Langsung ke konten utama

Mudik Melawan Kebosanan

Mudik lebih dari sekadar kembali ke udik atau balik kampung jelang lebaran, setelah sekian lama hidup di perantauan. Mudik telah menjadi siasat bagi para perantau untuk bisa lolos dari perangkap kebosanan di tengah-tengah kesibukan.

Kebosanan tanpa disadari telah menjadi momok menakutkan bagi manusia modern yang di keseharian tenggelam dalam rutinitas dan kebiasaan yang itu-itu saja. 

Manusia modern berbeda dengan anak kecil yang karena kepolosannya begitu antusias memainkan mainan yang ia miliki. Seringkali, karena terlalu serius dengan mainannya ia mengabaikan kejadian-kejadian di sekitarnya, bahkan termasuk tak merasakan haus dan lapar dari dirinya sendiri.

Si bocah akan beralih pada--atau merengek minta dibelikan--mainan baru saat ia sudah puas bermain-main dengan mainan lamanya. Tak ada celah bagi anak kecil untuk merasakan kebosanan. Hari-harinya dipenuhi antusiasme termasuk saat mereka menangis.

Kebanyakan dari kita orang dewasa, memandang remeh kebosanan sembari berusaha mengatasinya dengan melakukan sesuatu yang menyenangkan, tanpa berusaha mencari tahu akar dari kebosanan.

Industri hiburan yang menjanjikan kesenangan itu, menangkap hasrat cara-cara mengatasi kebosanan ala masyarakat modern. Alhasil industri hiburan menawarkan resep atau kiat-kiat jitu bagaimana menjinakkan kebosanan. 

Kebosanan dapat dibaca sebagai isyarat ada sesuatu yang tidak beres dari pikiran kita. Kebosanan muncul barangkali karena kita terlalu lama membiarkan pikiran dijejali dan diombang-ambing gelombang besar informasi, yang terkesan tak bisa disangkal hingga terus menggumpal menjadi masalah yang seolah-olah hingga menumpulkan pikiran.

Kemauan untuk belajar mendengarkan kebosanan dari diri sendiri dapat membangunkan energi besar yang menuntut saluran-saluran; karya kreatif di tangan para seniman, inovasi-inovasi di bawah kendali ilmuwan, bahkan revolusi sosial saat kebosanan berakumulasi secara massal.

Mudik jelang lebaran yang berlangsung secara kolosal adalah interupsi di tengah kebosanan yang menjangkiti sebagian besar massa yang larut dalam rutinitas kerja. 

Mudik menjadi ikhtiar massa untuk melepaskan diri sejenak dari kungkungan relasi kerja, yang barangkali di antaranya masih bersifat eksploitatif, antara atasan dan bawahan, buruh dan majikan.

Mudik dan kelak berjumpa sanak saudara serta orang-orang tersayang untuk bermaaf-maafan  di hari raya, menjadi medium massa untuk bisa lolos dari cengkraman kejenuhan yang membius dan membisukan.

Selamat mudik..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...