Langsung ke konten utama

Mengingat dan Memaafkan

Mengingat itu lucu.  Saat mengingat, orang sebetulnya sedang melupakan. Maksudnya, ketika orang mengingat sesuatu, misal rute ke rumah mantan pacar, secara serentak ia sebenarnya sedang melupakan rute ke tempat-tempat lain.  Kendati demikian, mengingat juga dapat menjadi sarana menyibak tabir asal-usul diri kita, lewat apa yang kita sebut memaafkan.

Mengingat bersifat intensional, dalam artian hanya terarah pada satu titik yang diingat. Karena sifatnya yang "one way", saat mengingat tak ada celah bagi hadirnya objek lain untuk diingat. 

Catatan atas apa-apa saja yang dianggap penting dan monumental dari masa ke masa, sebagian kalangan menyebutnya sebagai sejarah. Sebaliknya, yang tak tercatat, karena alasan-alasan tertentu, dianggap sebagai cerita belaka.

Sejarah  bergerak dari keyakinan bahwa asal-usul merupakan sesuatu yang sudah lengkap, tak bisa ditambah dan dikurangi kecuali dimaknai secara terus-menerus.

Pada cerita, narasi tentang asal usul senantiasa tak lengkap dalam artian selalu mencari sumber  lain dari generasi ke generasi sebagai pelengkap, termasuk dari tradisi oral atau percakapan berbalut kenangan-kenangan, seperti kerap muncul di hari lebaran.

Hari lebaran yang setahun sekali, biasanya identik dengan acara saling bertamu ke tetangga untuk bermaaf-maafan. Karena lama tak berjumpa momen pertemuan biasanya diselingi percakapan ringan tentang kenangan-kenangan di masa lalu.

Saat bertamu di rumah orang yang usianya jauh lebih tua,  yang muda biasanya dihujani cerita-cerita oleh yang lebih tua. Yang muda hanya bisa cengar-cengir dan sesekali menyanyantap kue-kue khas lebaran yang terhidang di meja.

'Waah saya dulu kenal bapak kamu. Bapak kamu dulu gak pendiam kaya kamu. Dulu saya pernah saingan tuh sama bapak kamu untuk rebutan si anu, yang sekarang jadi ibu kamu itu. Oiya dulu-dulu juga, saya pernah, malam-malam mau nyolong ternak peliharaan bapak kamu. Karena kepergok sama bapak kamu, kita sempat duel. Hahahaha." 

Cerita di atas mengisyaratkan bahwa orang yang lebih tua tampaknya dulu begajulan, dan di jaman dulu, ibunya si anak muda lawan bicara orang yang lebih tua, merupakan kembang desa yang kerap jadi incaran pemuda kampung.

Cerita-cerita semacam di muka bertebaran di hari raya; aib-aib diungkap, pengalaman buruk digelar, riwayat traumatik dikulik, kisah-kisah konyol menyeruak, dalam bingkai kehangatan silaturahmi yang diwarnai acara bermaaf-maafan, tanpa menyisakan 'baper' berkepanjangan. 

Di  Idul Fitri, mengingat nyaris selalu dibarengi dengan kerelaan untuk saling memaafkan segala salah, khilaf, dan dosa yang telah diperbuat. Tindakan tersebut tanpa disadari, turut melengkapi dan menyempurnakan pemahaman kita terkait asal-usul kita, seperti apa diri kita, dari mana kita, dan akan ke mana kita kelak berpulang.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H. Mohon maaf lahir dan batin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...