Langsung ke konten utama

Menyadari Adat di Indonesia (Bag. II)



Indonesia, tercatat memiliki sekitar 472 kelompok etnis (termasuk kelompok-kelompok sub-etnis di dalamnya).[1] Rasanya, tidak ada bangsa manapun yang memiliki kelompok etnis sebegitu besar selain Indonesia. Setiap kelompok etnis (bersama dengan kelompok sub-etnisnya) memiliki kultur dan peradaban masing-masing. Meski berbeda, setiap kultur dan peradaban oleh orang Indonesia biasa disebut sebagai ‘adat’.[2] “Adat” menjadi kata yang menghimpun secara longgar seluruh kultur dan peradaban yang berlainan dari semua suku pribumi di Indonesia di bawah satu payung.[3]
Namun, kita tak bisa mengelak, begitu banyak pihak yang salah menilai bahkan sangat membenci adat.[4] Akar kebencian terhadap adat sesungguhnya sederhana, yakni karena mereka hanya menggunakan pikiran alias keakuan di dalam memahami adat.[5] Padahal, jika pendekatan terhadap adat menggunakan hati, dipastikan pemahaman mengenai adat akan ditempatkan secara bijaksana.
Mestinya, pendekatan yang dilakukan bukan hanya teoritik tapi juga dibarengi laku. Karena, yang dimaksud pengetahuan adalah satu kesatuan dari ilmu dan amal. Hal ini persis sebagaimana yang didendangkan Mangkunegaran IV dalam Serat Wedhatama, bahw: “Ngelmu iku, kalakone kanthi laku.[6]” Bahwa satu pengetahuan akan diperoleh jika dibarengi dengan laku atau amaliah. Keduanya, ilmu dan amal ini pada akhirnya menghasilkan satu metode unik yang dapat diterapkan dalam menghayati secara benar semua tradisi primordial, termasuk adat kita.
Selama melakukan observasi terhadap tradisi dan adat, saya tidak menemukan satu metode yang tepat dalam menempatkan adat secara tepat. Hampir, semua metode yang digunakan selalu menggunakan perangkat-perangkat “modern” yang secara nyata dan terang-terangan jelas-jelas sangat antipati terhadap adat. Padahal, adat merupakan satu kesatuan integral, maka upaya membelah menjadi kepingan-kepingan adalah tindakan perusakan. Mestinya, upaya pembelahan adat bukan dalam rangka menghancurkan, tapi semata-mata demi kedalaman dalam memahami adat. Sehingga setiap potongan yang dilakukan adalah satu aspek kecil dari integralitas adat yang akbar. Misalnya dimulai dari aspek religius, seni dan sastra, hingga aspek kognitif adat.  Maka, sebelum saya jelaskan bagaimana membaca dan memahami adat, lebih dulu saya sampaikkan bagaimana metode lain menyalahpahami adat.

Pertama, Aspek Religius
Pihak yang paling banyak memandang salah terhadap adat adalah agama. Secara terang-terangan, adat dianggap kafir oleh ‘kaum agamawan’. Dan kaum adat hanya bisa terbebas dari kekafirannya jika kaum adat memeluk agama yang dianut kaum agamawan. Jika tidak, stempel kafir dan pendosa akan terus dilekatkan kepada pelaku adat. N. Graafland, seorang misionaris Kristen dan inspektur pendidikan Hindia Belanda di wilayah Minahasa awal abad 19. Dalam bukunya De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand (1869), ia menggambarkan bagaimana desa-desa di Minahasa berada dalam kondisi kafir lantaran tidak memeluk Kristen dan tetap menganut adat: …Tonsea, Kakas, Sonder, dan Rumoong paling terkenal dengan ungkapan-ungkapan kotor dan rendah, sedang kewedanaan lain tidak sampai sejauh itu. Namun, kanker itu sedikit banyaknya telah menerobos ke mana-mana, dan agama orang Alifuru cepat atau lambat akan menemui keruntuhannya. Bibit kerusakan telah ditabur, mulai tumbuh subur, dan di suatu tempat telah menghasilkan buah yang merusak. Bila Kristen tidak tiba pada waktunya, maka rakyat, sebagaimana telah terjadi di sana-sini, jatuh ke dalam kekafiran.[7]
Bukan hanya penduduk desa Tonsea, Kakas, Sonder dan desa Rumoong saja yang kafir, tapi juga penduduk desa Pango—desa kecil di wilayah Kawedanan Ratahan—yang masih memeluk agama adat. Kata Graafland: Negeri pertama yang kami singgahi dalam perjalanan ke Langoan adalah Pango, sebuah daerah kecil yang merupakan negeri terakhir Kewedanan Ratahan…Anda tidak akan menyangka bahwa Anda berada di suatu kewedanaan yang masih menyembah berhala, suatu negeri yang seluruhnya masih kafir, sebuah tempat yang sama sekali belum tersentuh peradaban.[8]
Misionaris Kristen-Belanda yang datang ke Indonesia selalu memandang suku asli di Indonesia yang masih menganut adat sebagai kafir. Bukan hanya penduduk Minahasa yang disebut kafir, penduduk Pulau Sawu dan Pulau Rote di busur luar Kepulauan Nusa Tenggara Timur juga tak lepas dari pengkafiran.[9]
Dalam otobigrafinya, penyair dan sastrawan Batak terkenal Sitor Situmorang, bercerita bahwa orang Batak di kampung halamannya yang masih menganut adat, dianggap kafir oleh para pendeta Kristen-Belanda.[10] Itu juga ditegaskan oleh Charles R. Watson dalam artikelnya di jurnal internasional The Moslem World Vol.III, April 1913, No.2. Ia memanggil orang Batak sebagai ‘heathen’, ‘pagan’, dan ‘unbelieving heathen’.[11]
Ternyata, ‘pengafiran’ para pendeta tersebut cukup berhasil. Itu terbukti dari banyak orang yang sebelumnya memegang kuat adat justru ikut mengafirkan adatnya sendiri. Misalnya, Ignatius Egi Dadu, seorang suku Rembong di Flores Barat yang telah menganut Kristen. Ia menulis bagaimana adatnya dulu dalam sebuah buku yang disunting Roger Tol. Ignatius bercerita tentang adatnya di Rembong: “Banyak hal dari ceritera yang akan diuraikan, tidak dipakai lagi oleh generasi penerus sekarang ini. Hal itu terjadi, karena menyusupnya ilmu pengetahuan serta agama [Nasrani] ke dalam masyarakat. Masa kini orang telah melupakan cara-cara adat seperti mempersembahkan ayam; pada umumnya segala yang berbau kafir telah ditinggalkan.”[12] Pertanyaannya kini, apakah orang adat benar-benar ‘kafir’, sebagaimana dianggap oleh kaum agamawan? Apakah mereka benar-benar berdosa karena tidak menganut Kristen? Padahal, agama tersebut justru dianggap ‘baru’ dan ‘asing’ menurut kacamata adat.

Adat sebagai Sinkretis
Selain dinyatakan kafir oleh kaum agamawan adat juga dianggap sebagai 'sinkretis'. Menurut kaum agamawan, sinkretisme adalah kesalahan besar, karena agama adalah kesatuan integral yang terdiri dari seluruh aspek kehidupan. Meminjam istilah Islam, agama adalah Din sekaligus Dawlah; Doktrin sekaligus Peradaban. Agama adalah 'jalan hidup'. Semua hal dari yang paling remeh hingga yang paling agung dikelola oleh agama. Tak mungkin mencampuraduk dua atau lebih kesatupaduan integral secara sekaligus. Integralitas mestilah satu. Jika lebih, integralitas bukan lagi integralitas melainkan fragmentasi. Kita tidak dapat mengambil doktrin suatu agama tanpa peradabannya sebagaimana kita tidak dapat mengambil peradaban suatu agama tanpa doktrinnya. Maka konon, dengan sinkretisme menjadikan agama-agama yang dicampuri itu menjadi tidak utuh dan tidak integral lagi.
Tapi, apakah benar bahwa adat adalah sinkretis? Menurut saya fakta yang ada tidak demikian. Adat hanya meminjam simbol, imaji, dan terminologi dari agama lain, lalu semua istilah atau simbol itu digunakan untuk dimaknai dengan makna yang sama sekali baru daripada makna sebelumnya. Sebut saja kasus kata jilbab dan hijab. Di Arab, kata hijab berarti 'penutup rambut dan kepala', sementara orang Indonesia memakai kata jilbab untuk arti tersebut. Padahal di Arab sendiri kata jilbab berarti 'pakaian panjang yang menutupi leher hingga mata kaki'. Apakah dengan demikian berarti orang Indonesia salah? Tidak. Mereka meminjam kata tersebut dari Arab untuk digunakan dengan baru—makna yang bisa saja sangat berbeda dari makna asalnya.
Kata jilbab yang sedemikian rupa maknanya itu sudah menjadi milik linguistik religius Indonesia, bukan lagi milik linguistik religius Arab. Dengan kata lain, jilbab sudah menjadi kosakata khas 'Islam Indonesia', bukan lagi 'Islam Arab'. Dan itu sah-sah saja. Hal serupa juga berlangsung dalam kata Yaqin. Kata “Yaqin” dalam Bahasa Arab sesungguhnya bermakna pasti, tapi dalam bahasa Indonesia kata “Yakin” diartikan sebagai percaya. Argumen serupa juga berlangsung pada kata-kata seperti Sorga, Neraka, Dosa, Sembah, Pahala, Siksa, Kebaktian, Darma, Upacara, Acara, Agama dan lain-lain. Semua kata tersebut berasal dari tradisi linguistik religius Hindu-Buddha di India, tapi begitu dipinjam, lalu digunakan, lalu dimaknai dengan makna yang berbeda oleh kaum Islam, Katolik, dan Kristen, maka kata-kata tersebut bukan lagi milik Hindu-Buddha yang India, tapi milik Islam, Katolik, dan Kristen, atau tepatnya milik khazanah linguistik religius Indonesia.

Adat dianggap sebagai Agama Rendah
Kaum agamawan juga kerap memandang aspek agama dalam adat sebagai ‘agama bumi’ (earthly religion) yang hina daripada ‘agama langit’ (heavenly religion); ‘agama buatan manusia’ (man-made religion) yang tak sempurna dibanding ‘agama buatan ilahi’ (God-made religion); ‘agama budaya’ (invented religion) yang tak sakral dibanding ‘agama yang diwahyukan’ (revealed religion); ‘agama rendahan’ (lower religion) yang kebenarannya jauh rendah daripada ‘agama lebih tinggi’ (higher religion).
Secara pribadi saya keberatan atas penyebutan itu. Sebab, ukuran hina-tidak hina, sempurna-tidak sempurna, rendah-tidak rendah suatu agama tentu saja tak seperti ukuran-ukuran yang kita pakai untuk mengukur jelek-tidak jeleknya suatu lukisan kanvas, sempurna-tidak sempurnanya obyek fisik atau tinggi-rendahnya bangunan gedung.[13] Kita pun harus merenungkan bersama, “siapa yang paling layak menilai agama?” atau, “Siapa yang paling otoritatif menilai iman?” Karena agama milik Tuhan dan berasal dari Tuhan, maka hanya Tuhan semata yang sangat otoritatif menilai milikNya.
Bukankah Tuhan memberikan ‘satu hakikat agama’ kepada semua bangsa yang berbicara dalam semua medium bahasa. ‘Satu hakikat agama’ yang diungkapkan dalam berbagai bahasa, baik secara lisan (oral tradition) maupun yang tertulis (writing system). ‘Satu hakikat agama’ yang disampaikan melalui beratus-ratus nabi atau rasul; utusan atau orang suci. ‘Satu agama’ yang diwariskan melalui mata-rantai tak terputus-putus dari tradisi oral generasi leluhur ke generasi baru atau melalui ajaran-ajaran tertulis yang dikumpulkan jadi kitab-kitab suci[14].
Jika bukan untuk ‘satu hakikat agama’, mengapa Tuhan harus mengutus ratusan rasul-Nya sebanyak ratusan kali ke bumi? Dan semua Nabi selalu bermisi korektif dan evaluatif. Jika bukan ‘satu hakikat agama’, mengapa para nabi dan rasul itu saling bertemu, saling menguatkan, saling mendukung, saling mengafirmasi, meskipun berbeda ruang dan waktu? Jika bukan ‘satu hakikat agama’, mengapa banyak mitos dan tradisi oral yang menegaskan bahwa para nabi yang berbeda ruang dan waktu itu saling bertemu dan saling mendukung? Jika memang bukan ‘satu hakikat agama’, mengapa semua mitos tentang ‘manusia pertama’ selalu menyebutkan tentang seorang yang pernah diajari Tuhan tentang nama-nama Tuhan?
Bila demikian adanya, maka tak dapat dibenarkan jika seorang beragama Islam mengafirkan Indian-Merah; seorang beragama adat mengafirkan seorang beragama Buddha; seorang beragama Kristen mengkafirkan seorang beragama Batak. Seorang yang menjalankan agama Sunda Wiwitan tidak bisa dikatakan ‘kafir’ hanya karena tidak menganut Islam. Penganut agama Hindu tidaklah ‘kafir’ hanya karena ia tidak menganut agama Jawa. Seseorang dapat disebut ‘kafir’ bila dirinya telah menyelewengkan agamanya demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri,  mendustakan kebenaran yang datang dari Tuhan, serta tidak menerima ‘Jalan Tuhan.’ 
Alasan mengapa satu agama tak bisa mengafirkan agama yang lain sudah jelas: ‘manusia pertama’ telah diajarkan Tuhan tentang ‘agama pertama[15]’ dan agama itu disebarluaskan dan diwariskan kepada anak-cucu manusia pertama. Karena anak dan cucunya kian banyak, maka, di samping karena buruknya kondisi penghidupan di suatu daerah lalu pindah ke daerah yang kondisinya lebih menjanjikan atau karena disuruh Tuhan untuk menempati suatu ‘Tanah Yang Dijanjikan’, mereka berpencar hingga memenuhi seluruh bagian dunia ini. Pada awalnya, mereka berbahasa satu—‘bahasa pertama’—tetapi begitu mereka menyebar ke penjuru bumi dan kehilangan kontak dengan ‘bahasa pertama’ maka muncul kreativitas mereka untuk menciptakan bahasa sendiri. Sejak itulah bahasa-bahasa mulai berbeda dan nabi-nabi yang diutus untuk mengabarkan Kebenaran Ilahi di tengah-tengah kaum itu pun dengan ‘bahasa-bahasa kewahyuan’ (revelational languages) yang berbeda pula.[16]
Apakah kedatangan seorang ‘nabi baru’ niscaya membatalkan ajaran dan warisan keagamaan ‘nabi-nabi lama’ yang ada sebelumnya?[17] Tentu saja tidak. Kedatangan nabi baru tidak untuk membatalkan, apalagi menghapus agama lama hingga habis ke akar-akarnya. ‘Perjanjian Baru’ tidak untuk membatalkan keabsahan ‘Perjanjian Lama’. Turunnya Al-Quran juga tidak menghapus keabsahan Zabur, Injil, dan Taurat, tapi, kata Al-Quran, untuk “meneguhkan” atau “mendukung” (mushaddiq) kebenaran ajaran-ajaran Injili, sekaligus “menyortir” atau “memilah-milah” (muhaymin) mana aspek Injili yang diselewengkan oleh para penyelewengnya yang degil dan mana aspeknya yang masih murni. Setiap agama, dalam sejarahnya, pernah mengalami (bahkan akan terus mengalami hingga detik ini) berbagai deviasi. Bukankah tujuan diutusanya nabi-nabi adalah dalam ranah evaluatif dan korektif? Para Nabi datang untuk menghapus penyelewengan dari ajaran tersebut dan mengajarkan (mengembalikan) kembali sebuah kebenaran. Kian banyak nabi yang diutus berarti kian banyak penyelewengan yang telah ‘manusia degil’ perbuat. Kian banyak penyelewengan yang berhasil dihapus oleh para nabi berarti kian intensif kebenaran nampak kembali di tengah-tengah manusia. Seiring dengan itu pula kian jelas bahwa agama itu hakikatnya ‘satu agama’.[18]
Tentu kita mengikuti pandangan ‘kaum evolusionis’ yang menerapkan skema evolusi Darwinian dalam hal agama, yang dikenal ‘kaum evolusi religius’. Edward Burnett Tylor (1832-1917), misalnya, mengatakan bahwa agama melewati tahap-tahap evolusi dari yang sangat bersahaja menuju yang sangat kompleks, dimulai dari Animisme menuju Manisme lalu menuju Fetisisme, kemudian menuju Politeisme, dan terakhir menuju Monoteisme.[19] Pemahaman evolusionistik ini tidak mungkin mampu memahami adat dengan tingkat apresiasi yang tinggi, ini disebabkan konsep itu memandang adat sebagai ‘agama rendahan’ di taraf evolusi Animisme, Manisme, dan Fetisisme,—yang baru menuju kesempurnaan evolusioner saat Hindu-Buddhisme datang (Politeisme) dan Islam-Kristianitas datang (Monoteisme).
Walaupun diungkap nabi-nabi dengan bahasa-bahasa berlainan dan diberi Tuhan bentuk-bentuk ibadah yang berlainan, kita masih dapat mengenali kesamaan-kesamaan atau universalitas-universalitas yang ada pada setiap agama.[20] Kesamaan itu juga dimiliki adat. Bukan hanya dalam adat Jawa, tapi juga dalam adat Sunda; adat Batak, adat Toraja, adat Bugis, adat Papua, juga adat Melayu. Kesamaan-kesamaan atau universalitas-universalitas yang dikandung adat-adat itu sebut saja dengan ‘Adat Perennis’—yakni, unsur-unsur Perenial dalam seluruh adat Nusantara.


[1] Rachmat Subagya (JWM. Bakker), Agama Asli Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan & Yayasan Cipta Caraka, 1981, cet-2, h. 29
[2] Ferry Hidayat, “Adat”, Online Encyclopedia of Indonesian Philosophy, http: www.indonesianphilosophy.co.nr
[3] Penjelasan tentang konsep adat sebagai sebuah peradaban, yang lebih luas lingkupnya daripada sekadar lingkup hukum yang dijelaskan Van Vollenhoven, dapat dibaca dalam Ferry Hidayat, “Adat”, dalam Online Encyclopedia of Indonesian Philosophy.
[4] Pihak yang paling akut membenci adat adalah religionis; kaum agamawan dari agama-agama besar seperti Islam, Katolik, dan Kristen. Lalu, kaum modernis yang anti-adat. Ulasan yang cukup panjang mengenai pihak-pihak yang membenci adat, silahkan baca Ferry Hidayat, Membangun Antropologi Adat.
[5] Adat berkarakter spiritual, maka hanya metode yang berkarakter spirituallah yang paling berhasil memahami adat. Metode profan yang dihasilkan struktur sains Barat Modern takkan mampu menembus kedalaman adat. Contoh kegagalan metode profan dalam memahami spiritualisme adat dapat dibaca dalam Ferry Hidayat, Antropologi Sakral dan Antropologi Profan.
[6] Lihat dalam Serat Wedhatama, pada PUPUH III, PUCUNG. Secara utuh tertulis Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekase dur angkara.
[7] N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, terj. Indonesia oleh Lucy R. Montolalu, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), h. 119
[8] Ibid., h. 344
[9] James J. Fox, dalam Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia, terjemahan Indonesia oleh Tim Sinar Harapan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h. 255, menyebutkan:  “Menjelang abad kesembilan belas, agama Kristen dan pelajaran bahasa Melayu sudah menjadi bagian dari tradisi di kalangan bangsawan Rote, sedangkan bagi orang Sawu masih asing. Dengan demikian, orang Rote dapat menggunakan bentuk kebudayaan yang baru itu untuk menyatakan kekuasaannya, dan membesar-besarkan perbedaan antara mereka sendiri, dan mencegah pengaruh dari luar yang akan mencampuri masalah setempat; sedangkan pada abad kesembilan belas itu, orang Sawu tampaknya, terutama oleh para penyebar agama, masih dianggap sebagai orang kafir yang belum bertobat dan berbahaya.”
[10] Sitor Situmorang, Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), h. 25  
[11] Charles R. Watson, ‘The Moslem of Sumatra as A Type’, dalam The Moslem World, Vol.III, No.2, April 1913, hh. 159-161 
[12] Ignatius Egi Dadu, Adat Istiadat Orang Rembong di Flores Barat, diedit oleh Roger Tol, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1997), h. 53
[13] Ketiadaan teologi yang canggih dalam suatu agama tidak berarti bahwa agama itu hina dibanding agama lain. Seperti ajaran Buddha yang tidak menjelaskan prinsip-prinsip ketuhanan secara komprehensif misalnya, tidak kemudian menjadi alasan bahwa Buddha dianggap sebagai agama hina. Ketiadaan peninggalan kitab-kitab yang dikodifikasi pun bukan tanda bahwa suatu agama lebih rendah tingkatnya dari agama lain. Ketiadaan peninggalan arsitektural yang kolosal melainkan hanya patung megalitik yang lapuk dan tak terurus bukan pula indikasi bahwa agama itu rendah. Tak ada tinggi atau rendah untuk agama, karena agama bukan obyek fisik yang bisa diindera dan diverifikasi secara lahiriah. Tinggi-rendahnya suatu kaum beragama diukur dari tinggi-rendah ketakwaan penganutnya, bukan dari banyak-sedikitnya bentuk-bentuk visual yang diwariskan.
[14] Frithjof Schuon, dalam Transfigurasi Manusia (The Transfiguration of Man), Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, hal. 11-12, menyebutkan, “...hanya ada satu filsafat, Sophia Perennis. Ia juga—dengan mempertimbangkan integralitasnya—merupakan satu-satunya agama. Sophia memiliki dua sumber yang mungkin, yang satu abadi dan yang satu temporal. Yang pertama, “vertikal”, dan tidak berkesinambungan, sementara yang kedua “horisontal” dan berkesinambungan. Dengan kata lain, yang pertama seperti hujan yang pada saat tertentu bisa turun dari langit; yang kedua seperti arus air yang mengalir dari satu mata air. Kedua mode ini bertemu dan bersatu dalam Wahyu metafisik yang mengaktualkan wilayah intelektual, dan begitu intelek ini bangkit, ia memunculkan satu pemikiran yang spontan dan independen...”
[15] Secara historis, ‘agama pertama’ sudah tentu paling benar. Karena agama tersebut terdekat dari Sang Kebenaran, paling murni dan steril dari segala kultur atau kulturisasi yang anti-Tuhan. (Yang dimaksud ‘kultur’ di sini adalah semua aktifitas tangan manusia untuk mengolah alam. Tangan ‘kotor’ manusia yang ‘mengotori’ alam.) ‘Agama selanjutnya’ sudah tentu harus merujuk pada ‘agama pertama’. Sebab jika tidak, ia berarti menjauhi warisan pertama Sang Kebenaran; ia menyeleweng. Tuhan menjamin ketidakterputusan pewarisan ‘agama pertama’ itu kepada manusia hingga era dewasa ini dengan mengutus para nabi atau para rasul atau para orang suci secara tiada putus-putusnya. Bahkan setelah ‘nabi terakhir’ wafat pun, masih ada ‘nabi-nabi minor’ atau ‘nabi-nabi kecil’ yang senantiasa menjaga ketersambungan yang tak boleh putus antara ‘agama pertama’ dengan wawasan dan kaki-langit budaya manusia di ‘Zaman Akhir’. Karena itu, mudah sekali dipahami mengapa Muhammad merujuk kepada Abraham atau Yesus merujuk Musa atau keduanya menceritakan ulang ajaran-ajaran nabi pra-Abraham dan pra-Musa. Nabi-nabi di era mutakhir harus merujuk nabi-nabi di era awal agar senantiasa dekat Sang Kebenaran.
[16] “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Alloh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia-lah Tuhan Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana” (QS Ibrohim, 14: 4). Tentang ayat ini, dalam kitab Ruhul-Ma’ani, jilid 4 hal. 209, mufasir  memahami dengan ungkapan, “Kecuali dengan bahasa kaumnya sendiri maksudnya adalah Nabi itu berbicara dengan bahasa bangsa yang kepada mereka Nabi itu diutus.” Terhadap ayat yang sama, dalam kitab Tafsir Madarik at-Tanzil di bawah ayat (وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُولٍ) dan dibawah catatan kaki Tafsir Khazin, jilid 3 hal 82, disebutkan, “Kecuali dengan bahasa kaumnya adalah Nabi itu berbicara dengan bahasa kaumnya sendiri”
[17] Penyebutan ‘nabi baru’ dan ‘nabi lama’ sungguh berarti menempatkan agama dalam kerangka historis-modernistik. Kita sungguh harus berhati-hati dalam kasus ini agar tidak terjebak dalam kesalahan pemahaman. Kebenaran Ilahi sungguh tidak terbatas waktu dan ruang historis dan Kebenaran Ilahi yang disalurkan melalui nabi-nabi tidak terbatas waktu dan ruang historis pula. Oleh sebab itu, tak ada ‘nabi lama’ dan ‘nabi baru’, sebagaimana tak ada pula ‘kebenaran lama’ dan ‘kebenaran baru’; juga tak ada ‘kitab suci lama’ dan ‘kitab suci baru’, sebagaimana tak ada pula ‘Tuhan lama’ dan ‘Tuhan baru’. Kebaruan dan keusangan tidak mengenai kebenaran religius. Agama selamanya benar kapanpun dan dimana pun; tidak benar secara baru dan tidak benar secara lama.
[18] ‘Agama pertama’ berfungsi distributif, sedangkan ‘agama berikutnya’ berfungsi korektif dan evaluatif. ‘Agama pertama’ bertugas menjamin agar Kebenaran Ilahi terwariskan ke seluruh dunia dalam satu silsilah yang tak boleh putus dan tak boleh berbeda, sementara ‘agama berikutnya’ bertugas mengawasi, memonitor, memberikan evaluasi dan koreksi atas segala penyelewengan manusia yang pernah terjadi, sehingga manusia senantiasa terhubung dengan silsilah kebenaran ‘agama pertama’ hingga ‘Hari Akhir’ tiba. Semakin akhir suatu agama, maka ia semakin berat menanggung terjaminnya ketersambungan antara ‘Zaman Akhir’ dan ‘agama pertama’.
[19] JWM. Bakker, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1987, h. 38
[20] Menurut Aldous Huxley dalam Foreword to the Song of God, Bhagavad-Gtta, The New American Library, Mentor Religious Classic, 1960, hal. 13, terdapat 4 kesamaan atau universalitas atau Filsafat Perenial yang terdapat dalam semua agama dan tradisi primordial di dunia, yaitu: (1) kesamaan ajaran bahwa dunia materi ini adalah manifestasi dari Tuhan yang di dalam-Nya dunia materi menjadi ada, serta tanpa-Nya segala jadi tiada; (2) kesamaan ajaran bahwa manusia tidak hanya mampu mengetahui Tuhan dengan inferensi logis tapi juga dengan intuisi langsung; (3) kesamaan ajaran bahwa manusia memiliki dua tabiat alamiah, yang satu adalah diri yang fenomenal dan yang kedua adalah Diri yang Abadi, yang dengan keduanya ia dapat mengidentikkan dirinya dengan Tuhan; dan (4) kesamaan ajaran bahwa tujuan ultimat hidup manusia adalah mengidentifikasi dirinya dengan Diri Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya