Langsung ke konten utama

Menyadari Adat di Indonesia (Bag. III)



Aspek Sastra dan Seni
Setiap metode yang berkarakter keakuan, selalu memandang kesenian dalam adat sebagai profan, sementara Perenial selalu memandang seni adat sebagai seni yang berfungsi dan bermakna sakral dan spiritual. Misalnya Sigmund Freud yang memandang seni masyarakat primitif sekadar sebagai ‘ritual magis dan mantera-mantera orang primitif…’ yang ‘…secara psikologis berhubungan dengan perbuatan-perbuatan kesurupan… yang…neurotik’.[1] Sedangkan Carveth Read, seorang antropolog modern, memandang tarian-tarian masyarakat primitif sebagai sekadar tarian-tarian yang ‘…memberikan latihan fisik yang luar biasa, meningkatkan semangat kerja sama, dan merupakan sejenis senam’.[2] Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis memandang seni tari masyarakat primitif sekadar seni tari yang ‘…mengikat anggota-anggota klan menjadi satu…’ dan ‘…memperbaharui rasa solidaritas pada mereka…’, serta ‘…membangkitkan kegairahan, di mana semua kesadaran individualitas lenyap dan semua orang merasa dirinya sabagai satu kolektivitas…’.[3]
Semua metode profan di atas tidak mampu menemukan aspek sakral dari setiap produk artistik suku asli Indonesia. Produk pahat dan ukiran Mbis suku Asmat, misalnya, tidak dipahami secara menyeluruh sebagai ekspresi kesakralan masyarakat yang memuja leluhur, tapi dipahami hanya sebagai komoditas komersial yang dapat dijual dan dibeli dengan ukuran harga tinggi.[4] Tari Tunggal Penaluan suku Batak juga tidak dipahami sebagai tarian kekuatan gaib dan penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan, melainkan hanya dipahami sebagai tari eksotik penyambut turis-turis asing dan penghasil devisa di bidang pariwisata.[5] Begitu pula seni-seni lain dari penduduk asli Indonesia, tidak akan dipahami secara sakral, tapi lagi-lagi selalu dipahami secara profan: yakni dari nilai komersial dan keuntungan material.[6]
Lalu bagaimana Perenial memandang seni adat?  
‘…in reality simply serves to restore to natural phenomena their divine messages, to which men have become insensitive.’ (Schuon)[7]
‘…account[s] spiritually, as meaningful activities which by virtue of [its] inherent symbolism harbor[s] a doctrinal message, and above all as support for spiritual realization and means of grace.’ (Titus)[8]
Sacred art is made as a vehicle for spiritual presences, it is made at one and the same time for God, for angels and for man; profane art on the other hand exists only for man and by that very fact betrays him. (Schuon)[9]
Pada Awal Mula, Segala Sastra Adalah Religius.’ (Romo Mangunwijaya)[10]

Seni asli Indonesia lahir dari kultur dan peradaban asli Indonesia yang tidak mengenal ‘sekularisme’. Ia lahir dari kultur dan peradaban kosmik, di mana sekularisme Kosmos tidak dikenal. Realitas masih bulat, satu, utuh dan menyeluruh. Realitas masih tremendum, sacrum, fascinasum, sanctum. Di mana Sains, Filsafat, Spiritualitas, Seni, Kultur, Peradaban, Teknik masih berpadu dalam naungan Kesakralan. Karenanya, ‘Seni Profan’ tidak akan memahaminya secara menyeluruh, kecuali segi-segi profannya saja. Itu disebabkan, karena ‘Seni Profan’ telah ‘mensekularisasi’ realitas, sehingga gambaran yang ia proyeksikan hanya gambaran parsial dari keseluruhan realitas, yaitu gambaran profannya saja. Bila dibandingkan dengan ‘Seni Sakral’, maka ‘Seni Profan’ telah dimiskinkan oleh motif utamanya yang lebih memilih parsialitas profan daripada universalitas sakral.
Bagaimana mungkin metode-metode lain mengapresiasi seni adat yang sakral-spiritual, seperti seni suara dalam nyanyian mitologis suku Tolaki, seni sastra dalam Serat Centhini dan Serat Cabolek, Kakawin Sutasoma, atau Sya’ir Unggas dan Sya’ir Perahu, seni tari dalam Tortor Tunggal Penaluan suku Batak, Reog orang Ponorogo, Kecak dan Barong suku Bali, Kuda Lumping suku Jawa, Saman orang Aceh, seni pertunjukan dalam Wayang suku Jawa dan Debus orang Banten, seni pahat dan ukiran Mbis suku Asmat, Toleruno di daerah Sentani, Korwar di daerah Biak, seni pahat dan ukiran suku Kalimantan, seni arsitektur rumah Toraja dan seni perahu suku Lampung? Seni yang menggelikan? Seni yang tidak indah? Seni kekanak-kanakan? Seninya orang yang terjangkit neurosis? Seni yang sekadar menopang struktur sosial yang ada?
Seni adat merupakan seni sakral, ia menganggap sesuatu sebagai ‘indah’ bukan karena sesuatu itu sendiri ada, tapi karena sesuatu itu ada untuk melayani tujuan yang tertinggi, yaitu kebaktian kepada Yang Ilahi. Di sini, Dick Hartoko berujar, Para kawi zaman dahulu memakai kata kalangwan atau langö. Menurut professor Zoetmulder, tak ada satu bahasa yang demikian kaya akan istilah-istilah untuk mengungkapkan pengalaman estetik dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari surga, yang pantas disambut dengan sikap religius dan kebaktian, “a real cult of beauty”, bahkan membuat seni, menggubah syair dianggap sebagai suatu tindak kebaktian atau ibadah.[11]
Karena itu, walaupun secara inderawi bentuk pahatan dan ukiran patung Mbis ‘jelek’, karena tidak halus, tidak teratur, tidak dibuat dengan alat-alat yang modern, terkesan ‘jorok’, tidak terpelajar, tidak akademis, tapi karena dapat mengantarkan manusia Asmat untuk mengatasi ‘yang inderawi’ dan mencapai ‘yang meta-inderawi’, maka patung tersebut dinilai ‘indah’.
Jika ‘Seni Profan’ mengambil Alam sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir semata-mata Naturalisme. Sebaliknya, jika ‘Seni Sakral’ mengambil Alam sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir bukanlah Naturalisme, tapi ‘Arketipisme Alam’. Alam dipahami ‘Seni Sakral’ sebagai Arketip (Archetype), Simbol, Gambar atau Manifestasi Ilahi. Alam sebagai Manifestasi Ilahi diungkap sangat baik dalam hadits kaum Islam: Inna’l-lâhha JamĂ®lun, yuhibbu’l-jamâl’ (Sesungguhnya Ilahi itu Indah; Ia menyukai Keindahan). Segala hal alamiah yang indah merupakan manifestasi Keindahan Ilahi. Gambar bulan dan matahari dalam pahatan Mbis, misalnya, bukanlah mengekspresikan fenomena bulan dan matahari yang sempat ditangkap oleh mata telanjang manusia Asmat, tapi merepresentasikan Yang Ilahi.[12]
Jika ‘Seni Profan’ mengambil Manusia sebagai obyek seni, maka yang lahir semata-mata Naturalisme (yang dalam bentuknya yang paling vulgar menjadi Pornografi atau ‘Kultus Keindahan Sempurna Fisikal’). Sebaliknya, jika ‘Seni Sakral’ mengambil Manusia sebagai obyek seninya, maka yang kemudian lahir bukanlah Naturalisme, tapi lagi-lagi ‘Arketipisme Manusia’. Manusia adalah Arketip atau Manifestasi Ilahi. Gambar wajah-wajah leluhur yang dipahat pada pahatan suku Asmat, misalnya, bukanlah semata-mata dibuat untuk meniru wajah fisiknya, tapi untuk membangun hubungan antara ‘yang sementara’ dan ‘yang abadi’.[13]
Manusia adat menciptakan peradaban dan kultur sakral, yang dimaksudkan bukan hanya memuja-memuji Tuhan, tapi juga melahirkan suatu ‘estetika sakral’—ungkapan artistik yang membawa Keindahan Ilahi ‘keluar’ dalam bentuk penciptaan-penciptaan yang indah, seperti arsitektur rumah, instrumen musik, musik, pakaian dan motifnya, senjata dan motifnya, patung-patung, seni visual, dan lain-lain. Tapi, selain berfungsi sebagai ekspresi manusia akan Keindahan Ilahi, ‘estetika sakral’ itu juga berfungsi sebagai tugu, monumen, pengingat akan Keberadaan Ilahi.
Genderang perunggu (nekara) yang dibuat manusia primitif Indonesia, dihiasi dengan gambar estetik yang merupakan simbol-simbol sakral, buatan imajinasi sakral manusia Indonesia. Genderang perunggu yang ditemukan di Babakan, di Selayar dan di Pejeng, seluruhnya dihias dengan gambar simbolik yang sama: burung pelikan atau bangau Cina. Burung pelikan adalah simbol Yang Ilahi; sesuatu yang terbang di Langit, berasal dari Langit, tempat dimana Yang Ilahi berada. Simbol itu sengaja digambar di atas genderang perunggu, karena sesuai dengan fungsi genderang itu, yaitu, ditabuh dan dipukul dalam upacara ‘minta hujan’. Hujan berasal dari atas, dari Langit, dan burung pelikan adalah ‘Burung Sakral’ dari Langit, yang dapat menyampaikan kepada Tuhan Di Langit untuk mengabulkan permohonan manusia di bumi, dengan menurunkan hujan, yang membawa kesuburan bumi.[14]
Di atas genderang perunggu Pejeng yang bulat-bundar juga dihiasi di tengah-tengahnya dengan gambar bintang segi-duabelas yang di sekelilingnya terdapat gambar sesuatu berbentuk huruf ‘’S’’. Bintang segi-duabelas merupakan simbol ‘Cahaya’, ‘Sinar Primordial’. Letaknya yang di tengah-tengah genderang berarti ‘Sinar Pusat’, ‘Pusat Cahaya’.  Sedangkan sesuatu berbentuk huruf  ‘’S’’, menurut tafsiran Jakob Sumardjo, merupakan gabungan antara bentuk lingkaran sebagai simbol ‘perempuan’ dengan batangan lurus sebagai simbol ‘lelaki’. Jadi, huruf “S” adalah simbol perpaduan ‘lelaki’ dan ‘perempuan’, ‘harmoni totalitas keberadaan yang saling beroposisi’, ‘keselarasan semesta’, atau ‘kehidupan’.[15] Letaknya yang di sekeliling bintang segi-dua belas berarti, bahwa ‘Pusat Cahaya’ memancarkan Sinar-Sinarnya berupa Kosmos atau Kehidupan di sekelilingNya: simbol Emanasi Ilahi.
Simbol ‘keselarasan kosmik dari unsur-unsur yang saling beroposisi’ bukan hanya terdapat pada genderang perunggu pra-sejarah, tapi juga terdapat pada motif kain-kain tenun, bejana perunggu, bejana batu, tongkat kayu, ukiran-ukiran kayu, perisai-perisai, batu-batu nisan, sisir rambut, serta perhiasan-perhiasan anting dan kalung. Simbol tersebut bukan hanya digambarkan dengan suatu berbentuk huruf “S”, tapi juga berbentuk piramidal (huruf “V” terbalik), bulatan-bulatan, persegi-persegi empat, yang digambar saling berselang-seling, yang berarti oposisi-oposisi biner, keanekaragaman wujud, yang tertata rapi dalam kosmos yang harmonis.
Gambar ‘perahu’ juga sering digambarkan pada arsitektur rumah di Toraja, rumah-rumahan perahu yang dilabuhkan ke laut pada upacara Labuhan di Jawa, Sunda dan Bali, kain-kain tenun di Lampung, bejana air di Minangkabau, hiasan kepala perempuan Lampung, ukiran kayu di Irian Jaya, perahu kayu di Batak-Karo, perahu kayu dan ukiran-ukiran kayu Beaju-Dayak, ukiran kayu di Alor, motif perahu pada batu nisan di Pulau Tanimbar, dan lain-lain, karena ‘perahu’ dipahami sebagai simbol kendaraan menuju ‘Alam Ruh’. Setiap orang mati, ruhnya akan berpindah ke ‘Lautan Ruh’, yang diantar dengan ‘Perahu’. Karena itu pulalah, orang Toraja menyebut keranda mereka dengan prau.
‘Seni sakral’ bukan hanya diekspresikan dalam bentuk benda-benda material, tapi juga dalam bentuk seni literer.  Mitologi-mitologi asal-mula semesta (myths of origin) diekspresikan dalam bentuk nyanyian-nyanyian indah yang diiringi dengan musik-musik. Karya-karya puitik yang bertema sakral pun banyak dihasilkan. Orang Jawa menghasilkan kakawin, yakni ‘puisi-puisi dewa’. Disebut demikian, karena puisi-puisi itu ditulis dengan tuntunan inspirasi dari Dewa-Dewa Vishnu, Shiva, Kama, Ratih atau Sarasvati, yang mereka percayai ‘turun’ ke pena-pena penyair untuk menuliskan puisi-puisi sakral.[16] Hamzah Al-Fansuri menulis puisi-puisi Melayu yang amat rhymic, dengan tema-tema sufistik yang kental. Ki Ageng Selo dan penyair-penyair Jawa lain, menulis Serat-Serat, Suluk-Suluk, Pepali-Pepali, semacam puisi Jawa yang mengambil tema-tema spiritual-esoterik.
Kemaluan manusia yang dijadikan obyek seni, dalam ‘Seni Sakral’ dimaknai sangat berbeda dari ‘Seni Profan’. Kemaluan lelaki yang dipahat pada pahatan Mbis suku Asmat, misalnya, dipahami sebagai lambang ‘kesuburan’: ‘Langit’ (yang dilambangkan dengan kemaluan lelaki) menurunkan hujan ke ‘Dunia’ (yang dilambangkan dengan kemaluan wanita) dan menyuburkannya, sehingga lahirlah tetumbuhan. Sebaliknya, dalam ‘Seni Profan’ gambar kemaluan hanya dipahami sebagai semata kemaluan, alat seksual, alat reproduksi. Seni sastra dalam ‘Seni Profan’ juga ‘dangkal’ dalam menggambarkan kemaluan. Kemaluan hanya digambarkannya untuk menimbulkan efek-efek seksual yang orgasmik dan orgiastik, sedangkan dalam ‘Seni Sakral’, kemaluan digambarkan lagi-lagi sebagai simbol berkarakter spiritual. Ronggowarsito, dalam Serat Wirid Hidayat Jati, mengambil kemaluan lelaki (yang disebutnya konthol Adam) sebagai obyek, yang dapat mengantarkan manusia menuju pemahaman spiritual akan Yang Ilahi.
Sesungguhnya Aku mempersiapkan sebuah mahligai di dalam Baitul Muqaddas, yaitu rumah tempat persucianKu, terdirikan dalam kantong kemaluan manusia. Yang ada dalam kemaluan itu pringsilan; di dalam pringsilan ada mani, dalam mani ada madi, dalam madi ada wadi, dalam wadi ada manikam, dalam manikam ada rasa. Dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya. Maka mula-mula sebagai nukat (titik) gaib, kemudian turun menjadi johar awwal. Di situlah adanya Alam Ahadiyat, Alam Arwah, Alam Wahidiyat, Alam Misal, Alam Ajsam dan Alam Insan Kamil, yakni manusia yang sempurna, yakni sifat Aku.[17]
Dalam seni Yunani-Kuno, Priapus digambarkan sebagai dewa yang berkemaluan besar sekali: simbol kesuburan. Bahkan, orang Yunani-Kuno membangun suatu monumen berbentuk kemaluan lelaki (phallus) setinggi 54 meter di depan Kuil Afrodisia, untuk menyembah Afrodisia (Dewi Cinta), Dionysus (Dewa Kesenangan Memabukkan), dan Priapus (Dewa Kesuburan). Orang Funisia juga melambangkan Adonis (Dewa Penyubur Tetumbuhan) dengan lambang kemaluan lelaki (phallus). Dalam seni India, kemaluan lelaki (lingam) dan kemaluan wanita (yoni) merupakan simbol kemahapenciptaan Syiwa. Raja Sanjaya di Kerajaan Mataram Hindu pernah mendirikan sebuah bangunan berbentuk linga untuk Syiwa di Muntilan, Jawa Tengah, pada tahun 730 M. Selain untuk memuja Syiwa, bangunan linga ini juga berfungsi sebagai pemakaman, yang menjadikan dirinya menyatu dengan Syiwa.[18]
Tapi, bagaimana lingam atau phallus kini dimaknai oleh ‘Seni Profan’? Mungkin, tidak akan lebih jauh daripada sekadar dildo! Gatholoco, suatu naskah sastra sakral dari Jawa pun akan dimaknai semata-mata sebagai ‘masturbasi’: Gatho (Ujung yang Rahasia, Penis) dan Loco (Dirancap-rancap). Dewi Lupitwati, yang merupakan lawan dialog tokoh utama bernama Gatholoco, juga akan dimaknai secara literal-fisikal sebagai ‘adegan senggama’: Lu atau Alu (Penis), Pit (Dijepit), Wati (Vagina), dan Dewi Prejiwati semata-mata dipahami sebagai ‘pusat vagina’: Preji (Biji) dan Wati (Vagina).[19] Pendangkalan-pendangkalan makna inilah yang hendak dilawan oleh ‘Seni Sakral’ terhadap ‘Seni Profan’.

Aspek Kognitif
Orang-orang yang menggunakan metode rasional-modern memandang adat mengandung takhayul, ilusi, irasionalitas, atau pra-logika. Misalnya, Tan Malaka. Dalam karyanya yang berjudul Massa Actie yang diterbitkan pada 1926, pendiri Republik dan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut, mengajak pembacanya untuk membuang adat dan menggantikannya dengan Rasionalisme, karena adat mengandung takhayul: “Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman kesaktian yang ‘gelap’ itu, tak dapat menolong kita walaupun sedikit. Marilah sekarang kita adakan tembok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorong masyarakat yang berbahagia. Marilah kita mempergunakan pikiran ‘rasional’ sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah puncak tingkatan yang tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasionil, membawa kita kepada kekuasaan atas tenaga-tenaga alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaiannya yang benar, yang kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasionil menarik manusia dari ketakhayulan, kelaparan, hawar dan perbudakan, dan membimbing manusia kepada kebenaran...”[20]
‘Zaman Adat’, dalam pandangan Tan Malaka, adalah ‘zaman gelap’ yang sudah tamat dan digantikan dengan ‘zaman depan’ yang bercirikan ‘...mempergunakan pikiran ‘rasional…yang mendatangkan manfaat…menarik manusia dari ketakhayulan, kelaparan, hawar dan perbudakan,…membimbing manusia kepada kebenaran… Sebaliknya, Tan Malaka memuji-muji Rasionalisme sebagai ‘puncak tertinggi dalam peradaban manusia’ di ‘zaman depan’ yang akan membawa manusia Indonesia ‘kepada kekuasaan atas tenaga-tenaga alam yang mendatangkan manfaat’ dan yang dapat ‘menarik manusia dari ketakhayulan, kelaparan, hawar, perbudakan, dan membimbing manusia kepada kebenaran’.
Mohammad Hatta (1902-1980), di masa pembuangannya menulis buku daras filsafat mengenai Filsafat Barat Klasik berjudul Alam Pikiran Junani (1941). Walaupun Hatta memuji Filsafat Yunani dalam karyanya itu, mudah diterka bahwa Hatta sesungguhnya menjuruskan kritiknya kepada Adat. Tulis Hatta: “Dongeng dan takhyul yang dipusakakan dari nenek moyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, yang menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah banyak, ditambah dengan pengalaman tiap-tiap angkatan baru. Semuanya itu masuk ke dalam perbendaharaan peradaban bangsa, yang disebut kultur. Semuanya itu menjadi pimpinan bagi angkatan kemudian menempuh jalan penghidupan. Sebab itu ‘kata’ atau ‘nasehat’ orang tua-tua sangat diindahkan.
Dongeng dan takhyul serta adat-istiadat itu berpengaruh kemudian atas cara orang memeluk agamanya. Agama yang datang kemudian mendapati alam ini penuh dengan berbagai kepercayaan. Kepercayaan alam itu tak mudah membongkarnya dengan seketika saja. Ia bertahan. Itulah sebabnya, maka agama yang begitu murni dasarnya, dalam masyarakat banyak bercampur dengan barang pusaka hidup yang tersebut itu. Sebab itu tak salah orang mengatakan, bahwa cara orang memahamkan agamanya banyak terpengaruh oleh keadaan hidupnya.
Juga orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhyul. Tetapi yang ajaib pada mereka itu ialah, bahwa angan-angan yang indah-indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja, dengan tiada mengharapkan keuntungan daripada itu….”[21]
Belum lagi Muhammad Yamin. Rasanya jarang yang mengetahui bahwa Muhammad Yamin, seorang konseptor Konstitusi RI itu, sebenarnya telah berhasil memasukkan Rasionalisme—suatu aliran Filsafat Barat Modern—ke dalam filsafat negara yang kini disebut ‘Pancasila’, yakni pada ‘Sila Keempat’ yang berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan…’ ‘Hikmat kebijaksaan’, rupanya, adalah terjemahan Yamin dari istilah Inggris ‘Filsafat Rasionalisme’.[22] Untuk lebih jelasnya, kita kutipkan langsung perkataannya di bawah ini, tapi sebelum itu, mari kita baca bagaimana sikap Yamin terhadap Adat: Negara Indonesia pertama,[23] dibentuk dan dijunjung oleh rakyat keturunan yang memakai dasar kedatuan yang selaras dengan kepercayaan purbakala (kesaktian-magie) dan agama Buddha Mahayana. Negara Indonesia kedua,[24] disusun atas faham keperabuan, dan bersandar kepada paduan agama Syiwa dan Buddha, menjadi agama Tanterayana…yakni dasar dari negara itu,[25] tidak dapatlah dilanjutkan dasar kedatuan atau dasar keperabuan secara dahulu itu, karena tradisi kenegaraan antara runtuhnya tata-negara kedua dengan Negara Indonesia Merdeka, tidak bersambung, melainkan sudah putus. Rakyat Indonesia sekarang tak dapat diikat dengan dasar dan bentuk tata-negara dahulu, karena perubahan dan aspirasi kita sekarang jauh berlainan daripada zaman yang dahulu itu. Agama sudah berlainan, dunia pikiran sudah berbeda dan susunan dunia telah berubah…[26]
Yamin menghendaki ‘Negara Indonesia Ketiga’, yakni ‘Indonesia Merdeka’, menjadi satu negara baru yang dilandasi filsafat negara baru dan aspirasi baru yang ditawarkan Modernisme. Agar negara berskema modernistik terwujud, maka filsafat negaranya haruslah bersumber pada Filsafat Modern Barat, yakni Rasionalisme. Yamin berkata, “Sampailah saya sekarang ke dasar yang ketiga, jalan kebijaksanaan (rationalisme). …adat telah banyak kemasukan pengaruh feodalisme zaman Belanda dan dalam adat juga telah terdapat kerusakan-kerusakan karena pemerintah jajahan. Dalam adat juga telah terdapat bagian-bagian yang tidak menurutkan aliran zaman. Pembaharuan mestilah ada…. Pembaharuan itu dijalankan dengan tenaga pikiran terutama dari kaum terpelajar yang budiman dan berpengetahuan tinggi. Dasar irrationalisme dan prelogisme hendaklah berangsur-angsur hilang dan dari sekarang Negara Indonesia hendaklah disusun atas logika sebagai dari rationalisme yang sehat…Hikmah kebijaksanaan yang menjadi pimpinan kerakyatan Indonesia ialah rationalisme yang sehat, karena telah melepaskan dari anarchi, liberalisme dan semangat penjajahan.[27]
Benarkah adat penuh berisi takhayul dan karenanya, adat tidak membimbing manusia Indonesia kepada kebenaran? Tan Malaka menggunakan Rasionalisme-Barat sebagai instrumen untuk mengukur dan menilai adat—suatu hal yang tidak adil, tapi juga yang tidak dapat dihindari. Pertama, dikatakan ‘tidak adil’, karena adat dipahami sebagai obyek untuk kacamata ontologis yang berlainan yang sungguh-sungguh membencinya. Adat diserang dari luar dirinya, dari sesuatu yang asing darinya, dari sesuatu yang tidak mengenalnya, dari sesuatu yang buta terhadapnya, dan karenanya, ia tidak mungkin dapat memahami adat sebagaimana adat memahami dirinya sendiri. Ini tidak adil. Ini penjajahan pandangan. Tapi, kedua, dikatakan ‘tidak dapat dihindari’, karena beginilah dinamika pemikiran. Suatu pemikiran tidak akan maju, jika tidak mengalami kritik. Adat harus terus-menerus dikritik, diperbarui, dimakna-ulang, didewasakan, ditinggikan kesempurnaannya, agar ia maju, kian sempurna, kian canggih. Tapi, mestinya jangan kemudian adat dikritik oleh Rasionalisme. Jika adat dikritik oleh sesuatu yang membencinya, maka kritikan tersebut tidak mungkin dapat meninggikan kemajuan adat, tapi malah mengekslusi, bahkan membuang adat jauh-jauh.
Itulah yang terjadi, jika Rasionalisme mengritik adat. Bukan adat kian disempurnakan oleh Rasionalisme, tapi justru adat dilemahkan dan ditaklukkan. Itulah yang diimplikasikan dari pernyataan Tan Malaka ‘marilah sekarang kita adakan tembok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorong masyarakat yang berbahagia,’ yang penuh kebencian terhadap adat dan mengajak untuk membuangnya jauh-jauh.
Apakah Tan Malaka hendak membuang jauh-jauh adat, lantaran adat mengandung takhayul dan kepalsuan? Sayangnya, Tan Malaka menulis karyanya ini pada tahun 1926, tahun dimana Rasionalisme belum berintrospeksi akan dirinya, belum bercermin-diri, serta belum menyadari ilusi-ilusi dan superstisi-superstisinya yang dikandungnya sendiri. Jika Tan Malaka masih hidup di tahun 2000-an dan berkenalan dengan Paskamodernisme-Barat, maka mungkin saja Tan Malaka akan mengoreksi pandangannya itu. Lagi pula, takhayul mulai dibenci pada saat Rasionalisme muncul, tidak sebelumnya. Takhayul masih dimaknai secara positif oleh manusia adat, jauh sebelum Rasionalisme membencinya. Manusia adat memiliki ‘takhayul yang benar’—tentunya ‘benar’ menurut kriteria adat, bukannya ‘benar’ menurut Rasionalisme. Padahal, di zaman Paskamodern, perbedaan antara fiksi dan realitas kian kabur dan tidak jelas. Kebenaran pun bersifat lokal dan dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Obyektifitas dalam Modernisme kini dipahami sebagai ilusi dan superstisi. Bahkan, secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa takhayul dan pentakhayulan adalah sesuatu yang sungguh-sungguh diberkati dan direstui oleh Paskamodernisme.
Apakah Tan Malaka akan memilih adat jika elemen takhayul dalam adat telah dibuang? Saya pikir tidak. Tan Malaka memandang takhayul sebagai substansi dasar adat, yang hanya dapat dihilangkan dengan mengadopsi suatu yang baru yang dianggapnya tidak mengandung takhayul: Rasionalisme. Maklum saja, Tan Malaka sendiri belum bisa mengritisi dan melampaui MADILOGnya (Materialisme, Dialektika, Logika). Dia ‘anak kandung’ Modernisme yang belum bisa “mengatasi” Modernisme. Alih-alih terbebaskan dari takhayul adat, Tan Malaka malah masuk ke alam takhayul baru, yakni ‘takhayul modern. ’ Takhayul modern itu bernama Obyektifitas, Sains Bebas-Nilai, Hukum Konstan Sejarah, Ekonomi Berkemanusiaan, Masyarakat Tak-Berkelas, dan lain-lain.
Apakah takhayul itu salah? Itu tergantung pada kacamata apa yang dipakai. Adat memandang takhayul sebagai suatu yang wajar, biasa dan benar. Tapi Modernisme memandang takhayul adat sebagai suatu yang abnormal, palsu, salah. Pada gilirannya, Paskamodernisme memandang Modernisme memiliki sejumlah takhayul yang juga dianggapnya abnormal, palsu, salah. Dan pada gilirannya pula, suatu mazhab filosofis baru yang entah apa namanya di masa depan akan memandang palsu takhayul-takhayul yang dipercayai Paskamodernisme dan menganggapnya semua sebagai palsu dan salah. Lalu, pelajaran apa yang dapat dipetik dari uraian ini? Pertama, barangkali hobi manusia adalah bertakhayul; kedua, setiap ‘takhayul lama’ yang dikritik akan menghasilkan ‘takhayul baru’; dan ketiga, manusia berpindah-pindah dari satu jenis ‘takhayul sederhana’ menuju ‘takhayul yang kompleks’.
Karena istilah ‘takhayul’ sudah kadung berkonotasi negatif gara-gara Modernisme menyebutnya sebagai superstition, fallacy, delusion, false notion, misconception, falsehood, dan falsity, maka di sini akan digunakan padanan-katanya yang agak berkonotasi positif, seperti imagination atau vision. Mari kita renungkan, manusia manusia mana yang tidak pernah punya imajinasi dan visi? ‘Manusia modern’ manakah yang tidak pernah bermimpi atau berimajinasi? Bagaimana mungkin menganggap palsu suatu yang tidak pernah bisa ia hilangkan dalam hidupnya sebagai manusia? Bukankah Karl Marx berimajinasi tentang Classless Society, bukankah Muhammad berimajinasi tentang Al-Jannah, Thomas More tentang Utopia, Soekarno dan Soeharto tentang Masyarakat Pancasila, Nurcholis Madjid berimajinasi tentang masyarakat Madani, Abdurrahman Wahid berimajinasi tentang Pribumisasi Islam? Nah, dengan cara yang sama orang Jawa adat asli juga berimajinasi tentang negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.
Demi kuatnya argumentasi tentang hobi takhayul manusia, dikutip di sini pandangan seorang filosof Paskamodern, Susanne K. Langer (1895-1985). Dalam karyanya yang fenomenal berjudul Philosophy in A New Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite, and Art, Susanne menegaskan bahwa dalam memahami kenyataan di luar dirinya, manusia senantiasa memproduksi citra-citra mental yang berupa simbol-simbol, dan simbol-simbol ini senantiasa berubah-ubah (dalam ungkapan Susanne, symbolic transformation). Realitasnya mungkin saja sama, tapi simbol-simbol yang merepresentasikannya berubah-ubah sejalan dengan pemahaman manusia yang berubah-ubah. Bukan hanya sains yang dipahami manusia secara simbolis, tapi juga mitos, analogi, nalar metaforis (metaphorical thinking), dan seni. Produksi simbol-simbol yang terus berubah-ubah (symbolic transformation), dalam penelitian Susanne, merupakan aktivitas manusia yang alamiah dan wajar[28]. Wajar berarti tak salah.
Jika dalam dirinya sendiri manusia memiliki potensi untuk senantiasa bertakhayul (imagining), mampukah ia mencapai kebenaran? Itu tergantung ukuran kebenaran apa yang dipakai. Jika yang dipakai adalah ukuran kebenaran Rasionalisme, maka takhayul tetap saja dianggap tidak benar. Tapi jika yang dipakai adalah ukuran kebenaran adat, maka takhayul dianggap benar.



[1] E.E. Evans-Pritchard, Theories of Primitive Religion, h. 53
[2] Ibid., h. 52
[3] Ibid., h. 81
[4] Wiyoso Yudoseputra, Seni Pahat Irian Jaya, (Jakarta: Dirjen Depdikbud, 1980/1981), h.26
[5] Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), hh. 61-63
[6] Kriteria estetis dari metode profan seakan punya logika berikut: sesuatu dipandang ‘indah’, apabila sesuatu itu dapat memuaskan citarasa sebatas mata atau telinga. Jika mata menangkap kesan-kesan optik yang menyenangkan penglihatannya, maka sesuatu itu ‘indah’. Jika telinga menangkap gelombang suara yang dapat menyenangkan pendengaran, maka sesuatu itu ‘indah’. Penilaian sesuatu sebagai ‘indah’ hanya berhenti pada penyenangan inderawi, tidak lebih dari itu.
[7] Frithjof Schuon, ‘Religio Perennis’, dalam situs www.religioperennis.org
[8] William Stoddart, ‘Titus Burckhardt and the Perennialist School’, lihat www.religioperennis.org
[9] Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives and Human Facts, (London: Perennial Books, 1987), h.31
[10] YB. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982), h. 11
[11] Dick Hartoko, Manusia dan Seni, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), cet-2, h. 16
[12] Wiyoso Yudoseputra, Seni Pahat Irian Jaya, h. 59
[13] Ibid., h. 37
[14] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), hh. 116-119
[15] Ibid., h. 120
[16] Dick Hartoko, Manusia dan Seni, hh. 78-80
[17] Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, h. 43
[18] J. Larope, IPS Sejarah, h. 26.
[19] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, hh. 329-340
[20] Tan Malaka, Aksi Massa (Massa Actie), (Jakarta: CEDI & Aliansi Press, 2000), hh. 171-172.
[21] M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI Press & Tintamas, 1986), cet-3, hh. 1-2
[22] Sekneg RI (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hh. 19-20
[23] Syailendra-Sriwijaya
[24] Kerajaan Majapahit
[25] Negara Indonesia Merdeka
[26] Ibid., h. 11-12
[27] Ibid., hh. 19-20
[28] …there is a primary need in man, which other creatures probably do not have, and which actuates all his apparently unzoological aims, his wistful fancies, his consciousness of value, his utterly impractical enthusiasms, and his awareness of a “Beyond” filled with holiness. Despite the fact that this need gives rise to almost everything that we commonly assign to the “higher” life, it is not itself a “higher” form of some “lower” need; it is quite essential, imperious, and general, and may be called “high” only in the sense that it belongs exclusively (I think) to a very complex and perhaps recent genus. It may be satisfied in crude, primitive ways or in conscious and refined ways, so it has its own hierarchy of “higher” and “lower”, elementary and derivative forms. This basic need, which certainly is obvious only in man, is the need of symbolization. The symbol-making function is one of man’s primary activities, like eating, looking, or moving about. It is the fundamental process of his mind, and goes on all the time. Sometimes we are aware of it, sometimes we merely find its results, and realize that certain experiences have passed through our brains and have been digested there. (Lihat Susanne Knauth Langer, Philosophy in A New Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite, and Art, (New York: The New American Library of World Literature, 1961), cet-11, h. 45)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya