Langsung ke konten utama

Gus Dur dan Gejala Mendadak Islami


(Kompas, 19/12/2019)


Sepak terjang generasi muda Islam dewasa ini  memerlihatkan gejala keberagamaan  yang unik. Percakapan antar mereka yang terrekam di ruang publik, utamanya  di media sosial, tak jauh dari persoalan  pemilahan tegas,  seringkali beringas,  antara “golongan kita” dan “golongan mereka.” Menariknya, jauh-jauh hari KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 silam, memiliki pandangan tersendiri atas fenomena tersebut.

Gairah besar generasi muda mendalami Islam  dan berkegiatan dengan menonjolkan tema-tema keislaman  tercermin dari membludaknya jumlah audiens,  baik untuk sebuah tayangan video yang menghadirkan penceramah tertentu  di jejaring sosial youtube, maupun di  tabligh-tabligh akbar di lapangan terbuka.

Semangat besar ini   berbanding lurus dengan meriahnya jargon-jargon kearab-araban, yang seakan-akan  mencerminkan  nilai-nilai keislaman termasuk hijrah, perpindahan penampilan dari yang tak berjilbab menjadi berjilbab,  ta’aruf  sebagai kata lain bagi masa pendekatan ke lawan jenis untuk memulai hubungan asmara,  milad untuk ulang tahun, dan halalin, mengacu pada akad nikah.

Sayangnya, sebagian dari mereka  bahkan termasuk penceramah-penceramah yang menjadi panutannya, memandang generasi muda Islam lain yang ogah menggunakan istilah-istilah  tersebut, dengan sikap  nyinyir dan dianggap belum mendapat hidayah untuk bergabung menjadi bagian dari mereka. Keislaman mereka yang belum mendapat hidayah  dipandang belum termasuk  ke dalam bagian Islam yang menjunjung tinggi kepentingan kaum muslimin dan kejayaan Islam.

Pada 1986 Gus Dur dalam makalah berjudul “Generasi Muda Islam dan Masa Depan Bangsa Indonesia,”  pernah menyuarakan kegalauan terkait  terjadinya ledakan semangat generasi muda mendalami—dan berkegiatan menonjolkan—keagamaan Islam,  tapi saat bersamaan memerlihatkan watak  membatasi diri dari  golongan lain, yang berbeda aliran baik dengan sesama kaum muslimin sendiri, maupun dengan agama lain.

Gus Dur menyayangkan bentuk kegiatan kaum muda muslimin seperti tergambarkan di atas seraya menyebutnya sebagai  “berwatak sektarian.” Mereka masih belum dapat melepaskan diri dari ‘belitan kelompok,’ artinya masih belum menemukan wajah Indonesia sebagai identitas mereka.”  Pandangan  Gus Dur ini menyiratkan pemahaman bahwa kebangsaan harus lebih  luhur dari pada sekadar kegiatan-kegiatan berbalut istilah-istilah keislaman. 

Selain  bersifat sektarian, gejala tersebut bersifat pelarian psikologis yang  destruktif. Mereka terus-menerus dibayangi kekhawatiran  nilai-nilai keagamaan yang mereka miliki secara tidak memadai lantaran diperoleh secara dadakan dan tidak mendalam, akan tergerus dan keropos.

Alih-alih mencari  akar masalah di balik kekhawatirannya, mereka  lalu menampilkan identitas keagamaan sebagai tali pengikat yang akan memelihara kohesi pada penghayatan agama yang “terasa memadai” demi terwujud identitas Islam.

Dalam pandangan  Gus Dur,   sikap-sikap seperti disebut di atas  justru berlawanan dengan kebutuhan bangsa, karena pengutamaan identitas keagamaan yang tidak langsung terkait pada pandangan kebangsaan yang integral, hingga berpotensi memicu  perpecahan atau disintegrasi  di  kehidupan bangsa.

Agama sendiri bagi  Gus Dur berfungsi sebagai wahana pengayom tradisi bangsa, sedangkan pada saat yang bersamaan agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya. Agama dan bangsa, lugasnya, dapat saling menguatkan.

Generasi muda Islam zaman now tetap memiliki peran penting bagi perkembangan dan wajah Islam Indonesia. Besarnya antusiasme generasi muda mendalami Islam  dapat dibaca sebagai peluang sekaligus tantangan bagi kelompok-kelompok Islam di luar kelompok terebut  untuk melibatkan diri,  menampilkan wajah Islam yang lembut dan bukan Islam yang kalang kabut dihantui kecemasan  karena selalu merasa diri terancam.

Menurut Gus Dur kuncinya adalah kesediaan merumuskan “kepentingan Islam” secara lebih luas dari sekadar kepentingan partikularitstis. Jika pendekatan ini diterima, dengan sendirinya terbuka pintu selebar-lebarnya untuk melakukan penyatuan  kepentingan agama dan kepentingan bangsa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

MERENTANG SAJAK MADURA-JERMAN; CERITA KYAI FAIZI MENAKLUKAN JERMAN

Siapa Kyai Faizi? Ia seorang penyair. Tak cuma itu ia selain menguasai instrumen bass, disebut basis, juga ahli bis, orang dengan kemampuan membaca dan menuliskan kembali segala hal tentang bis seperti susunan tempat duduk, plat nomor, perilaku sopir berikut manuver-manuver yang dilakukan, ruangan, rangka mesin, hingga kekuatan dan kelemahan merk bis tertentu. Terakhir, ia seorang kyai pengasuh pondok pesantren dengan ribuan santri. Ia juga suka mendengarkan lagu-lagu Turki. Pria ramping nan bersahaja ini lahir di desa Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Sebagai penyair ia  telah membukukan syair-syairnya dalam bunga rampai Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan ke-IV, 2011); kumpulan puisi Delapanbelas Plus (Diva Press, 2007); Sareyang (Pustaka Jaya, 2005); Permaisuri Malamku (Diva Press, 2011) yang terbaru adalah Merentang Sajak Madura-Jerman Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin (Komodo Books, 2012).   Buku disebut terakhir merekam kesan-kesan Kyai Faizi  atas berbagai ...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...