Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Gus Dur dan Gejala Mendadak Islami

(Kompas, 19/12/2019) Sepak terjang generasi muda Islam dewasa ini  memerlihatkan gejala keberagamaan  yang unik. Percakapan antar mereka yang terrekam di ruang publik, utamanya  di media sosial, tak jauh dari persoalan  pemilahan tegas,  seringkali beringas,  antara “golongan kita” dan “golongan mereka.” Menariknya, jauh-jauh hari KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 silam, memiliki pandangan tersendiri atas fenomena tersebut. Gairah besar generasi muda mendalami Islam  dan berkegiatan dengan menonjolkan tema-tema keislaman  tercermin dari membludaknya jumlah audiens,  baik untuk sebuah tayangan video yang menghadirkan penceramah tertentu  di jejaring sosial youtube, maupun di  tabligh-tabligh akbar di lapangan terbuka. Semangat besar ini   berbanding lurus dengan meriahnya jargon-jargon kearab-araban, yang seakan-akan  mencerminkan  nilai-nilai keislaman termasu...

Mudik Melawan Kebosanan

Mudik lebih dari sekadar kembali ke udik atau balik kampung jelang lebaran, setelah sekian lama hidup di perantauan. Mudik telah menjadi siasat bagi para perantau untuk bisa lolos dari perangkap kebosanan di tengah-tengah kesibukan. Kebosanan tanpa disadari telah menjadi momok menakutkan bagi manusia modern yang di keseharian tenggelam dalam rutinitas dan kebiasaan yang itu-itu saja.  Manusia modern berbeda dengan anak kecil yang karena kepolosannya begitu antusias memainkan mainan yang ia miliki. Seringkali, karena terlalu serius dengan mainannya ia mengabaikan kejadian-kejadian di sekitarnya, bahkan termasuk tak merasakan haus dan lapar dari dirinya sendiri. Si bocah akan beralih pada--atau merengek minta dibelikan--mainan baru saat ia sudah puas bermain-main dengan mainan lamanya. Tak ada celah bagi anak kecil untuk merasakan kebosanan. Hari-harinya dipenuhi antusiasme termasuk saat mereka menangis. Kebanyakan dari kita orang dewasa, memandang remeh kebosanan se...

Mengingat dan Memaafkan

Mengingat itu lucu.  Saat mengingat, orang sebetulnya sedang melupakan. Maksudnya, ketika orang mengingat sesuatu, misal rute ke rumah mantan pacar, secara serentak ia sebenarnya sedang melupakan rute ke tempat-tempat lain.  Kendati demikian, mengingat juga dapat menjadi sarana menyibak tabir asal-usul diri kita, lewat apa yang kita sebut memaafkan. Mengingat bersifat intensional, dalam artian hanya terarah pada satu titik yang diingat. Karena sifatnya yang "one way", saat mengingat tak ada celah bagi hadirnya objek lain untuk diingat.  Catatan atas apa-apa saja yang dianggap penting dan monumental dari masa ke masa, sebagian kalangan menyebutnya sebagai sejarah. Sebaliknya, yang tak tercatat, karena alasan-alasan tertentu, dianggap sebagai cerita belaka. Sejarah  bergerak dari keyakinan bahwa asal-usul merupakan sesuatu yang sudah lengkap, tak bisa ditambah dan dikurangi kecuali dimaknai secara terus-menerus. Pada cerita, narasi tentang asal usul ...

The MEG, Duel Jason Statham vs Megalodon.

Mengambil keputusan di saat genting selalu punya resiko. Sebaliknya, tak mengambil keputusan di saat darurat pun, resiko selalu mengintai. Saat bersamaan, hidup toh harus tetap dijalani. So, ambillah keputusan, hadapilah resikonya dengan rileks. Film-film laga Hollywood nyaris selalu bertumpu pada anggapan di atas termasuk di film terbaru Jason Statham, The Meg. Meg adalah singkatan dari Megalodon, seekor hiu purba raksasa. Meg agresif menyerang apa saja yang mengusik kenyamanannya di bagian terdalam perairan Tiongkok. The Meg menjadi sarana Jason membuktikan ketangguhannya. Ia seolah ingin terlihat tidak hanya jago di darat dan udara tapi juga di dasar laut. Karakter Jason yang dingin, maskulin, tanpa basa-basi, dan trengginas masih menjadi andalan utama di film The Meg. Ya, seperti sudah kehabisan lawan sepadan dari bangsa manusia, Jason kini melawan hiu buas. Cerita The Meg sebetulnya sederhana dan sering kita jumpai di film-film serupa. Jonas Taylor (Jason Statham) adal...

Film Wiro Sableng; Susahnya Merekayasa Kesablengan

Saat kesablengan digarap dengan keseriusan tingkat tinggi, ada dua kemungkinan sebagai hasil; pertama, semakin sableng dan kedua, semakin waras. Film Wiro Sableng (20th Century Fox Pictures & LifeLike Pictures, 2018) semakin sableng tidak, semakin waras pun tidak. Mungkin ada di antara sableng dan waras. Wiro Sableng, adalah pahlawan super bercita rasa nusantara. Lagaknya tengil, kurang waras, jago silat dan punya banyak ajian sakti, urakan tapi baik hati dan suka menolong. Karakter ini dengan susah payah coba dibangun lewat akting Vino G. Bastian. Menyimak alur cerita dan para tokohnya, film Wiro sepertinya adaptasi dari tiga novel Bastian Tito yaitu Empat Berewok dari Gua Sanggreng, Maut Bernyanyi di Pajajaran, dan Dendam Orang-orang Sakti. Wiro diselamatkan Eyang Sinto Gendeng (Ruth Marini) saat kampungnya diamuk gerombolan kejam pimpinan Mahesa Birawa (Kakak seperguruan Wiro, diperankan Yayan Ruhiyan). Orang tua Wiro (Happy Salma & Marcel Siahaan) dihabisi Mahesa ...

Mo, Maunya Apa Sih?

Temukan kata atau kalimat yang Anda anggap sebagai ide pokok tulisan, lalu tandai dengan stabilo dengan jenis warna yang telah Anda tentukan untuk jenis ide pokok tulisan. Ini salah satu pelajaran membaca yang saya dapat ketika belajar Metode Belajar dengan pengajar Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ alias Romo Magnis. Secuil  kiat membaca di atas akan saya coba operasikan pada tulisan Magnis tentang Golput (Kompas, 12/03/2019) yang belakang viral serta menimbulkan reaksi macam-macam dari para pendukung golput , ada yang lucu, serius, bahkan ada yang kalang kabut. Warna tulisan Magnis adalah tipikal warna-warni moralitas dan itu sudah ditegaskan Magnis di awal-awal ketika Magnis bilang kewajiban memilih bukan kewajiban hukum melainkan kewajiban moral. Walhasil, tulisan setelah bagian itu menjadi penuh sesak oleh istilah-istilah "baik", "kurang baik", "lebih baik", buruk", "nilai", dan seterusnya.  Kata-kata vulgar yang disebar Magnis...