Langsung ke konten utama

Menyadari Adat di Indonesia (Bag. I) Bachwar Abdullah


Bachwar Abdullah, menghabiskan nyaris separuh usianya untuk melakukan pengamatan mendalam dan terlibat atas apa yang dikenal luas dengan tradisi lebih khususnya adat. Pada masa-masa pengamatannya itu tercatat dia sempat  menimba ilmu di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta,dan The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta. Pria yang pernah akrab dengan sapaan Wong Dzolim ini  adalah pendiri dan ketua dari Komunitas Suwung Ciracas Jakarta, sebuah komunitas  yang menekankan laku perenungan mendalam tentang Tuhan, alam, dan kemanusiaan. Tulisan panjang yang akan Anda baca berikut  adalah risalah yang pernah dibacakannya di Sastra Reboan Warung Apresiasi Bulungan Jakarta 30 Januari 2013 berbarengan dengan acara peluncuran buku kumpulan puisi "Cinta Gugat" yang dihadiri puluhan penyair dan pekerja seni lain. Sebuah risalah yang menyiratkan posisi kecendikiawanannya sebagai pembela adat. Selamat membaca! (admin)
Abdullah Bachwar (ist/fb)



Jika engkau bercermin, siapakah yang ada di dalam cermin? Apakah sosok itu adalah dirimu? Tentu saja bukan. Ia hanyalah refleksi dari dirimu yang berdiri menghadap cermin. Ketika engkau bercermin, siapakah sesungguhnya yang bergerak? Apakah sosok yang ada di dalam cermin mampu bergerak sendiri? Apakah sosok yang ada di dalam cermin mampu menyanyi dan menari sendiri? Pastilah bukan ia yang menyanyi dan menari, tetapi dirimu yang menyanyi dan menari. Lalu, apa yang akan engkau katakan jika tiba-tiba, sosok yang ada di dalam cermin itu mengaku bahwa dirinya sendiri yang mampu menyanyi dan menari? Pastilah engkau akan menertawakan sosok yang ada di dalam cermin itu. Atau mungkin engkau akan lari karena takut pada keakuan dari sosok yang ada di dalam cermin. Itulah di antara kelucuan dalam hidup dan kehidupan ini.

Namun, dari sekian kelucuan, ada satu kelucuan yang secar mendasar sering tidak kita sadari. Kelucuan itu adalah ketika diri kita tidak menyadari bahwa sejatinya bukan diri kita yang bercermin, melainkan Sang Maha Agung nan Indah yang sedang bercermin. Tapi, dengan angkuh kita mengumbar keakuan dengan merasa mampu dan digdaya, seakan diri kita sendiri yang mampu melakukan segalanya. Padahal, Diri-Nya yang sedang bercermin. Padahal, Diri-Nya yang menyanyi dan menari. Padahal Diri-Nya yang bersajak dan berpuisi. Dan kita, beserta seluruh realitas yang ada—lahir dan batin—hanyalah refleksi alias pantulan dari Diri-Nya. Sampai di sini, masihkah kita “blagu” untuk menyatakan keakuan kita?

Sepanjang jaman dan peradaban manusia, banyak peristiwa dan cerita tentang aku dan keakuan. Dalam tradisi Budha, salah satu produk aku yang mendasar adalah pikiran. Dari pikiran itu lalu lahir kata-kata dan bahasa. Sehingga, orang yang berkata-kata, sebenarnya adalah orang yang sedang menegaskan keakuannya. Karena dalam setiap perkataan, pasti tersimpan sang pembicara (mutakallim), yang selalu membutuhkan obyek pembicaraan (mukhotob) atau audiens.

Dalam tradisi sufi, terutama yang mengggunakan literasi Bahasa Arab, kata “aku” disebut dengan “Ana”. Sedangkan segala hal yang bersifat keakuan disebut Ananiyah. Dan yang menarik, karakter utama dari setan adalah karakter ananiyah, yakni segala perilaku yang selalu egois, segalanya selalu aku dan serba aku. Sehingga setan bukan merupakan sebuah entitas tersendiri, melainkan karakter keakuan yang melekat pada setiap orang. Inilah mengapa muncul hadits bahwa perang terbesar dalam kehidupan manusia adalah perang melawan diri sendiri.

Mengapa dalam kesempatan ini saya mengajak saudara-saudara berbicara tentang aku? Ini karena kesadaran kita yang paling primordial telah lama ditinggalkan dan tidak lagi menjadi kesadaran. Dan bila kita mau jujur untuk merenung, dari sinilah sesungguhnya berbagai biang kerok berlangsung. Apa pun aktivitas yang kita lakoni, selama di sana tersimpan keakuan maka yang ada hanyalah sikap antipati bahkan upaya menghapuskan pihak-pihak lain. Hal ini tak peduli apakah kita berada di dalam arena bisnis, arena politik, arena sosial, arena kesenian, bahkan di arena keagamaan. Inilah satu kenyataan, bahwa di sepanjang sejarah, kebudayaan aku benar-benar telah memberikan guratan yang sangat pahit.

Dalam pembicaraan ini, saya berharap, kiranya masing-masing dari kita bersedia melakukan perenungan mendalam tentang kesejatian diri kita, bukan malah memupuk aku dan keakuan kita. Karena memupuk keakuan, sama saja dengan membangun permusuhan dan peperangan. Maka, pada kesempatan ini, saya akan mengajukan beberapa bukti betapa keakuan punya implikasi besar terhadap cara pandang hidup manusia dan kemanusiaan. Salah satu kekeliruan cara pandang yang berangkat dari keakuan itu adalah dalam memahami adat di Indonesia.

Sejauh itu pula, kita telah lama melupakan satu jalan yang sejatinya sudah ada dan sudah lama hadir dalam diri kita, meskipun dalam hal nama atau istilah mungkin masih terasa asing. Jalan atau metode itu adalah Metode Perenial. Sesungguhnya cukup banyak istilah yang merujuk pada pengertian istilah ini, seperti Filsafat Perenial, Sophia Perennis, Primordial Tradition, Philosophia Perennis, Religio Perennis, Scientia Sacra, Hikmah Kholidiyah, hingga Perenial, dan lain-lain.

Namun, pada kesempatan ini, perkenankan saya menggunakan istilah Metode Perenial. Meski harus saya akui, bahwa istilah ini tidak sepenuhnya populer. Perenial atau Laku Perenial bukanlah jenis filsafat sebagaimana yang kerap dipahami para penulis sejarah Filsafat Barat Modern. Filsafat Perenial bagi Aldous Huxley dalam bukunya The Perennial Philosophy (2004)[1]. Filsafat Perenial adalah sejenis spiritualisme atau mistisisme yang disarikan dari tradisi semua agama. Dan ini berlaku pada agama apa pun yang ada di dunia. Perenial itu seperti esoterisme yang menghimpun dan memadukan segala esoterisme dari seluruh agama. Seakan, perenial adalah A mysticism of all mysticisms (satu mistisisme dari semua mistisisme). Sebelum Filsafat Perenial muncul di awal abad 20,[2] setiap tradisi dan agama seolah masing-masing berdiri sendiri, tak memiliki kaitan apa pun antara satu tradisi dengan tradisi yang lain. Dengan demikian, setiap agama diyakini saling berkontradiksi. Tapi keadaan berubah sejak para pejalan menyadari keberadaan Filsafat Perenial. Sejak itu, Filsafat Perenial berhasil menaungi semua agama dan tradisi primordial di seluruh dunia di bawah satu atap. Hal ini memiliki spirit dengan ayat “Sesungguhnya Kami telah memberikan Wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan Wahyu kepada Nuh dan Nabi-Nabi setelahnya, dan Kami telah memberikan Wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud.”[3] Tak hanya itu, dalam ayat dan surat lain juga disebutkan, “Semua agama di dunia dikabarkan oleh beratus-ratus Nabi yang diutus oleh dan diwahyukan dari satu Tuhan. “Di antara Nabi-Nabi tersebut ada yang Kami beritahu kepadamu, dan di antara Nabi-Nabi tersebut ada yang belum Kami beritahu kepadamu.”[4]

Di antara kelebihan yang menarik, Perenial tak hanya mengajukan teori, tapi juga mengenalkan praktik. Persis sebagaimana ungkapan kesatuan ilmu dan amal yang pernah didendangkan Mangkunegaran IV dalam Serat Wedhatama, yakni: “Ngelmu iku, kalakone kanthi laku.[5]” Bahwa satu pengetahuan akan diperoleh jika dibarengi dengan laku atau amaliah. Keduanya, ilmu dan amal ini pada akhirnya menghasilkan satu metode unik yang dapat diterapkan dalam menghayati secara benar semua tradisi primordial, termasuk adat kita. Inilah Perenial.

Lalu, mengapa Perenial dianggap memiliki kelebihan bahkan ketepatan dalam memahami adat? Setidaknya saya dapat menyebutkan enam alasan, yakni: Pertama, Perenial mengapresiasi kebenaran yang dikandung dalam adat kita tanpa pretensi, tendensi atau kepentingan apa pun yang bisa merugikan adat. Ketulusan Perenial dapat dilihat bahwa segala yang dilakukan dalam memahami tradisi primordial, adalah semata-mata sebagai ibadah atau yoga, tepatnya Jnana Yoga seperti yang dijelaskan dalam tradisi Hindu.[6]

Kedua, sebelum metode perenial ditemukan, tak ada satu pun metode yang mampu memahami adat kita secara benar. Dengan demikian, tak ada satu pun metode yang berhasil menemukan kebenaran dalam adat. Justru, metode yang selama ini digunakan hanya menghasilkan kepalsuan, kesalahan, kekeliruan bahkan kekafiran dalam adat. Bahkan bisa dinyatakan, semua metode itu tidak memberikan apa-apa untuk adat kita kecuali cemooh, penistaan, penghinaan, bahkan upaya penghapusan.[7]

Ketiga, dengan Perenial beserta metode yang diproduksinya, adat kita justru dikembalikan pada tempatnya yang transenden. Adat kita dilepaskan dari aspek-aspek rasial, sehingga adat secara terhormat menempati level universal. Dengan begitu, kebenaran adat pun menjadi universal. Perlu dipahami bersama, bahwa aspek-aspek rasial adat terletak pada segala lokalitas yang dimiliki adat: lokalitas istilah, lokalitas bahasa, lokalitas penamaan, lokalitas simbol, lokalitas bentuk-bentuk material, dan lokalitas lainnya. Semua lokalitas tersebut, yang mencerminkan rasialitas kebenaran adat, dilampaui oleh metode perenial dengan doktrin transcendent unity of religions yang dianutnya, sehingga yang tersisa hanya universalitas-universalitas dalam semua adat.[8]

Keempat, dengan menggunakan Perenial yang dihasilkan dari Filsafat Perenial, adat kita dapat berperan dalam “universalisasi bahasa ruh”. Selama ini ruh dibahasakan dalam bahasa spiritual yang berbeda-beda dari tradisi dan agama yang berlainan, sehingga terkesan bahwa antar bahasa spiritual itu berdiri sendiri-sendiri dan hidup sendiri-sendiri, padahal sesuatu yang dibahasakan oleh aneka bahasa itu—yakni, ruh—mengatasi bahasa-bahasa. Dengan hadirnya Perenial, bahasa-bahasa spiritual yang berbeda-beda itu pun dapat diuniversalkan.

Kelima, ketika kolonial bercokol di Nusantara, adat pernah tercoreng sehingga dianggap melakukan banyak ‘dosa.’ Raja-raja Nusantara, termasuk pula para pemimpin suku dan pemimpin masyarakat adat—sebagai pelestari sekaligus praktisi adat—dan institusi monarki pernah dikooptasi kekuatan kolonial, sehingga adat dirusak, diboncengi bahkan diubah menjadi entitas yang mendukung gerak roda kolonial. Akibatnya, adat tak beda dengan lembaga dan pranata kolonial. Adat yang utuh dalam pengetahuan dan laku (an indivisible whole) diracuni kolonialisme sehingga adat menjadi lumpuh dan kehilangan integralitasnya. Pada akhirnya adat hanya berdiri dan diakui sebagai institusi yang mengurusi hal-hal parsial belaka. Di sini, adat hanya menjadi sekrup dalam mesin besar yang bernama budaya kolonial. Kalau saja kolonialisme yang datang ke Indonesia benar-benar religius—misalnya saja mewarisi ruh spiritual peradaban Kristiani Abad Tengah—maka pelarutannya terhadap adat tidak akan merusak karakter utama adat. Sebab, setiap agama yang benar, walaupun dipisah waktu dan ruang yang amat jauh, apabila saling bertemu akan bertemu jua pada titik kebenaran spiritual yang sama. Sebaliknya, karena kolonialisme yang datang adalah sekuler, anti-tradisi, dan fanatik buta terhadap modernitas, maka adat pun dirusak, diseret untuk dijadikan berkarakter modern. Dan rupanya, yang terakhir inilah yang sungguh-sungguh terjadi, dan ‘dosa-doa’ modernitas pun menimpa adat. Nah, melalui Perenial ini, kita akan mampu menempatkan kembali kedudukan adat secara semestinya. Terakhir, hanya dengan Perenial, adat kita dapat bergabung, berdiri sejajar dengan semua tradisi spiritual di seluruh bagian dunia, dan dapat bernaung damai di bawah payung spiritual yang Perenial.

Sebuah metode akan disebut ‘benar’ manakala ia dapat membimbing manusia sampai pada kebenaran. Tapi kebenaran yang (bagai)mana? Bila setiap metode mengklaim dapat memandu kepada kebenaran, apakah berarti pula setiap metode bisa digunakan dan dinyatakan benar? Tentu tidak. Hanya ada satu kebenaran, yaitu Tuhan. “Tak ada dualitas untuk kebenaran”, demikian Mpu Tantular. “Demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah Sang Kebenaran.”[9] Dan karena hanya Perenial  yang berkomitmen menghadirkan Sang Kebenaran, maka laku Perenial juga menjadi jalan yang benar.

Saya sangat meyakini, bahwa satu-satunya ciri kebenaran dari suatu metode adalah besarnya cinta akan Tuhan atau, dengan kata lain, besarnya cinta akan Tuhanlah satu-satunya kriteria kebenaran suatu metode. Bila sebuah metode sepenuhnya dilakukan dalam upaya menghadirkan dan menyadari Tuhan, seperti menemukan imanensi Tuhan pada setiap segala yang diteliti, seperti sebuah laku untuk menyingkap aspek-aspek ilahiyah yang tersembunyi, maka dipastikan jalan itu adalah jalan yang benar. Ketika hal itu berlangsung, sesungguhnya tak ada aku dan dan keakuan di sana. Karena yang ada hanya Kehadiran-Nya. Sebaliknya; satu-satunya kriteria kesalahan suatu metode adalah ketika di dalamnya menyimpan kebencian pada Tuhan. Biasanya, metode yang semacam ini selalu berupaya mengingkari dan menghapus jejak-jejak Tuhan yang jelas-jelas telah dihadirkan Tuhan di penjuru semesta.

Pada titik ini jalan Perenial dengan Adat bertemu. Bila Perenial adalah satu laku yang di dalamnya bukan hanya mencintai tapi upaya menghadirkan Tuhan, maka begitu juga dengan para pelaku adat. Mereka adalah orang-orang yang sangat tulus mencintai Tuhan. Baik Perenial maupun Adat, keduanya bertemu dalam memenuhi kriteria kebenaran dan sama-sama berupaya menyentuh Sang Kebenaran, yakni Tuhan. Di sini, saya memahaminya sebagai Cinta Gugat. Satu cinta yang menggugat aku dan keakuan dengan berbagai turunannya kemudian segalanya dikembalikan kepada Yang Sejati.[10]




[1] Lihat Aldous Huxley, The Perennial Philosophy, hal. 1, (…metafisika yang mengakui keberadaan suatu Realitas Ilahi yang merupakan hakikat dunia benda-benda, dunia makhluk hidup dan dunia jiwa-jiwa; psikologi yang menemukan di dalam jiwa manusia sesuatu yang menyerupai atau malah identik dengan Realitas Ilahi; etika yang memosisikan pengetahuan tentang Dasar yang transenden dan imanen dari segala wujud sebagai tujuan akhir manusia; Filsafat Perenial bersifat abadi dan universal. Unsur-unsur Filsafat Perenial juga dapat ditemukan dalam cerita tradisional masyarakat primitif di setiap bagian dunia, sedangkan bentuk-bentuknya yang telah matang dapat ditemukan dalam setiap agama yang levelnya lebih tinggi dari agama-agama masyarakat primitif). (...… the metaphysic that recognizes a divine Reality substantial to the world of things and lives and minds; the psychology that finds in the soul something similar to, or even identical with, divine Reality; the ethic that places man's final end in the knowledge of the immanent and transcendent Ground of all being; the thing is immemorial and universal. Rudiments of the perennial philosophy may be found among the traditional lore of primitive peoples in every region of the world, and in its fully developed forms it has a place in every one of the higher religions....)
[2] Ini hanya sekadar memasukkan Filsafat Perenial dalam skema historis sejarah Filsafat Barat. Isi dan intisari dari Filsafat Perenial sendiri telah ada sebelum Filsafat Perenial dikembangkan di Dunia Barat oleh Rene Guenon dan Ananda Coomaraswamy.  
[3] Al-Quran IV:163
[4]  Al-Quran XXXX:78
[5] Lihat dalam Serat Wedhatama, pada PUPUH III, PUCUNG. Secara utuh tertulis Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekase dur angkara.
[6] Dalam tradisi Islam, ini disebut dengan Al-Furqan (Al-Quran II:185). Al-Quran membimbing kaum Muslim tuk melakukan aktivitas al-furqan—membedakan mana yang Maya dan mana yang Brahman, mana kebenaran dan mana kepalsuan, mana ‘Cahaya’ dan mana ‘Kegelapan’, sehingga atas fungsi tersebut Al-Quran—nama kitab suci Muslim sedunia—pun dapat dipanggil dengan nama lain, yaitu Al-Furqan, yang berarti “Sang Pembeda”. Orang yang mampu membedakan dua hal tersebut disebut Al-Quran dengan sebutan yang sama, yaitu ‘orang yang furqan (Al-Quran VIII:69).
[7]Metode yang digunakan kaum agamawan-buta dan kaum ilmuwan sekuler-modern hanya berhasil memahami adat sebagai kekafiran, kekeliruan, keterbelakangan, dan kebodohan. Itu disebabkan karena mereka meneropong adat lewat teropong paham mereka sendiri; mereka memberi penghakiman atas adat secara subyektif, bahkan partisan. Bagaimana reaksi mereka terhadap adat dapat dibaca dalam Ferry Hidayat, “Masa Kini yang Menjajah Masa Lalu”, dalam Majalah INFO SOCIETA; atau Ferry Hidayat, Terminasi atas Adat
[8] Semua adat Nusantara diambil intisari spiritualnya dengan menggunakan metode perenial. Adat-adat yang telah diambil intisarinya itu kemudian disebut dengan ‘Adat Perennis’. Tentang doktrin the transcendent unity of religions, baca Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, sedangkan tentang pengertian Adat Perennis, silahkan baca Ferry Hidayat,  
[9] Al-Quran XXII:6
[10] Laku yang bertujuan kepada Tuhan dengan tulus adalah pasti benar. Sedangkan semua metode yang bertujuan bukan kepada Tuhan, seperti misalnya kepada pembenaran-diri, klaim-diri, egoisme, kepentingan pribadi, ketenaran, dst., adalah pasti salah. Metode yang demikian, yakni yang dipenuhi dengan keakuan juga secara nyata telah mengingkari prinsip Inna Lillaahi wa inna ilaihi rajiu’un, segalanya milik Ilahi dan hanya kepada-Nya semua kembali. Metode yang tidak dikembalikan kepada Tuhan juga tidak adakan diterima, karena “bukan darah korbanmu yang diterima, tapi ketakwaanmu yang diterima.” (Al-Quran XXII:37)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya