu zaman yang dikarakterisasikan oleh sebuah refleksi[4] tanpa-kepentingan (disinterested  reflection) dan keingintahuan yang menyamaratakan semua perbedaan-perbedaan status dan nilai. Refleksi yang terpisah (detached reflection) ini menyamaratakan semua distingsi kualitatif. Zaman reflektif adalah zaman tanpa hasrat—bertolak belakang dengan zaman penuh hasrat—yang semakin mencapai ekstensitasnya tapi kehilangan intensitasnya. Maka ia mengawali analisis sosial-historisnya dengan mengatakan:
            “Zaman kita secara hakiki adalah suatu zaman pemahaman dan refleksi, tanpa hasrat, pada saat tertentu meledak-ledak dalam antusiasme, dan dengan cepat  merosot dalam  kemalasan.”[5]
            Kierkegaard berbicara tentang suatu zaman dan suatu generasi, kaum muda pada khususnya,  yang kehilangan hasrat dan didera krisis tindakan. Masa kini merupakan tahapan berikutnya dari zaman revolusioner, dan sebagai lawan dari zaman yang penuh hasrat. Pada masa-masa revolusioner tindakan begitu nyata bahkan nyaris di luar kendali, sementara masa kini justru tidak bergerak sama sekali. Tiada sesuatu apapun terjadi pada generasi ini, sebab kemampuannya, keahliannya, kepandaiannya, dan kecerdasannya hanya mencapai sebuah penilaian dan keputusan tanpa melangkah lebih jauh pada tindakan nyata. Seluruh kemampuan dan keahlian manusia bermuatan unggunan ilusi-ilusi.  Antusiasme sekejapnya merupakan juga pelarian diri dari perubahan bentuk-bentuk (form) hal-ihwal, yang dengan derajat kepandaian dan kekuatan yang penuh hasratnya seharusnya diproyeksikan bagi perubahan bentuk pelbagai hal. Energi kreatif yang sekali waktu ditumpahkan selama zaman revolusioner.
Generasi masa kini merasa lelah atas upaya-upaya penuh ilusi, sampai masa  kini mundur kembali dalam kemalasan. Kondisinya seperti seseorang yang jatuh tertidur di pagi hari; pertama, mimpi indah, kemudian kemalasan, dan lalu alasan-alasan pintar dan cerdik untuk tetap di tempat tidur.[6] Generasi masa kini mengandung kemalasan untuk menceburkan diri dalam kolam keruh dan berlumpur sekalipun, dalam tindakan konkret sebagai perwujudan praksis dimensi reflektif pikiran manusia.
            Betapapun berarti dan betapa kuatnya individu, ia tidak memiliki hasrat untuk menyingkirkan dirinya dari  lika-liku, belenggu ataupun ambiguitas dan ketidakpastian seduktif refleksi. Situasi sosial historis masa kini lebih menyediakan suatu bentuk oposisi intelektual,  sebuah kebiasan refleksi, yang bermain-main dengan beberapa proyek penuh ilusi hanya untuk menipu dirinya, sampai pada akhirnya hal paling cerdas yang perlu dilakukan adalah tidak melakukan apapun.[7] Pada masa kini, tiap orang diberikan aturan-aturan dan kalkulasi-kalkulasi sejauh memfasilitasi seseorang berpikir dan membuat penilaian.
            Sebuah zaman yang revolusioner adalah sebuah zaman tindakan. Pada periode ini, nilai-nilai keberanian, penuh-kegairahan, dan keputusan yang penuh resiko dijunjung tinggi, sekaligus dipuja-puji oleh kerumunan. Individu akan mengembangkan sepenuhnya kapabilitasnya. Dalam proses, ia barangkali akan menciptakan efek yang besar bagi dunia eksternal, tapi dunia eksternal itu tidak dapat ditaklukkannya sama sekali, karena ia tahu dunia eksternal itu bukan kuasanya dan maka tidak lebih daripada posisi-posisi pro atau kontra. Berlawan dengan godaan refleksi, momen pengambilan keputusan dan tindakan definitif adalah modus eksistensi individu. Orang-orang sedikit mengenal Soekarno karena tradisi dan warisan pemikirannya, tapi mengagumi apa yang telah ia lakukan bagi bangsa ini. Tindakan Soekarno layaknya seorang Ksatria, penuh resiko; digugat, diasingkan, keluar-masuk penjara.
            Sebaliknya, pada masa tanpa hasrat, pada zaman reflektif, orang-orang akan merasa sama-sama pintar jika menyepakati betapa sangat tidak beralasan dan betapa tidak masuk akalnya tindakan yang penuh resiko dan penuh konsekuensi. Suatu bentuk perlawanan terhadap segala sesuatu di masa kini hampir tidak pernah terpikirkan, sebab zaman yang dipenuhi dengan tindakan dan aksi yang besar telah lewat, dan masa kini hanya mengantisipasi masa sebelumnya. Tak seorang pun puas dengan melakukan sesuatu yang pasti. Tiap orang ingin merasa terpukau oleh refleksi dengan ilusi telah menemukan sebuah benua baru, gagasan baru, pemikiran baru, dan sudut pandang baru. Kierkegaard mengatakan bahwa berpikir itu sendiri begitu dialektis. Refleksi mampu mengubah dan menjelaskan segala sesuatu. Antusiasme spontan dan mendadak diikuti oleh apati dan kemalasan. Masa tanpa hasrat tidak memiliki nilai-nilai (nihilistik), dan segala sesuatu ditransformasikan menjadi ide-ide representasional. Sampai pada akhirnya uang menjadi satu hal yang paling dihasrati manusia, yang tak lebih daripada representasi, sebuah abstraksi.
            Zaman reflektif seperti zaman kita sekarang ini memproduksi pengetahuan terus menerus. Kierkegaard mengatakan:
                        “Refleksi bukanlah yang jahat (the evil), tapi suatu kondisi refleksi dan kebuntuan yang refleksi melibatkan dengan mengubah kapasitas tindakan menjadi cara-cara melarikan diri dari tindakan, keduanya sama-sama korup dan berbahaya, dan pada akhirnya membawa pada gerak kemunduran.”[8]
            Pelbagai keputusan mengakar dalam subjektivitas sebab pada saat-saat tertentu individu subjektif ingin menghindari derita dan krisis keputusan.[9] Lebih jauh lagi, bagi Kierkegaard, proses penalaran harus melibatkan praksis individu.  Masa kini yang reflektif, bukan berarti mencukupi secara rasional, tapi kekurangan (lack) hasrat dan komitmen total. Bukan saja masa kini berpikir dan memilih tanpa perlunya hasrat, pada wilayah estetis eksistensi, refleksi adalah sebuah hasrat keingintahuan yang besar akan segala sesuatu, terutama arus informasi yang mendera isi kesadaran dan rasio kita. Pada wilayah etis eksistensi, jika informasi itu dijadikan sebagai satu-satunya pengetahuan, sebagai dasar bagi setiap penilaian dan pertimbangan moral, maka kita berhadapan dengan absurditas, sebab tidak ada perbedaan kualitatif antara mana yang releven dan tidak relevan, mana yang signifikan dan mana yang tidak, mana yang serius dan mana yang main-main.  
Seumpama membiarkan wacana-wacana, komentar-komentar, opini-opini berkembang sampai kemudian menguap dengan munculnya isu-isu baru yang mengalihkan dan merenggut kesadaran, namun sebenarnya tidak lebih dari sekedar gosip. Masa Kini adalah sebuah masa periklanan, sebuah masa publisitas; tak ada suatu apapun terjadi, tapi terdapat publisitas dimana-mana.[10]
            Pada titik ini, ambiguitas memasuki kehidupan manakala distingsi-distingsi kualitatif antara moral dan immoral diperlemah oleh refleksi yang terus-menerus menggerogoti. Kierkegaard sendiri mengatakan:
            “Distingsi antara baik dan jahat diperlemah oleh sebuah pengetahuan dangkal, superior dan  teoritis kedurjanaan, dan oleh suatu kepandaian yang angkuh yang menyadari bahwa kebaikan tidak lagi diapresiasi ataupun dihargai, sementara dalam dunia ini, kebaikan ini lebih      menyerupai kebodohan.”[11]
Kekuatan hasrat dalam mendiferensiasikan kualitas-kualitas keputusan dan tindakan kehilangan elastisitasnya, demikian pula dimensi batin kehilangan kohesinya dengan moral. Pathos, perasaan dan antusiasme terdegradasi sampai pada tingkatan sentimen dan emosi. Proyek etis Kierkegaard menekankan relasi antara batin dan hasrat dengan nilai-nilai kebaikan, atau katakanlah azas-azas moral universal itu sendiri. Ketegangan reflektif ini pada akhirnya mengkonstitusi dirinya menjadi sebuah prinsip, dan sebagaimana pada masa penuh hasrat, antusiasme adalah prinsip yang mempersatukan, maka pada masa yang sangat reflektif dan tanpa hasrat, iri dan kedengkian (envy) menjadi prinsip negatif yang mempersatukan.[12]
Ketegangan reflektif yang penuh kebencian mendekam dalam individu, dan mencegah seseorang membuat keputusan penuh hasrat.  Kurangnya (lack) hasrat ini ditambah dengan kekuatan refleksi yang semakin meningkat, dan upaya-upaya untuk membebaskan diri dari godaan refleksi jauh lebih sulit daripada pengambilan keputusan, sebab refleksi mampu menjelaskan segala sesuatu, mampu mengubah segala sesuatu dengan sudut pandang baru dan arah baru. Kebenaran pun merosot secara bertahap pada absurditas dan ambiguitas. Maka ide tentang refleksi mengandung keegoisan di dalam individu, maupun keegoisan sebagai hasil dari keegoisan masyarakat sekitar individu, yang berlawan dengannya.[13] Situasinya orang lebih memilih menjadi pengamat yang menyaksikan sesuatu telah terjadi, dalam suatu atmosfer pencarian kebenaran objektif yang terus menerus me-reduplikasi, ketimbang membuat sesuatu terjadi.
            Bagi Kierkegaard, pikiran, perkataan dan perbuatan harus dipelihara pada taraf keseimbangan (equilibrium) sebagai ekspresi atas “kesatuan fakultas-fakultas” atas akal, kehendak dan perasaan. Jadi refleksi bukan hanya dibenamkan dalam refleksi, dalam penderitaan karena menjadi terisolasi dari  fakultas-fakultas lain dalam manusia,  melainkan benar-benar dijangkarkan dalam kehidupan. Jika refleksi hanya hidup di sebuah ranah kuantitas dan kalkulasi, maka refleksi  tidak bisa menembus ranah kualitas dan keputusan, sedemikian sehingga refleksi dengan intensi-baik menjadi titik tolak dalam memeluk kebenaran dalam ketegangan antara subjektivitas yang penuh hasrat tak terhingga dan ketidakpastian objektif. [14] Selanjutnya, refleksi subjektif yang memisahkan diri dari tindakan konkret individu, dari pengalaman konkret individu maka jatuh ke dalam kategori individu abstrak. Masa kini ditandai dengan kemungkinan bagi refleksi tanpa-akhir, yakni: seseorang dapat menyampaikan opini atas segala sesuatu tanpa harus bertindak atas keputusan yang ia ambil. 
Kritik Kierkegaard terhadap Publik
            Kebenaran ditemukan dalam individu bukan massa. Tapi masa kini cenderung menyamaratakan individu-individu. Proses penyamarataan ini bukanlah tindakan seorang individual melainkan upaya refleksi di tangan-tangan sebuah kekuatan abstrak, dan kekuatan abstrak itu disebut “publik”. Publik menunjukkan keunggulan kategori 'generasi' atas kategori 'individualitas'. Dialektika pada masa klasik cenderung menuju pada kepemimpinan, antara moralitas orang bebas yang besar dan tuan di satu sisi, dengan moralitas massa atau budak di sisi lain. Pada masa itu individu-individu dalam massa tidak memiliki signifikansi apapun, justru seorang tokoh atau individu yang unggul. Pada zaman kuno, jumlah total individu mengekspresikan nilai seorang pemimpin, sementara pada masa kini standard nilai diubah melalui penyetaraan (equality) sehingga seorang 'individu' tergabung dalam jumlah besar sebagaimana persamaan numerik dan matematis, untuk merebut kepentingannya.
            Pada masa kini, publik adalah sebuah bayang-bayang (phantom), semangatnya, sebuah abstraksi besar-besaran, sesuatu yang mencakup-semua, tak lain daripada sebuah ilusi kolektif.[15] Hidup manusia maka bukan berarti apa-apa. Hidup manusia tidak memiliki signifikansi apapun. Seseorang kehilangan kuasa atas kehidupannya dalam sebuah proses destruksi individu. Manusia telah menemukan kebudayaan baru yang superior terhadap kehidupan konkretnya.
             Tapi kita harus berhati-hati dengan menyebut publik ini sebagai kumpulan individu-individu konkret, sebagai representasi, ataupun sebagai orang-orang nyata, sebab bagi Kierkegaard, publik hanyalah terdiri dari individu-individu abstrak yang melarang berbagai kontak personal. Publik memuat individu-individu abstrak yang tidak dapat disatukan dalam sebuah situasi atau organisasi aktual—dan dipadukan bersama sebagai sebuah keseluruhan. Keterpisahan pada situasi aktual dan tanggung jawab atas setiap tindakan individu ini mengkarakterisasikan publik. Dengan kata lain, publik telah  menelan dan melumat habis semua relativitas individu dan kekonkretan individu menjadi sebuah abstraksi. Publik menyamaratakan semua nilai, dan memisahkan refleksi dari tindakan individu yang penuh hasrat dan komitmen. Kierkegaard menyatakan:
            “Publik bukanlah bangsa, bukan pula sebuah generasi, publik bukan sebuah komunitas, bukan pula sebuah masyarakat, ataupun orang-orang tertentu, semua ini ada hanya melalui mereka yang konkret; tidak satu individu pun yang mendaku publik memiliki komitmen nyata tertentu; untuk beberapa jam seharian, barangkali, ia mendaku publik –pada masa-masa ketika ia   bukan apa-apa; sejak ia benar-benar siapa ia sebenarnya, ia bukan lagi bagian dari publik.  Berisi individu-individu macam itu, yang mana individu bukan apa-apa, publik menjadi sesuatu     yang besar, sebuah bukan apa-apa, sebuah padang gurun abstrak dan kekosongan, yang  adalah segala sesuatu dan bukan apa-apa.”[16]
Perbedaan mendasar antara individu konkret dan individu abstrak adalah individu konkret memiliki hasrat kreatif untuk membedakan kualitas-kualitas dengan prinsip kontradiksi antara pikiran dan eksistensi, sebagaimana prinsip kontradiksi memperkuat pengetahuan esensial, yakni: pengetahuan yang memiliki relasi dengan eksistensi; relasi esensial antara pengetahuan dan penahu, yang nota bene  adalah individu yang eksis. Jadi, penekananannya pada hasrat, batin, subjektivitas dan komitmen total. Persis disinilah refleksi subjektif bersinggungan dengan praksis dan pengalaman konkret individu. Sementara pada individu abstrak, pemusnahan prinsip kontradiksi secara eksistensial berarti hidup dalam kontradiksi dengan dirinya sehingga mengetahui dan menjadi apapun menjadi mungkin sebagaimana jangkauan luas pemahaman reflektif.[17] Kierkegaard menambahkan: “Meskipun begitu, ketika zaman reflektif dan tanpa hasrat menghancurkan segala sesuatu yang konkret, publik menjadi segala sesuatu dan mencakup segala hal.”[18]
            Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, Jurgen Habermas menyelidiki awal kemunculan ruang publik pada pertengahan abad ke 18. Ia menjelaskan bagaimana pada saat yang bersamaan pers dan kedai-kedai kopi menjadi locus bagi sebuah bentuk baru diskusi politis. Ruang publik modern itu sendiri berada di luar kekuasaan politis, berbeda secara radikal dengan polis-polis Yunani kuno ataupun Republik. Secara negatif, status ekstra-politis ini bisa berarti kekosongan kekuatan politis, tapi sebaliknya ruang publik ini secara positif justru menjadi ruang dimana refleksi rasional dan tanpa-kepentingan dapat ditampung, disuling, dan diinstitusionalisasi sehingga dapat mengawasi pemerintahan dan dunia-kehidupan.[19] Dalam sebuah masyarakat yang bebas, tiap orang berpikir bahwa ia menaruh perhatian pada semua persoalan-persoalan publik. Melalui pers, diskusi yang tak-bertautan dan debat publik menjadi ciri esensial masyarakat bebas yang diperluas dan semakin diperluas sampai pada warga negara.
            Kierkegaard dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya pers lah, pada khususnya koran harian  yang membuat Kristianitas tidak mungkin. “Kristianitas secara eksplisit ingin mengintensifkan hasrat pada tahapan tertingginya, tapi hasrat adalah subjektivitas, dan secara objektif Kristianitas tidak ada sama sekali.”[20] Kristianitas mengandaikan subjektivitas, sebagai kemungkinan kepemilikan (appropriation), kemungkinan untuk menerima kebaikan, kebahagiaan abadi bagi individu tunggal. Maka Kristianitas memprotes pelbagai objektivitas sebagaimana dimodelkan oleh sains, kaum cerdik-cendikia, komunitas agama, dan kaum agamawan. Orientasi objektif atas Kristianitas membalikkan seseorang menjadi seorang pengamat (observer/third party/onlooker) atas pertanyaan etis tentang apa yang harus saya lakukan secara etis. Demikian pula pada masa kini, tiap orang berpangku-tangan, dan dengan sedikit refleksi mengetahui apa yang harus dilakukan, tapi tidak melakukan apapun. Pada masa kini, keberadaan koran harian telah mendemoralisasi kehidupan manusia sebab membuat seseorang tidak kompeten untuk bertindak.
            Problem mendasar atas ekspansi koran harian ini adalah rezim opini publik muncul sebagai rezim atas mayoritas dan kaum-kaum yang mengambil sikap setengah-setengah (mediocre). Sebagaimana Publik berekspansi melalui pertumbuhan cepat pers, gelombang-gelombang debat dan arus deras pendapat kaum intelektual menjadi “tirani opini publik”: suara-suara mayoritas yang memasuki dan menguasai opini publik, tanpa kewarganegaraan yang kritis. Habermas mendukung proyek demokratisasi ruang publik oleh pers harian tapi menolak bentuk-bentuk perdebatan yang jatuh ke dalam konformisme atas opini publik yang mewakili suara mayoritas. Ia menaruh perhatian pada keutamaan-keutamaan moral dan politis atas ruang publik. Sementara Kierkegaard memandang ruang publik itu sendiri sebagai bentuk fenomena kultural baru dan berbahaya. Di dalamnya nihilisme diproduksi oleh pers dan ruang publik, berangkat dari refleksi yang terpisah dari eksistensi manusia yang konkret dan berkomitmen.
            Pers mendorong orang untuk memberikan opini atas segala sesuatu, kemudian secara masif mendistribusikan informasi yang lepas dari situasi (desituated information) sehingga informasi tersedia bagi siapa saja, oleh siapa saja, sedemikian sehingga memproduksi seorang penonton yang terpisah, lepas-dari-situasi. Penyebarluasan informasi ini mengakhiri kebungkaman warga negara atas berbagai persoalan publik. Tiap orang didorong untuk memberikan opini dan komentar atas semua persoalan publik, atau melirik dan menyusupkan diri mereka pada mayoritas maupun minoritas, tanpa membutuhkan pengalaman langsung dan tanggung jawab. Dengan kata lain, individu abstrak dalam relasi dengan pers, ruang publik dan proses penyamarataan itu, telah memisahkan diri dari situasi (desituated) dan kekurangan hasrat dan komitmen dikombinasikan dengan zaman reflektif menjadi agen nihilistik. Malapetaka yang paling mematikan adalah pers dan anonimitas yang menjadi kekuatan prinsipil atas impersonalitas. Opini publik berubah menjadi dunia yang terpisah dari komitmen dan eksistensi manusia konkret. Upaya untuk melekatkan diri pada publik atau mengadopsi opini yang sama sebagaimana publik adalah sebuah penghiburan yang palsu sebab publik hanya ada dalam abstraksi (in abstracto).[21]
            Emansipasi pikiran bagi Kierkegaard harus mewujud menjadi pengetahuan nyata oleh keputusan dan tindakan. Secara historis, Revolusi Perancis menumbangkan rezim lama, dan dengan optimisme dan kepercayaan diri membangun kembali sebuah dunia baru dan lebih baik, yang didalamnya manusia tidak lagi minor, melainkan menjadi tuan atas takdirnya sendiri. Sayang sekali energi itu dihabiskan dengan refleksi tanpa keputusan, proses penyamarataan yang terjadi bukan saja pada ranah sosial dan politis, tapi juga ranah moral. Inilah ancaman sesungguhnya eksistensi manusia. Pilihan (choice) bagi seorang individu adalah jembatan bagi eksistensi, pada titik di mana refleksi dan aksi silang-menyilang, dan digabungkan oleh hasrat yang mendorong tindakan sebagai kualitasnya.
            Kierkegaard mengkarakterisasikan publik dengan kecerewetan (talkativeness). Ruang Publik menghadirkan  komentator-komentator yang hadir dimana-mana, yang dengan bebas memisahkan diri mereka dari konsekuensi praksis atas isu-isu tertentu yang berkembang. Publik ibarat laku seekor anjing non-eksistensi dengan motif uang, yang dengan temperamen buruk terus menerus menyalak menghardik, menyerang orang lain tanpa penyesalan.  Kebanyakan orang ramai-ramai mengiyakan, atau sebaliknya ingin membungkam dan membunuh anjing itu, sampai tak satupun mengakui anjing itu miliknya. Dalam keseharian, komentator dan pengamat mengeluarkan berbagai opini, komentar dan wacana tentang isu-isu yang sedang berkembang. Padahal komentator yang paling sadar-diri sekalipun tidak memiliki pengalaman langsung ataupun mengambil posisi yang konkret!
            Bagi Kierkegaard, eksistensi yang otentik menuntut seseorang untuk memahami distingsi vital antara  kapan harus diam dan kapan harus berbicara. Artinya, hanya seseorang yang mengetahui kapan harus diam dapat benar-benar berbicara dan bertindak secara hakiki. Pada satu sisi, diam dan hening adalah esensi batin, kehidupan di dalam. Dalam kehidupan personal dan privatnya, seseorang benar-benar menghayati pengalaman hidupnya, menempa diri untuk membentuk ideal-ideal diri, dan pada saat yang sama pelbagai kemungkinan dalam hidupnya, termasuk kemungkinan yang paling berlawan sekalipun (opposite possibility). Sementara di sisi lain, sebuah masa kecerewetan adalah saat ketika perhatian orang tidak lagi mengarah ke batin, ketika mereka tidak lagi dipuaskan oleh dengan kehidupan religius batin  mereka, sehingga beralih pada sesuatu yang lain di luar diri mereka.[22]
Pada masa penuh hasrat, peristiwa-peristiwa besar menjadi bahan pembicaraan, sementara pada masa kini terlalu banyak hal yang dibicarakan. Satu peristiwa berakhir, diikuti diam, ada sesuatu yang masih bisa diingat dan dipikirkan sementara seseorang tetap diam. Tapi kecerewetan takut hanya diam yang mengungkap kekosongannya (emptiness). Sebagaimana gosip meremukkan  distingsi vital antara apa yang privat dan apa yang publik. Gosip privat-publik memusatkan perhatiaannya pada hal-hal yang paling privat. Kecerewetan mengisi hari dan berbicara tentang apa saja, yang bisa berarti segala sesuatu, tetapi juga bukan apa-apa.
            Karakter publik lainnya adalah formlessness (ketiadaan bentuk). Ketiadaan bentuk memiliki isi (content) yang dianggap benar, tapi kebenaran itu mengandung kebenaran yang secara esensial tidak dapat benar.[23] Karena kebenaran ini mampu memperluas, mencakup dan menyentuh segala sesuatu karena intensitas dan penyerapan-dirinya. Seorang individu menyangkal prinsip yang mengungkapkan-diri (self-revealing principle) berasal dari kekuatan batinnya, dan mereduksi tindakan moral pada sebuah abstraksi dengan bertindak 'sesuai dengan prinsip' (on principle), nilai-nilai yang dianut secara kolektif, sehingga kehilangan penyesalan dan tanggung jawab personalnya.  Individu tanpa hasrat cenderung menyerahkan kehidupan batinnya pada kekuatan eksternal. Dengan bertindak 'sesuai dengan prinsip' berarti seseorang bertindak atas dasar 'sistem', 'tugas negara', 'tugas resmi', dan seterusnya, dan seterusnya. Perangainya serba permisif, justru dianggap heroik, dan serba bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan zamannya dengan dalih 'sesuai dengan prinsip'.
            Hubert L. Dreyfus memberikan gambaran tentang konfigurasi masyarakat baru, yakni masyarakat internet sebagai sintesis hi-tech, yang mewarisi ciri terburuk koran dan kedai-kedai kopi. Jaringan komputer dunia dan website-website mengalirkan hal-hal yang signifikan sampai hal-hal yang remeh temeh, yang semuanya  dibentangkan di atas lalu lintas informasi. Mulai dari grup-grup maya yang menjadi tempat bertukar pikiran, berdiskusi tentang berbagai topik tanpa konsekuensi-konsekuensi di dalamnya.  Semua orang berkeinginan merespon opini-opini komentator-komentator amatir yang anonim, yang menyampaikan pandangan-pandangan mereka entah dari mana.
Komentator-komentator yang tidak mengambil posisi tertentu dalam isu yang mereka bicarakan. Kemudian blog-blog yang  membuka ruang bagi tiap orang dapat mengekspresikan opininya tentang apa saja tanpa memerlukan pengalaman langsung dan tanpa menerima tanggung jawab tertentu. Meskipun demikian melimpahnya blog itu tidak memberikan kontribusi apapun, sebab ide-ide itu membutuhkan tindakan yang penuh komitmen. Pengalaman-pengalaman yang dipublikasikan. Motivasi-motivasi yang coba ditularkan. Kebajikan-kebajikan yang ditawarkan sedemikian rupa ditampilkan menyerupai pengalihan, ilusi dan pelarian-diri dari tindakan manusia yang dihayati, yang penuh resiko sebagai konsekuensi pilihan eksistensial manusia.
Mengarungi Wilayah-Wilayah Eksistensi
            Kierkegaard menyimpulkan analisisnya atas bahaya masa kini dan prediksi gelapnya atas kehidupan mental dan sosial Eropa dengan kata-kata ironisnya: “Dan semenjak zaman ini, yang didalamnya terlalu sedikit yang dilakukan seperti halnya sejumlah tindakan luar biasa yang dilakukan dalam cara kenabian, apokalips, petunjuk dan pengetahuan yang mendalam akan masa depan, barangkali tidak ada hal lain selain masuk tergabung ke dalamnya dan menjadi satu dengan yang lain.”[24]
Alternatif Kierkegaard atas penyamarataan oleh publik dan paralelisasi refleksi adalah dengan lompatan seseorang ke dalam aktivitas tertentu—aktivitas dengan komitmen yang penuh hasrat. Kierkegaard membedakan tiga wilayah eksistensi di dalamnya manusia mencapai kepenuhan hidupnya, atau tahapan manusia memiliki (appropriation) esensinya, yakni: tahapan estetis, tahapan etis, dan tahapan religius. Di sini Kierkegaard ingin menekankan bahwa pengambilan keputusan dan tindakan konkret meletak di dalam eksistensi, terutama sekali golongan muda yang belum lelah oleh ekses refleksi. Meskipun itu sebuah lompatan yang kurang perhitungan dan nekad sekalipun, selama itu penuh keberanian, selama itu pasti dan tegas—seseorang sungguh menjadi manusia. Hidup dalam bahaya berarti hidup dalam ketegangan antara yang mewaktu (temporal) dan yang abadi, antara ketidakpastian dan kepastian, prinsip kontradiksi antara  pikiran dan eksistensi,  yang memampukan hasrat kreatif untuk membedakan kualitas-kualitas.
          Tiap wilayah eksistensi merepresentasikan sebuah jalan (way of life) untuk membebaskan dari penyamarataan masa kini, pencaplokan ke dalam kategori individu abstrak yang terkonsentrasi pada massa, populasi, dan kerumunan—singkatnya publik—untuk mencapai kehidupan yang absolut. Pertanyaannya adalah sampai di tahapan manakah kita menapaki wilayah eksistensi kita sebagai individu? Sebab—sekali lagi—bagi Kierkegaard, yang konkret adalah individu yang sama sekali keluar dari publik, bukan sebuah bangsa, bukan sebuah generasi, zaman orang tertentu, bukan sebuah komunitas, sebuah asosiasi ataupun bukan pula orang-orang tertentu. Menjadi individu yang otentik, yang penuh hasrat, dan mau mengikatkan diri pada komitmen total adalah proyek eksistensial Kierkegaard. Proyek ini menemukan aktualitasnya ketika kesesuaian antara pikiran, perkataan dan perbuatan teramat sulit ditemui dalam ruang kehidupan sosial kita dewasa ini.
         Pada wilayah estetis, tiap orang menikmati semua kemungkinan sebagai pusat kehidupan mereka. Tiap orang ingin tahu tentang segala sesuatu, mencari sebanyak-banyaknya informasi dan mengunjungi sumber-sumber informasi yang tersebar di media massa. Kierkegaard mengatakan: “... kemungkinan-kemungkinan refleksi jauh lebih superior ketimbang keputusan belaka.”[25] Dihadapkan pada publik dan media massa, cara manusia mengada di dunia pada tahapan ini memunculkan rasa ingin tahu yang malas. Produksi informasi setiap harinya didistribusikan secara besar-besaran sampai pada kesadaran individu. Pada tahapan estetis, informasi melalui media massa, situs-situs internet pada khususnya menyediakan daya tarik dan juga kebosanan, tapi internet selalu saja dapat menampilkan hal yang menarik—hanya dengan klik saja. Hasrat ingin tahu yang langsung dan spontan mengkarakterisasi tahapan ini.
            Cara mengada manusia memasuki ruang sosial baru pada internet, terutama jejaring sosial, yakni: penegasan dan penciptaan identitas diri. Bukan semata karena identitas seseorang itu dibentuk karena pengakuan oleh orang lain, tapi pengalaman modernitas memungkinkan seseorang untuk menentukan, memilih, dan membuat ulang identitasnya. Identitas selalu saja rentan terhadap ketinggalan zaman tapi sekaligus juga kekinian dan kebaruan. Internet menyediakan model identitas macam itu dengan menjadi seorang penonton segala sesuatu yang menarik sejagad, dan komunikasi dengan orang lain yang semakin meningkat. Hal yang remeh-temeh, superfisial, banal menjadi begitu atraktif, misalnya: dengan memandang sekilas berita-berita yang up to date, bersungut-sungut melalui media jejaring sosial, atau mengintip status pertemanan mutakhir di facebook. 
Tiap orang selalu ingin tahu. Sebab penonton yang anonim (anonymous spectator) tidak memiliki resiko apapun. Tidak ada pertimbangan moral. Yang ada adalah kepuasan (satisfaction) dan ketidakpuasan (dissatisfaction), rasa terpenuhi (fullfilment) tetapi juga frustasi, nikmat dan sakit, senang dan susah, ekstasi dan putus asa, demikian pula hal-hal yang menarik perhatian dan membosankan.[26] Media massa, khususnya internet menawarkan pelarian diri-pelarian diri, sebagaimana komoditi hiburan, wacana, hiruk pikuk informasi mempertontonkan diri dalam sebuah realitas yang semakin bertambah dan memperluas dirinya (augmented reality).
            Pada wilayah estetis, seseorang merentangkan semua kemungkinan dan tidak memiliki identitas tetap, yang dapat diancam oleh kekecewaan, penghinaan dan kehilangan. Kehidupan internet secara ideal cocok dengan sebuah cara eksistensi, diri-diri dan identitas yang berubah sesuai dengan pemahaman yang populer, sehingga diri itu menjadi fluid, mampu berlipat-ganda, fleksible dan selalu dalam proses. Hubert L. Dreyfus menyebut tahapan estetis sebagai medan bagi konstruksi dan rekonstruksi Diri-Postmodern, yakni diri yang tidak memiliki isi yang jelas ataupun kontinuitas, tapi secara terus menerus mengambil peran baru.[27] Bagi Kierkegaard, pada masa kini dalam diri seseorang terdapat kontradiksi diri, sebab seseorang mengetahui dan bisa menjadi apa saja atas berbagai kemungkinan.
            Cukup jelas bahwasanya Diri membutuhkan keteguhan, ketetapan, keseimbangan. Tahapan estetis menemui keputus-asaan: “Tiap pandangan estetis kehidupan adalah keputus-asaan, dan tiap orang yang hidup secara estetis dalam keputus-asaan entah ia sadar atau tidak. Tapi ketika seseorang mengetahui bentuk yang lebih tinggi eksistensi, bentuk eksistensi itu adalah sebuah persyaratan imperatif.”[28] Hidup pada tahapan estetis dengan komitmen total untuk menemukan makna kehidupan jatuh dalam keputus-asaan, sebab yang menarik dan yang membosankan, yang signifikan dan tidak signifikan, yang relevan dan tidak relevan, keduanya sama saja. Inilah kegagalan eksistensi yang pertama. Sampai di sini kita perlu menapaki wilayah etis.
            Pada wilayah etis, seseorang memiliki identitas yang tetap dan diperkuat dengan tindakan yang terlibat. Informasi dipakai dan ditelusuri untuk tujuan-tujuan yang serius menjadi sumber berharga bagi apa yang menjadi perhatian kita. Sayangnya, ruang publik yang meluas dan media massa yang berkembangbiak dan beranakpinak menjadi kekuatan utama bagi individu dalam mendapatkan pengetahuan. Dengan kata lain, ruang publik dan media massa mereduksi sumber pengetahuan pada informasi yang tersebar, didistribusikan di internet dan media massa lainnya. Jika memang demikian, baiklah informasi yang relevan menentukan apa yang perlu dilakukan. Pada tahapan ini, jika lalu lintas informasi di internet bisa mengungkap dan mendukung dalam membuat dan mempertahankan komitmen bagi tindakan praksis, maka informasi itu menyokong wilayah etis. Tapi kehidupan seseorang membatasi komitmen-komitmen seseorang.  Asosiasi sekumpulan individu, seperti misalnya 'partai', 'organisasi massa', 'komunitas agama', dsb pun tak ubahnya perkawinan anak-anak, sebab prinsip asosiasi memperkuat individu secara numerik, namun memperlemah individu secara etis.[29]
            Dengan nama samaran Judge William, Kierkegaard menjelaskan bagaimana  luasnya kemungkinan yang relevan dengan komitmen-komitmen manusia dibatasi oleh kemampuannya, oleh peran sosialnya sebagai hakim dan suami. Bagi Judge William, makna kehidupan seseorang sebagai agen yang otonom itu didasarkan pada sebuah pilihan yang fundamental, pada sebuah distingsi kualitatif atas apa yang berharga dan apa yang tidak berharga, apa yang baik dan apa yang durjana, dan pilihan itu tergantung pada dirinya—apapun talentanya, apapun perannya.[30]
Kehendak bebas untuk memilih mana yang baik dan mana yang durjana itu berangkat dari refleksi subjektif manusia, tapi jika pertimbangan etis itu dibangun bagi pilihan, termasuk tolak ukur pada basis apa yang ia pilih, tidak akan ada alasan memilih tolak ukur yang satu ketimbang tolak ukur yang lain. Persoalannya adalah seseorang tidak pernah benar-benar membuat perbedaan yang serius, manakala seseorang selalu dapat menunda, atau bahkan memilih untuk membatalkan pilihan sebelumnya. Di sinilah, penyamarataan semua distingsi kualitatif terjadi, dan menguatnya kecenderungan untuk larut dalam ide-ide kolektif. Komitmen tidak menjadi pegangan dalam hidup seseorang jika seseorang itu selalu bebas untuk mencabut kembali komitmennya. Dengan kata lain, komitmen selalu saja direvisi dari waktu ke waktu sebagaimana pengetahuan dan informasi baru hadir, dan seseorang dengan bebas memilihnya.
            Wilayah etis jatuh dalam keputus-asaan, entah karena seseorang terjerembab dengan apa yang terjadi dan dianggap penting dan dibebankan dalam kehidupannya sehingga ia tidak bebas, maupun karena kuasa kebebasan untuk membuat dan tidak membuat komitmen. Inilah kegagalan bereksistensi kedua. Pada wilayah etis, semua perbedaan yang penuh arti disamaratakan oleh seseorang yang membuat kebebasannya absolut. Sampai di sini kita melompat pada kawasan religius eksistensi.
            Kawasan religius eksistensi adalah hasrat tanpa batas dan komitmen tanpa syarat. Hidup dalam komitmen yang tidak dapat dibatalkan, demikian pula kehidupan yang otentik diisi oleh komitmen tanpa syarat yang mencegah penyamarataan, dengan membuat distingsi kualitatif yang tegas antara yang penting dan remeh, yang releven dan tidak relevan, dan yang serius dan penuh canda (main-main) dalam kehidupan seseorang. Tahapan akhirnya adalah pilihan dan komitmen pada Tuhan maupun kepada kehidupan yang dicintai dalam hidup religius. Lompatan pada kawasan religius ini membutuhkan komitmen untuk memusatkan diri pada pihak tertentu di masa depan, padahal masa depan secara hakiki dicirikan oleh kemungkinan (possibility) dan ketidakpastian (uncertainty).[31] Ditambah lagi, komitmen tanpa-syarat menjadikan masa depan yang bersifat tidak pasti (uncertain) menjadi sesuatu yang pasti (certain), sebagaimana kebenaran objektif mesti dimiliki (appropriated) secara subjektif.
            Kierkegaard menaruh perhatian pada Kristianitas 'tanpa otoritas', dalam pengertian otoritas diusung dalam konteks baru, yaitu: emansipasi pikiran yang dipadukan dengan tanggung jawab moral, dan meletak pada individu itu sendiri. Otoritas adalah cara didalamnya 'yang lain' (the other), yang transenden, masuk ke dalam eksistensi, momen pada saat 'pilihan' melalui cara berpikir subjektif, melalui batin, memahami yang objektif, yang transenden. Pada lapisan imanen, pilihan membuat seseorang menjadi individu dengan keberaniannya berpikir sendiri, dengan keberaniannya menanggung resiko. Dihadapkan pada proses penyamarataan, individu harus memilih apakah tenggelam, hilang dan tersesat dalam massa, 'kebanyakan orang', atau diselamatkan melalui sebuah lompatan iman (leap of faith), lompatan yang penuh dengan antusiasme abadi—bukan antusiasme spontan, menuju lapisan transendensi.
            Prinsip individualitas disimbolisasikan dengan pemimpin yang unggul, dan menyadari sejak awal bahwa proses penyamarataan adalah jahat, baik dalam individu yang egois maupun generasi yang egois. Dulu orang-orang berpaling pada pemimpin untuk membantu kehidupan religiositasnya, sekarang ia harus memilih apakah hilang dalam labirin abstraksi tanpa akhir, atau diselamatkan dalam kehidupan religius. Setiap individu harus berusaha sendiri bagi kehidupan abadinya sebab proses penyamarataan telah menggeser dan menggantikan otoritas seorang pemimpin, otoritas Nabi sebagai wakil Allah, ataupun otoritas seorang hakim, apabila seseorang ingin menggeluti kawasan etis-religiusnya. Otoritas mereka tidak lagi diakui sejauh setiap orang memberikan opini, dan opini-opini tersebut diperkuat dalam kesatuan numerik, sebuah abstraksi tak terbatas. Penyamarataan di bawah panorama abstraksi tak terbatas (infinite abstraction) atas 'kemanusiaan sejati' (pure humanity), maupun dalam pengertian kesetaraan (equalitarian sense) semua manusia.[32] Maka, individualitas menjadi titik tolak untuk melompat menuju kedalaman. Seseorang belajar mencintai dirinya, atau mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri, meskipun ia dituduh arogan, egois dan bangga-diri karena tidak membantu orang-orang menuju kehidupan pada tingkatan tertinggi. Inilah proyek eksistensial dengan penuh ketegangan, yang mesti dikejar, digeluti, dan diperjuangkan oleh tiap-tiap individu.
          Secara singkat, karakter masa kini adalah sebuah refleksi yang terpisah dari pengalaman konkret dan tindakan praksis individu, hiperfleksibilitas wilayah estetis, dan kebebasan tanpa batasan pada wilayah etis adalah banyak cara untuk mencegah seseorang dari perasaan sakit dan terluka. Tapi kedua wilayah ini jatuh dalam keputus-asaan sebagai upaya menemukan eksistensi manusia yang otentik dan komitmen total. Kita berhadap-hadapan dengan absurditas dalam lalu  lintas informasi di internet tatkala bersinggungan dengan wilayah estetis dan etis eksistensi. Hubert L. Dreyfus menyimpulkan: “Pers dan internet adalah musuh utama komitmen tanpa syarat, tapi hanya komitmen tanpa syarat pada wilayah religius eksistensi yang dapat menyelamatkan kita dari penyamarataan nihilistik yang diawali oleh Pencerahan, dipromosikan oleh media dan ruang publik, dan disempurnakan oleh jaringan komputer dunia (world wide web).”[33]
Penutup: Individu Abstrak?
                  Yueyue, anak berusia dua tahun, yang tumbuh dalam kawasan makmur Foshan di China Selatan, masih terlalu kecil untuk menyelami di balik permukaan-permukaan realitas sosial-historis dunianya, apalagi untuk ambil bagian menjadi subjek perubahan dalam sejarah. Yueyue terbaring dan menggeliat dalam kesakitan setelah dua mobil van menabrak dan melindas tubuh mungilnya, sementara 18 orang yang melewatinya dengan jalan kaki maupun berkendara, tidak mempedulikannya sama sekali. Tiap orang tahu apa yang harus dilakukan, atau kemungkinan-kemungkinan apa saja yang dapat dilakukan, tapi tak seorang pun mengambil tindakan. Tidak seorang pun mau menjadi orang Samaria yang baik hati. Sampai akhirnya seorang pemulung perempuan 58 tahun tergerak oleh belas kasihan. Seorang pemuda paruh baya yang mengendarai scooter memberi kesaksian: “Dia bukan anak saya. Jadi mengapa saya harus berurusan?”. Pemilik salah satu van berkata: “Jika ia mati, saya hanya harus membayar 20.000 yuan. Tapi jika ia cedera, maka biayanya bisa mencapai ratusan ribu yuan.” Pejalan kaki yang lalu lalang dan pengamat insiden  itu berkekurangan (lack) kewajiban moral untuk menolong orang lain, terutama mereka yang dianggap 'asing', terlebih lagi berpikir dan memilih untuk tidak ikut campur dalam urusan orang lain. Di tengah maraknya kecaman dan diskusi atas kebekuan hati penduduk China untuk mengulurkan tangannya pada korban, muncullah pengakuan bahwa publik barangkali akan melakukan hal yang serupa atas petaka yang terjadi terhadap sesamanya.
                   Kita harus menengok kasus yang terjadi sebelumnya, yang disebarluaskan oleh media massa di China, yakni “Pengadilan Nanjing”. Pada tahun 2006, di ibukota propinsi Jiangsu, pemuda bernama Peng Yu mengulurkan tangannya membantu seorang wanita renta yang terjatuh. Ironisnya keluarga korban, publik dan hakim malah mendakwa Peng karena menyebabkan wanita renta itu terjatuh. Peng harus membayar denda. Keegoisan dan ketamakan diinternalisasikan di tengah laju pertumbuhan ekonomi pasar. Sistem ini menawarkan peningkatan standar kehidupan, meskipun harus dibiayai dengan pemelaratan yang terus dipelihara, dan ketahanan hidup yang semakin mendesak dan bertambah.
Di China, krisis nilai moral tradisional dan etika berlangsung selama Revolusi Kebudayaan sampai pada, kurang atau lebih, kolapsnya komunisme.  Fenomena ini bisa jadi bukan hanya terjadi di China, melainkan menyebar ke seluruh penjuru dunia seiring dengan prinsip-prinsip moral tradisional, religiositas dan etika yang semakin terkikis oleh sistem ekonomi politik yang beroperasi. Dihadapkan pada situasi-situasi di dalamnya kita terjebak, Kierkegaard mengajak kita untuk berpikir, mengambil keputusan dan tindakan sebagai sebuah pilihan eksistensial. Bukan tindakan yang didikte oleh otoritas, dibebankan oleh tradisi kultural, diterima begitu saja oleh kebanyakan orang, ataupun tindakan yang merefleksikan keterpisahan dan keterlepasan individu dari pengalaman konkret, melainkan sebuah tindakan penuh hasrat sebagai kemungkinan-kemungkinan spesifik dan tugas-tugas aktual, yang berasal dari subjektivitas dan bersentuhan dengan kesulitan-kesulitan situasi individu.
                    Herbert Marcuse yang dibesarkan dalam tradisi Marxisme Barat pernah berujar bahwa karya-karya Kierkegaard adalah 'sebuah upaya besar terakhir untuk memulihkan agama, sebagai organon (seperangkat sistem dan prinsip pemikiran dan pengetahuan) pokok dalam membebaskan kemanusiaan dari dampak destruktif sebuah tatanan sosial yang opresif.”[34] Marcuse sendiri berbicara tentang kebudayaan industrial lanjut yang lebih ideologis ketimbang pendahulunya. Pada wilayah publik, independensi pikiran, otonomi, dan hak bagi oposisi politis dimundurkan dari fungsi dasar kritisnya dalam sebuah masyarakat yang nampak semakin mampu memuaskan kebutuhan individu melalui cara bagaimana masyarakat itu diatur dan diorganisasikan. Oposisi-oposisi direduksi menjadi diskusi dan promosi tentang kebijakan-kebijakan alternatif dalam status quo.[35] Melalui kekuatan indoktrinasi media, kontrol sosial berlangsung dalam operasi lembut menyisipkan individu-individu dalam tatanan masyarakat yang bercokol.
                        Problem pemenuhan manusia dalam istilah filsafat post Hegelian dapat digambarkan sebagai pemilikan manusia pada esensinya. Korelatif dengan ide ini adalah pengasingan manusia dari apa yang seharusnya menjadi esensinya, dan kebutuhan untuk membebaskan dirinya dari kondisi yang mengasingkan itu. Menurut Marcuse, fiksasi Kierkegaard pada individu melibatkan pengadopsian pendekatan abstrak pada problem itu. Selain itu ia juga berpendapat bahwa konsep etis-religius dan prinsip sentral Kierkegaard tentang individu tunggal merupakan ekspresi-ekspresi ideologis kondisi-kondisi tatanan sosial politis, dan ini pada gilirannya sebagai ekspresi tipe dominan proses kerja sosial. Sebagaimana Marx memandang agama sebagai sebuah instrumen opresi sosial, dan dari sudut pandang yang tertindas, sebagai sumber substitutif pemenuhan manusia di luar kehidupan sosial. Agama  diterjemahkan menjadi ideologi, dan “perasaan religius” itu sendiri adalah produk sosial. Sebagaimana pula Feuerbach mengantropologikan teologi dengan memandang konsep-konsep religius sebagai proyeksi-proyeksi imajinatif atas pikiran, perasaan dan kehendak manusia, sehingga manusia justru mengasingkan dirinya dalam ekspresi-ekspresi ketidaksempurnaan, dosa, dan penebusan.
                        Kierkegaard sendiri mengklaim proyek etis-religiusnya adalah sebuah area yang imun terhadap penjelasan alam (asumsi-asumsi naturalis) dan fakta-fakta sosial. Kristianitas adalah sesuatu yang tidak dapat diuraikan sama sekali. Kristianitas bukan doktrin, melainkan sebuah 'komunikasi eksistensi'. Maka, ekspresi-ekspresi religius Kierkegaardian cukup berbeda dengan zamannya. Allah sendiri bukan objek, melainkan jika kita berbicara mengenai kebenaran religius, individu merelasikan dirinya pada kebenaran, sebuah relasi-Allah. Bahkan jika relasi-Allah itu harus dijalin dengan kesulitan-kesulitan atau kontradiksi-kontradiksi dialektis untuk menemukan Allah secara objektif dengan penderitaan dan keputusasaan.
                 Teoritisi Marxis sepakat dengan Hegel bahwa pada hakikinya individu tidak terisolasi dari konteks sosialnya bagi pemenuhan hidupnya. Bedanya, analisis Marxian atas isolasi manusia itu harus diperbaiki melalui kontrol kesadaran proses kerja sosial. Sebab pada dasarnya manusia adalah pembuat sejarahnya melalui aktivitas sosial ekonomi; manusia menciptakan setiap detail dunianya melalui proses produksi kekayaan material, dan bagaimana di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu, objektifikasi manusia atas kekuatan alamiahnya melalui kerja, justru membawa esensi manusia dalam konflik dengan eksistensinya.  Di bawah kondisi demikian, perjuangan eksistensi adalah pengejaran materi yang berciri egoisme. Kemakmuran dan kelimpahan produksi dibarengi ketidakmilikkan. Ketercerabutan antar manusia dari fokus komunitasnya.  Kebebasan merosot menjadi kebebasan memilih pemenuhan kebutuhan palsu di tengah meningkatnya standar kehidupan.
                Pada satu sisi, keduanya, baik Kierkegaard maupun Marx melancarkan kritik pada abstraksi Hegel. Tapi justru teoritisi Marxis cenderung  mengelompokkan Kierkegaard dan eksistensialisme pada umumnya dalam kategori 'abstraksi'. Pendekatan abstrak yang disematkan pada eksistensialisme adalah pendekatan yang gagal memahami hubungan hakiki individu dan masyarakat, pendekatan yang menggunakan kategori individu yang terisolasi, berbeda dengan upaya memahami kodrat sosial manusia yang hakiki. Bagi Marcuse, keutuhan dan kepenuhan eksistensi individu disempurnakan dalam kehidupan sosialnya (sosialitas dan komunitasnya). Kehidupan sosial adalah locus bagi pemenuhan manusia. Esensi manusia bukanlah abstraksi dalam tiap individu tunggal, melainkan aktualitasnya dalam rangkaian relasi sosial. Keberatan Marcuse atas pandangan Kierkegaard adalah kebebasan manusia, liberasi manusia yang imun terhadap pengaruh-pengaruh sosial, padahal jelas-jelas belenggu sosial ini membentuk dan menentukan kemungkinan-kemungkinan manusia. Kemungkinan-kemungkinan aktual yang disituasikan oleh konteks sosialnya.
                  Di sisi lain, baik Kierkegaard maupun Marx menekankan tindakan praksis atas problem liberasi manusia. Artinya, liberasi sosial yang mencita-citakan situasi dan peradaban baru tidak berasal melalui refleksi, berpikir semata, melainkan dimensi praksis, bukan filosofis melulu.[36]  Tugas ini bagi Marx adalah 'untuk membawa di bawah kesadaran mereka sendiri kendali atas kondisi-kondisi material kehidupan', yaitu: fungsi faktor-faktor sosial yang mendasari dan mempertahankan bentuk-bentuk kerja sosial. Metode-metode Marxian menjadi instrumen pengetahuan sekaligus menjadi instrumen perjuangan kelas. Dengan kata lain, problem liberasi membutuhkan kesatuan teori dan praksis: pengetahuan dan kontrol atas proses kerja sosial bagi solusinya. 
                  Sementara bagi Kierkegaard: untuk membawa di bawah kesadaran mereka sendiri kendali atas kondisi-kondisi psikologis kehidupan. Kondisi-kondisi komunitas yang membutuhkan kehendak-kehendak moral sebagai proyek praksis liberasi individu.[37] Dengan pengandaian etis bahwa setiap orang dilahirkan dalam sebuah kondisi bagi tujuan etis untuk menjadi manusia, Kierkegaard memusatkan perhatian pada pemenuhan primer sebagai semacam prasyarat bagi liberasi sosial, yakni: bagaimana membawa kategori-kategori eksistensial pada relasi dengan orang lain. Jika kehendak-kehendak tidak secara individual dipersatukan, individu-individu tidak dapat dipersatukan secara kolektif. Liberasi individu ini mencapai tahapan lanjut menjadi liberasi sosial.  Transformasi individu merupakan sebuah reorientasi radikal kepentingan-kepentingan individu, sekalipun bagi para pembela (apologist) Kierkegaard, harus ditandai dengan lompatan menuju pada sebuah tujuan absolut melalui mediasi iman, dengan mengesampingkan tujuan-tujuan temporalnya.[38] Fungsi kehendak di sini merepresentasikan kelanjutan sosio-psikologis atas gagasan Feuerbach maupun Marx.
                  Dari sudut pandang etis-religius Kierkegaardian, kerumunan dan massa adalah kepalsuan (untruth) tatkala kerumunan mengasumsikan menjadi otoritas atas apa 'kebenaran' itu. Kierkegaard menyerang mayoritas yang memiliki validitasnya, ataupun otoritas dengan pelbagai tujuan-tujuan temporal dan duniawi. Barangkali jika Kierkegaard memperkuat dirinya dalam masalah-masalah ekonomi ataupun hidup untuk membaca analisis masyarakat kapitalis Marx, ia akan melihat titik perubahan-perubahannya spesifik dalam bentuk-bentuk asosiasi sosial ekonomi.
                  Eksistensialisme Kierkegaardian berangkat dari pengandaian antropologis bahwa manusia hanyalah seorang roh malang yang eksis di dunia, roh-yang-mengetahui dengan pelbagai keterbatasannya, seperti halnya manusia lain yang berjuang dengan keraguan, kecemasan, dan kemurungannya—tanpa menutup kemungkinan bagi liberasi individu dalam membuat pilihan yang penuh hasrat dan komitmen total sebagai bentuk perjuangan eksistensi. Kierkegaard sendiri menggambarkan situasi dan  kategori individu (abstrak) pada masa kini yang dari sudut pandang religius, zamannya, rasnya, dan sejarahnya harus lewat.
Kierkegaard menyadari bahwa karya-karyanya bisa saja dilupakan seperti halnya penulis lainnya. Akan tetapi dengan cara berpikir subjektifnya, ia meyakini bahwa kategori individu 'abstrak' dan karakter masa kini yang ia ungkap benar atau salah, terpenuhi atau tidak, adalah benar. Maka ia harus memikul kategori individu pada masanya bersamaan dengan karyanya. Kierkegaard telah menyatakan prediksi, diagnosis, ramalan dan peringatannya tentang masa kini, bagaimana ia seolah-olah menyampaikan pandangan-pandangannya dengan cara-cara kenabian, dalam pengertian modern, yang mengungkap prognosis sosial historisnya—tidak lebih—sampai benar-benar terjadi saat kita membuka blog ini.***

                                Daftar Kepustakaan
1.      Dreyfus, Hubert. L.,  “Nihilism on the information Highway: Anonymity vs. Commitment in the Present Age”, dalam:  Dreyfus, Hubert. L., On the Internet 2nd Edition  (New York: Routledge), 2009
  1. Hannay, Alastair, Kierkegaard  (London: Routledge & Kegan Paul), 1982
3.      Hidya-Tjaya, Thomas, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), 2004
4.      Kierkegaard, S.,  The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962
5.      Kierkegaard, S.,  Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, Volume I, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, N.J: Princeton University Press), 1992
6.      Marcuse, Herbert, One Dimensional Man, Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (London:  Routledge & Kegan Paul), 1964




[1]    Kutipan Kierkegaard Lih. Hubert. L. Dreyfus,  “Nihilism on the Information Highway: Anonymity vs. Commitment in the Present Age”, dalam:  Hubert. L. Dreyfus, On the Internet 2nd Edition  (New York: Routledge), 2009, hal. 77  Dalam teks yang diterjemahkan oleh Alexander Dru, satire Kierkegaard itu berbunyi: “Everyone one knows a great deal, we all know which way we ought to go and all the different ways we can go, but nobody is willing to move.” Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 89
[2]    Karya ini merupakan salah satu seksi dalam karya Kierkegarrd, Two Ages: The Age of Revolution and the Present Age: A Literary Review (1845) merupakan tinjauan Kierkegaard atas novel  Thomasine Christine Gyllembourg-Ehrensvärd yang berjudul Dua Zaman.  Karya ini terdiri dari 3 bagian: bagian pertama merupakan tinjauan cerita novel tersebut; bagian kedua mengemas plot-plot novel tersebut secara estetis; bagian ketiga The Present Age diterbitkan secara terpisah, berisi tesisnya dengan nada satire, komik dan ironis tentang suatu masa kini yang reflektif, dan tanpa hasrat.
[3]    Alexander Dru, “Introduction” dalam: Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 11
[4]    Refleksi di sini memiliki dua pengertian: pertama, refleksi bisa berarti proses “berpikir”, “deliberasi” , “menimbang-nimbang”; lawan dari “bertindak”. Dalam Concluding Unscientific Postscript, Kierkegaard yang menggunakan nama samaran Johannes Climacus membedakan dua macam refleksi: “Bagi kebenaran objektif, kebenaran menjadi sesuatu yang objektif, sebuah objek, dan pokoknya mengesampingkan subjek… Bagi refleksi subjektif, kebenaran menjadi appropriation (tindakan  memiliki), batin, subjektivitas dan pokoknya adalah membenamkan diri yang eksis dalam subjektivitas.” Climacus menegaskan klaim tentang kebenaran subjektif dan batin, tapi pengetahuan yang hakiki itu memuat dimensi praktis etis juga, bukan melepaskan dan memisahkan diri dari pengalaman konkret individu. Dengan kata lain, pengetahuan esensial menjalin relasi dengan kebenaran, hasrat dan komitmen yang mewujud konkret dalam setiap tindakan manusia. “Secara objektif penekanannya pada apa yang dikatakan, secara subjektif penekanannya pada bagaimana kebenaran ini dikatakan.” Gaya berpikir subjektif ini, bagi Kierkegaard, dihayati oleh Sokrates, Abraham dan Don Quixote. Lih. S. Kierkegaard,  Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, Volume I, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, N.J: Princeton University Press), 1992, hal. 202.  Kedua, refleksi sebagai “refleksi”, yakni semacam cermin dimana manusia mengasalkan individualitasnya dengan meniru orang-orang di sekitar mereka.  Identitas manusia sepenuhnya conform, sesuai dengan opini-opini orang lain. Refleksi adalah persoalan mendapat identitas semata dengan mengimitasi orang lain, dan orang lain itu adalah “publik”.
[5]    Lih. Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 33
[6]    Ibid, hal. 34
[7]    Ibid., hal. 35
[8]    Ibid, hal 76-77
[9]    Secara epistemologis, Kierkegaard menekankan kebenaran subjektif: “Mengetahui yang hakiki itu pada hakikinya berhubungan dengan eksistensi bukan, bagaimanapun, menandai identitas abstrak yang disebutkan di atas antara pikiran dan pengada (idealisme Hegel), bukan pula menandai bahwa pengetahuan secara objektif berhubungan dengan sesuatu yang eksis (existent) sebagai objeknya (objektivitas), tapi mengetahui yang hakiki berarti  bahwa pengetahuan direlasikan dengan penahu, yang pada hakikinya adalah manusia yang eksis (subjektivitas).” Dengan demikian terdapat ketegangan antara hasrat tak terhingga di dalam batin, maupun hasrat akan ketidakpastian objektif pengetahuan manusia. Manusia hanya bisa mendekati kebenaran objektif, persis karena keterbatasan dan ketidakmampuan internal manusia menggapai kebenaran objektif.
                                “Pada tingkatan tertingginya, (refleksi subjektif) batin pada seorang subjek yang eksis adalah hasrat; kebenaran adalah sebuah paradoks yang berkorespondensi dengan hasrat, dan kebenaran menjadi sebuah paradoks persisnya dilandasi pada relasinya dengan seorang subjek yang eksis ...”. Paradoks kebenaran ini ingin menjelaskan ketidakpastian objektif di satu sisi; dan hasrat yang tak terhingga di sisi lain, selama kita menggunakan metode dan cara berpikir subjektif. Sebab, seperti dikatakan Kierkegaard: “Manakala pertanyaan tentang kebenaran diajukan secara subjektif, relasi individual direfleksikan secara subjektif. Jika dan hanya jika bagaimana (how) relasi ini dalam kebenaran, (maka) individu berada dalam kebenaran, bahkan jika ia dalam cara ini merelasikan dirinya pada kepalsuan.”
                Puncaknya adalah  pengalaman religius yang memahami kebenaran objektif yang bersifat Ilahi, dalam pengertian bagaimana kita menjalin relasi dengan Allah yang penuh hasrat dan komitmen melalui mediasi iman. Iman menurut Kierkegaard adalah kontradiksi antara hasrat yang tak terhingga atas batin dan ketidakpastian objektif!  Lih. S. Kierkegaard,  Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, Volume I, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, N.J: Princeton University Press), 1992, hal. 197-199
[10]  Lih. Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 36
[11]  Ibid., hal. 46
[12]     Ibid., hal 51
[13]    Bahaya zaman refleksi adalah sikap iri dan dengki (envy), atau dapat pula disejajarkan dengan ressentiment  moralitas Budak Nietzschenian. Ressentiment tidak hanya mengubah dunia sosial dan dunia politis, ia tumbuh berkembang menjadi sebuah ressentiment moral, mendikte skala nilai-nilai moral. Max Scheller mencatat dua pengertian yang fundamental dalam gagasan ini, yaitu: 1). pengalaman dan permenungan atas reaksi emosional tertentu diarahkan melawan sesuatu yang lain, yang membuat perasaan bertambah kuat dan secara bertahap menembus jiwa individu sementara sepenuhnya meninggalkan medan tindakan dan ekspresi. Permenungan macam itu, pembaharuan perasaan secara bertahap maka cukup berbeda dengan sebuah rekoleksi intelektual murni atas perasaan itu dan situasi-situasi yang memunculkannya. Ressentiment adalah pembaharuan emosi itu sendiri. 2). ranah animositas (kebencian; ill-will) itu sendiri; kegusaran yang bersungut-sungut terus menerus, ketersembunyian yang bebas dari aktivitas diri, dan yang sedikit demi sedikit mengedepankan sebuah permenungan penuh kebencian, atau sebuah animositas tanpa mengarah pada objek tegas tertentu, yakni: kebencian yang menjadi permusuhan, penuh kebencian dengan sebuah jumlah yang tak terhingga intensi-intensi permusuhan. Lih. Catatan kaki Alexander Dru, “Introduction” dalam: Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 20-21
[14]  Bdk., Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), 2004, hal. 126-127
[15]  Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 66
[16]  Ibid., hal. 70
[17]            Ibid., hal. 77
[18]  Ibid., hal. 68
[19]  Lih. Hubert. L. Dreyfus,  “Nihilism on the Information Highway: Anonymity vs. Commitment in the Present Age”, dalam:  Hubert. L. Dreyfus, On the Internet 2nd Edition  (New York: Routledge), 2009, hal. 73-74
[20]  Lih. S. Kierkegaard,  Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, Volume I, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton, N.J: Princeton University Press), 1992, hal. 131
[21]  Lih. Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 69
[22]  Ibid..,  hal 78-79
[23]  Ibid., hal. 82-83
[24]  Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 98; Bandingkan juga, Hubert. L. Dreyfus,  “Nihilsm on the information Highway: Anonymity vs. Commitment in the Present Age”, dalam:  Hubert. L. Dreyfus, On the Internet 2nd Edition, New York: Routledge, 2009, hal. 79
[25]  Lih. Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 52
[26]  Lih. Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), 2004, hal. 89
[27]  Hubert. L. Dreyfus,  “Nihilism on the Information Highway: Anonymity vs. Commitment in the Present Age”, dalam:  Hubert. L. Dreyfus, On the Internet 2nd Edition  (New York: Routledge), 2009, hal. 80
[28]  Kutipan Kierkegaard Lih. Ibid., hal 83
[29]  Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962, hal. 90-91
[30]  Hubert L. Dreyfus, Op.cit., hal 84
[31]  Lih. Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), 2004, hal. 102
[32]  Soren Kierkegaard, The Present Age, trans. Alexander Dru  (London: Fontana Library), 1962,  hal 62-63
[33]  Hubert. L. Dreyfus,  “Nihilism on the Information Highway: Anonymity vs. Commitment in the Present Age”, dalam:  Hubert. L. Dreyfus, On the Internet 2nd Edition  (New York: Routledge), 2009, hal. 88
[34]  Kutipan Herbert Marcuse Lih.  Alastair Hannay, Kierkegaard (London: Routledge & Kegan Paul), 1982, hal. 302
[35]  Herbert Marcuse, One Dimensional Man, Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (London:  Routledge & Kegan Paul), 1964, hal. 2
[36]  Op.cit., hal. 304
[37]  Ibid., hal. 306
[38]  Ibid., hal. 315

Komentar

  1. Balasan
    1. terima kasih atas 'mantab'nya kang mas penyair!

      Hapus
    2. sebuah ulasan singkat yang bagus tentang Kierkegaard, kalo ada waktu saya ingin ketemu dan berbincang sejenak ttg kierkegaard karena kebetulan kita punya minat yang sama dan saya pun sedang menyusun skripsi tentangnya...salam Akademik.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya