Indonesia,
tercatat memiliki sekitar 472 kelompok etnis (termasuk kelompok-kelompok
sub-etnis di dalamnya).[1]
Rasanya, tidak ada bangsa manapun yang memiliki kelompok etnis sebegitu besar
selain Indonesia. Setiap kelompok etnis (bersama dengan kelompok sub-etnisnya)
memiliki kultur dan peradaban masing-masing. Meski berbeda, setiap kultur dan
peradaban oleh orang Indonesia biasa disebut sebagai ‘adat’.[2]
“Adat” menjadi kata yang menghimpun secara longgar seluruh kultur dan peradaban
yang berlainan dari semua suku pribumi di Indonesia di bawah satu payung.[3]
Namun,
kita tak bisa mengelak, begitu banyak pihak yang salah menilai bahkan sangat
membenci adat.[4]
Akar kebencian terhadap adat sesungguhnya sederhana, yakni karena mereka hanya
menggunakan pikiran alias keakuan di dalam memahami adat.[5]
Padahal, jika pendekatan terhadap adat menggunakan hati, dipastikan pemahaman
mengenai adat akan ditempatkan secara bijaksana.
Mestinya,
pendekatan yang dilakukan bukan hanya teoritik tapi juga dibarengi laku.
Karena, yang dimaksud pengetahuan adalah satu kesatuan dari ilmu dan amal. Hal
ini persis sebagaimana yang didendangkan Mangkunegaran IV dalam Serat
Wedhatama, bahw: “Ngelmu
iku, kalakone kanthi laku.[6]”
Bahwa satu pengetahuan akan diperoleh jika dibarengi dengan laku atau amaliah.
Keduanya, ilmu dan amal ini pada akhirnya menghasilkan satu metode unik yang
dapat diterapkan dalam menghayati secara benar semua tradisi primordial,
termasuk adat kita.
Selama
melakukan observasi terhadap tradisi dan adat, saya tidak menemukan satu metode
yang tepat dalam menempatkan adat secara tepat. Hampir, semua metode yang
digunakan selalu menggunakan perangkat-perangkat “modern” yang secara nyata dan
terang-terangan jelas-jelas sangat antipati terhadap adat. Padahal, adat
merupakan satu kesatuan integral, maka upaya membelah menjadi kepingan-kepingan
adalah tindakan perusakan. Mestinya, upaya pembelahan adat bukan dalam rangka
menghancurkan, tapi semata-mata demi kedalaman dalam memahami adat. Sehingga
setiap potongan yang dilakukan adalah satu aspek kecil dari integralitas adat
yang akbar. Misalnya dimulai dari aspek religius, seni dan sastra, hingga aspek
kognitif adat. Maka, sebelum saya
jelaskan bagaimana membaca dan memahami adat, lebih dulu saya sampaikkan
bagaimana metode lain menyalahpahami adat.
Pertama,
Aspek Religius
Pihak
yang paling banyak memandang salah terhadap adat adalah agama. Secara
terang-terangan, adat dianggap kafir oleh ‘kaum agamawan’. Dan kaum adat hanya
bisa terbebas dari kekafirannya jika kaum adat memeluk agama yang dianut kaum
agamawan. Jika tidak, stempel kafir dan pendosa akan terus dilekatkan kepada
pelaku adat. N. Graafland, seorang misionaris Kristen dan inspektur pendidikan
Hindia Belanda di wilayah Minahasa awal abad 19. Dalam bukunya De Minahasa:
Haar verleden en haar tegenwoordige toestand (1869), ia menggambarkan
bagaimana desa-desa di Minahasa berada dalam kondisi kafir lantaran tidak
memeluk Kristen dan tetap menganut adat: …Tonsea, Kakas, Sonder, dan Rumoong
paling terkenal dengan ungkapan-ungkapan kotor dan rendah, sedang kewedanaan
lain tidak sampai sejauh itu. Namun, kanker itu sedikit banyaknya telah
menerobos ke mana-mana, dan agama orang Alifuru cepat atau lambat akan menemui
keruntuhannya. Bibit kerusakan telah ditabur, mulai tumbuh subur, dan di suatu
tempat telah menghasilkan buah yang merusak. Bila Kristen tidak tiba pada
waktunya, maka rakyat, sebagaimana telah terjadi di sana-sini, jatuh ke dalam
kekafiran.[7]
Bukan
hanya penduduk desa Tonsea, Kakas, Sonder dan desa Rumoong saja yang kafir,
tapi juga penduduk desa Pango—desa kecil di wilayah Kawedanan Ratahan—yang
masih memeluk agama adat. Kata Graafland: Negeri pertama yang kami singgahi
dalam perjalanan ke Langoan adalah Pango, sebuah daerah kecil yang merupakan
negeri terakhir Kewedanan Ratahan…Anda tidak akan menyangka bahwa Anda berada
di suatu kewedanaan yang masih menyembah berhala, suatu negeri yang seluruhnya
masih kafir, sebuah tempat yang sama sekali belum tersentuh peradaban.[8]
Misionaris
Kristen-Belanda yang datang ke Indonesia selalu memandang suku asli di
Indonesia yang masih menganut adat sebagai kafir. Bukan hanya penduduk Minahasa
yang disebut kafir, penduduk Pulau Sawu dan Pulau Rote di busur luar Kepulauan
Nusa Tenggara Timur juga tak lepas dari pengkafiran.[9]
Dalam
otobigrafinya, penyair dan sastrawan Batak terkenal Sitor Situmorang, bercerita
bahwa orang Batak di kampung halamannya yang masih menganut adat, dianggap
kafir oleh para pendeta Kristen-Belanda.[10] Itu
juga ditegaskan oleh Charles R. Watson dalam artikelnya di jurnal internasional
The Moslem World Vol.III, April 1913, No.2. Ia memanggil orang Batak
sebagai ‘heathen’, ‘pagan’, dan ‘unbelieving heathen’.[11]
Ternyata,
‘pengafiran’ para pendeta tersebut cukup berhasil. Itu terbukti dari banyak
orang yang sebelumnya memegang kuat adat justru ikut mengafirkan adatnya sendiri.
Misalnya, Ignatius Egi Dadu, seorang suku Rembong di Flores Barat yang telah
menganut Kristen. Ia menulis bagaimana adatnya dulu dalam sebuah buku yang
disunting Roger Tol. Ignatius bercerita tentang adatnya di Rembong: “Banyak hal
dari ceritera yang akan diuraikan, tidak dipakai lagi oleh generasi penerus
sekarang ini. Hal itu terjadi, karena menyusupnya ilmu pengetahuan serta agama
[Nasrani] ke dalam masyarakat. Masa kini orang telah melupakan cara-cara adat
seperti mempersembahkan ayam; pada umumnya segala yang berbau kafir telah
ditinggalkan.”[12]
Pertanyaannya kini, apakah orang adat benar-benar ‘kafir’, sebagaimana dianggap
oleh kaum agamawan? Apakah mereka benar-benar berdosa karena tidak menganut
Kristen? Padahal, agama tersebut justru dianggap ‘baru’ dan ‘asing’ menurut
kacamata adat.
Adat sebagai Sinkretis
Selain
dinyatakan kafir oleh kaum agamawan adat juga dianggap sebagai 'sinkretis'.
Menurut kaum agamawan, sinkretisme adalah kesalahan besar, karena agama adalah
kesatuan integral yang terdiri dari seluruh aspek kehidupan. Meminjam istilah
Islam, agama adalah Din sekaligus Dawlah; Doktrin sekaligus
Peradaban. Agama adalah 'jalan hidup'. Semua hal dari yang paling remeh hingga
yang paling agung dikelola oleh agama. Tak mungkin mencampuraduk dua atau lebih
kesatupaduan integral secara sekaligus. Integralitas mestilah satu. Jika lebih,
integralitas bukan lagi integralitas melainkan fragmentasi. Kita tidak dapat
mengambil doktrin suatu agama tanpa peradabannya sebagaimana kita tidak dapat
mengambil peradaban suatu agama tanpa doktrinnya. Maka konon, dengan
sinkretisme menjadikan agama-agama yang dicampuri itu menjadi tidak utuh dan
tidak integral lagi.
Tapi,
apakah benar bahwa adat adalah sinkretis? Menurut saya fakta yang ada tidak
demikian. Adat hanya meminjam simbol, imaji, dan terminologi dari agama lain,
lalu semua istilah atau simbol itu digunakan untuk dimaknai dengan makna yang
sama sekali baru daripada makna sebelumnya. Sebut saja kasus kata jilbab
dan hijab. Di Arab, kata hijab berarti 'penutup rambut dan
kepala', sementara orang Indonesia memakai kata jilbab untuk arti
tersebut. Padahal di Arab sendiri kata jilbab berarti 'pakaian panjang
yang menutupi leher hingga mata kaki'. Apakah dengan demikian berarti orang
Indonesia salah? Tidak. Mereka meminjam kata tersebut dari Arab untuk digunakan
dengan baru—makna yang bisa saja sangat berbeda dari makna asalnya.
Kata
jilbab yang sedemikian rupa maknanya itu sudah menjadi milik linguistik
religius Indonesia, bukan lagi milik linguistik religius Arab. Dengan kata
lain, jilbab sudah menjadi kosakata khas 'Islam Indonesia', bukan lagi 'Islam
Arab'. Dan itu sah-sah saja. Hal serupa juga berlangsung dalam kata Yaqin. Kata
“Yaqin” dalam Bahasa Arab sesungguhnya bermakna pasti, tapi dalam bahasa Indonesia
kata “Yakin” diartikan sebagai percaya. Argumen serupa juga berlangsung pada
kata-kata seperti Sorga, Neraka, Dosa, Sembah, Pahala, Siksa, Kebaktian,
Darma, Upacara, Acara, Agama dan lain-lain. Semua kata tersebut berasal
dari tradisi linguistik religius Hindu-Buddha di India, tapi begitu dipinjam,
lalu digunakan, lalu dimaknai dengan makna yang berbeda oleh kaum Islam,
Katolik, dan Kristen, maka kata-kata tersebut bukan lagi milik Hindu-Buddha
yang India, tapi milik Islam, Katolik, dan Kristen, atau tepatnya milik
khazanah linguistik religius Indonesia.
Adat dianggap sebagai Agama
Rendah
Kaum
agamawan juga kerap memandang aspek agama dalam adat sebagai ‘agama bumi’ (earthly
religion) yang hina daripada ‘agama langit’ (heavenly religion);
‘agama buatan manusia’ (man-made religion) yang tak sempurna dibanding
‘agama buatan ilahi’ (God-made religion); ‘agama budaya’ (invented
religion) yang tak sakral dibanding ‘agama yang diwahyukan’ (revealed
religion); ‘agama rendahan’ (lower religion) yang kebenarannya jauh
rendah daripada ‘agama lebih tinggi’ (higher religion).
Secara
pribadi saya keberatan atas penyebutan itu. Sebab, ukuran hina-tidak hina,
sempurna-tidak sempurna, rendah-tidak rendah suatu agama tentu saja tak seperti
ukuran-ukuran yang kita pakai untuk mengukur jelek-tidak jeleknya suatu lukisan
kanvas, sempurna-tidak sempurnanya obyek fisik atau tinggi-rendahnya bangunan
gedung.[13]
Kita pun harus merenungkan bersama, “siapa yang paling layak menilai agama?”
atau, “Siapa yang paling otoritatif menilai iman?” Karena agama
milik Tuhan dan berasal dari Tuhan, maka hanya Tuhan semata yang sangat
otoritatif menilai milikNya.
Bukankah
Tuhan memberikan ‘satu hakikat agama’ kepada semua bangsa yang berbicara dalam
semua medium bahasa. ‘Satu hakikat agama’ yang diungkapkan dalam berbagai
bahasa, baik secara lisan (oral tradition) maupun yang tertulis (writing
system). ‘Satu hakikat agama’ yang disampaikan melalui beratus-ratus
nabi atau rasul; utusan atau orang suci. ‘Satu agama’ yang diwariskan melalui
mata-rantai tak terputus-putus dari tradisi oral generasi leluhur ke generasi
baru atau melalui ajaran-ajaran tertulis yang dikumpulkan jadi kitab-kitab suci[14].
Jika
bukan untuk ‘satu hakikat agama’, mengapa Tuhan harus mengutus ratusan
rasul-Nya sebanyak ratusan kali ke bumi? Dan semua Nabi selalu bermisi korektif
dan evaluatif. Jika bukan ‘satu hakikat agama’, mengapa para nabi dan rasul itu
saling bertemu, saling menguatkan, saling mendukung, saling mengafirmasi,
meskipun berbeda ruang dan waktu? Jika bukan ‘satu hakikat agama’, mengapa
banyak mitos dan tradisi oral yang menegaskan bahwa para nabi yang berbeda
ruang dan waktu itu saling bertemu dan saling mendukung? Jika memang bukan
‘satu hakikat agama’, mengapa semua mitos tentang ‘manusia pertama’ selalu menyebutkan
tentang seorang yang pernah diajari Tuhan tentang nama-nama Tuhan?
Bila
demikian adanya, maka tak dapat dibenarkan jika seorang beragama Islam
mengafirkan Indian-Merah; seorang beragama adat mengafirkan seorang beragama
Buddha; seorang beragama Kristen mengkafirkan seorang beragama Batak. Seorang
yang menjalankan agama Sunda Wiwitan tidak bisa dikatakan ‘kafir’ hanya karena
tidak menganut Islam. Penganut agama Hindu tidaklah ‘kafir’ hanya karena ia
tidak menganut agama Jawa. Seseorang dapat disebut ‘kafir’ bila dirinya telah
menyelewengkan agamanya demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri, mendustakan kebenaran yang datang dari Tuhan,
serta tidak menerima ‘Jalan Tuhan.’
Alasan
mengapa satu agama tak bisa mengafirkan agama yang lain sudah jelas: ‘manusia
pertama’ telah diajarkan Tuhan tentang ‘agama pertama[15]’
dan agama itu disebarluaskan dan diwariskan kepada anak-cucu manusia pertama.
Karena anak dan cucunya kian banyak, maka, di samping karena buruknya kondisi
penghidupan di suatu daerah lalu pindah ke daerah yang kondisinya lebih
menjanjikan atau karena disuruh Tuhan untuk menempati suatu ‘Tanah Yang
Dijanjikan’, mereka berpencar hingga memenuhi seluruh bagian dunia ini. Pada
awalnya, mereka berbahasa satu—‘bahasa pertama’—tetapi begitu mereka menyebar
ke penjuru bumi dan kehilangan kontak dengan ‘bahasa pertama’ maka muncul
kreativitas mereka untuk menciptakan bahasa sendiri. Sejak itulah bahasa-bahasa
mulai berbeda dan nabi-nabi yang diutus untuk mengabarkan Kebenaran Ilahi di
tengah-tengah kaum itu pun dengan ‘bahasa-bahasa kewahyuan’ (revelational
languages) yang berbeda pula.[16]
Apakah
kedatangan seorang ‘nabi baru’ niscaya membatalkan ajaran dan warisan keagamaan
‘nabi-nabi lama’ yang ada sebelumnya?[17] Tentu
saja tidak. Kedatangan nabi baru tidak untuk membatalkan, apalagi menghapus
agama lama hingga habis ke akar-akarnya. ‘Perjanjian Baru’ tidak untuk
membatalkan keabsahan ‘Perjanjian Lama’. Turunnya Al-Quran juga tidak menghapus
keabsahan Zabur, Injil, dan Taurat, tapi, kata Al-Quran, untuk “meneguhkan”
atau “mendukung” (mushaddiq) kebenaran ajaran-ajaran Injili, sekaligus
“menyortir” atau “memilah-milah” (muhaymin) mana aspek Injili yang
diselewengkan oleh para penyelewengnya yang degil dan mana aspeknya yang masih
murni. Setiap agama, dalam sejarahnya, pernah mengalami (bahkan akan terus
mengalami hingga detik ini) berbagai deviasi. Bukankah tujuan diutusanya
nabi-nabi adalah dalam ranah evaluatif dan korektif? Para Nabi datang untuk
menghapus penyelewengan dari ajaran tersebut dan mengajarkan (mengembalikan)
kembali sebuah kebenaran. Kian banyak nabi yang diutus berarti kian banyak
penyelewengan yang telah ‘manusia degil’ perbuat. Kian banyak penyelewengan
yang berhasil dihapus oleh para nabi berarti kian intensif kebenaran nampak
kembali di tengah-tengah manusia. Seiring dengan itu pula kian jelas bahwa
agama itu hakikatnya ‘satu agama’.[18]
Tentu
kita mengikuti pandangan ‘kaum evolusionis’ yang menerapkan skema evolusi
Darwinian dalam hal agama, yang dikenal ‘kaum evolusi religius’. Edward Burnett
Tylor (1832-1917), misalnya, mengatakan bahwa agama melewati tahap-tahap
evolusi dari yang sangat bersahaja menuju yang sangat kompleks, dimulai dari
Animisme menuju Manisme lalu menuju Fetisisme, kemudian menuju Politeisme, dan
terakhir menuju Monoteisme.[19]
Pemahaman evolusionistik ini tidak mungkin mampu memahami adat dengan tingkat
apresiasi yang tinggi, ini disebabkan konsep itu memandang adat sebagai ‘agama
rendahan’ di taraf evolusi Animisme, Manisme, dan Fetisisme,—yang baru menuju
kesempurnaan evolusioner saat Hindu-Buddhisme datang (Politeisme) dan
Islam-Kristianitas datang (Monoteisme).
Walaupun
diungkap nabi-nabi dengan bahasa-bahasa berlainan dan diberi Tuhan
bentuk-bentuk ibadah yang berlainan, kita masih dapat mengenali
kesamaan-kesamaan atau universalitas-universalitas yang ada pada setiap agama.[20]
Kesamaan itu juga dimiliki adat. Bukan hanya dalam adat Jawa, tapi juga dalam
adat Sunda; adat Batak, adat Toraja, adat Bugis, adat Papua, juga adat Melayu.
Kesamaan-kesamaan atau universalitas-universalitas yang dikandung adat-adat itu
sebut saja dengan ‘Adat Perennis’—yakni, unsur-unsur Perenial dalam
seluruh adat Nusantara.
[1] Rachmat Subagya (JWM. Bakker),
Agama Asli Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan & Yayasan
Cipta Caraka, 1981, cet-2, h. 29
[2] Ferry Hidayat, “Adat”, Online
Encyclopedia of Indonesian Philosophy, http: www.indonesianphilosophy.co.nr
[3] Penjelasan tentang konsep
adat sebagai sebuah peradaban, yang lebih luas lingkupnya daripada sekadar
lingkup hukum yang dijelaskan Van Vollenhoven, dapat dibaca dalam Ferry
Hidayat, “Adat”, dalam Online Encyclopedia of Indonesian Philosophy.
[4] Pihak yang paling akut membenci adat adalah religionis;
kaum agamawan dari agama-agama besar seperti Islam, Katolik, dan Kristen. Lalu,
kaum modernis yang anti-adat. Ulasan yang cukup panjang mengenai pihak-pihak
yang membenci adat, silahkan baca Ferry Hidayat, Membangun Antropologi Adat.
[5] Adat berkarakter spiritual, maka hanya metode yang
berkarakter spirituallah yang paling berhasil memahami adat. Metode profan yang
dihasilkan struktur sains Barat Modern takkan mampu menembus kedalaman adat.
Contoh kegagalan metode profan dalam memahami spiritualisme adat dapat dibaca
dalam Ferry Hidayat, Antropologi Sakral dan Antropologi Profan.
[6] Lihat dalam Serat Wedhatama,
pada PUPUH III, PUCUNG. Secara utuh tertulis Ngelmu iku, kalakone kanthi laku,
lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekase dur angkara.
[7] N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar
tegenwoordige toestand, terj. Indonesia
oleh Lucy R. Montolalu, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), h. 119
[8] Ibid., h. 344
[9] James J. Fox, dalam Harvest of the Palm: Ecological
Change in Eastern Indonesia, terjemahan Indonesia oleh Tim Sinar Harapan,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h. 255, menyebutkan: “Menjelang abad kesembilan
belas, agama Kristen dan pelajaran bahasa Melayu sudah menjadi bagian dari
tradisi di kalangan bangsawan Rote, sedangkan bagi orang Sawu masih asing.
Dengan demikian, orang Rote dapat menggunakan bentuk kebudayaan yang baru itu
untuk menyatakan kekuasaannya, dan membesar-besarkan perbedaan antara mereka
sendiri, dan mencegah pengaruh dari luar yang akan mencampuri masalah setempat;
sedangkan pada abad kesembilan belas itu, orang Sawu tampaknya, terutama oleh
para penyebar agama, masih dianggap sebagai orang kafir yang belum bertobat dan
berbahaya.”
[10] Sitor Situmorang, Sitor Situmorang Seorang Sastrawan
45 Penyair Danau Toba, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), h. 25
[11] Charles R. Watson, ‘The Moslem of Sumatra as A Type’,
dalam The Moslem World, Vol.III, No.2, April 1913, hh. 159-161
[12] Ignatius Egi Dadu, Adat Istiadat Orang Rembong di
Flores Barat, diedit oleh Roger Tol, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor
Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1997), h. 53
[13] Ketiadaan teologi yang canggih
dalam suatu agama tidak berarti bahwa agama itu hina dibanding agama lain.
Seperti ajaran Buddha yang tidak menjelaskan prinsip-prinsip ketuhanan secara
komprehensif misalnya, tidak kemudian menjadi alasan bahwa Buddha dianggap
sebagai agama hina. Ketiadaan peninggalan kitab-kitab yang dikodifikasi pun
bukan tanda bahwa suatu agama lebih rendah tingkatnya dari agama lain.
Ketiadaan peninggalan arsitektural yang kolosal melainkan hanya patung
megalitik yang lapuk dan tak terurus bukan pula indikasi bahwa agama itu
rendah. Tak ada tinggi atau rendah untuk agama, karena agama bukan obyek fisik
yang bisa diindera dan diverifikasi secara lahiriah. Tinggi-rendahnya suatu
kaum beragama diukur dari tinggi-rendah ketakwaan penganutnya, bukan dari
banyak-sedikitnya bentuk-bentuk visual yang diwariskan.
[14] Frithjof Schuon, dalam
Transfigurasi Manusia (The Transfiguration of Man), Yogyakarta: Penerbit
Qalam, 2002, hal. 11-12, menyebutkan, “...hanya ada satu filsafat, Sophia
Perennis. Ia juga—dengan mempertimbangkan integralitasnya—merupakan
satu-satunya agama. Sophia memiliki dua sumber yang mungkin, yang satu abadi
dan yang satu temporal. Yang pertama, “vertikal”, dan tidak berkesinambungan,
sementara yang kedua “horisontal” dan berkesinambungan. Dengan kata lain, yang
pertama seperti hujan yang pada saat tertentu bisa turun dari langit; yang
kedua seperti arus air yang mengalir dari satu mata air. Kedua mode ini bertemu
dan bersatu dalam Wahyu metafisik yang mengaktualkan wilayah intelektual, dan
begitu intelek ini bangkit, ia memunculkan satu pemikiran yang spontan dan
independen...”
[15] Secara historis, ‘agama pertama’ sudah tentu paling
benar. Karena agama tersebut terdekat dari Sang Kebenaran, paling murni dan
steril dari segala kultur atau kulturisasi yang anti-Tuhan. (Yang dimaksud
‘kultur’ di sini adalah semua aktifitas tangan manusia untuk mengolah alam.
Tangan ‘kotor’ manusia yang ‘mengotori’ alam.) ‘Agama selanjutnya’ sudah tentu harus merujuk pada
‘agama pertama’. Sebab jika tidak, ia berarti menjauhi warisan pertama Sang
Kebenaran; ia menyeleweng. Tuhan menjamin ketidakterputusan pewarisan ‘agama
pertama’ itu kepada manusia hingga era dewasa ini dengan mengutus para nabi
atau para rasul atau para orang suci secara tiada putus-putusnya. Bahkan
setelah ‘nabi terakhir’ wafat pun, masih ada ‘nabi-nabi minor’ atau ‘nabi-nabi
kecil’ yang senantiasa menjaga ketersambungan yang tak boleh putus antara
‘agama pertama’ dengan wawasan dan kaki-langit budaya manusia di ‘Zaman Akhir’.
Karena itu, mudah sekali dipahami mengapa Muhammad merujuk kepada Abraham atau
Yesus merujuk Musa atau keduanya menceritakan ulang ajaran-ajaran nabi
pra-Abraham dan pra-Musa. Nabi-nabi di era mutakhir harus merujuk nabi-nabi di
era awal agar senantiasa dekat Sang Kebenaran.
[16] “Dan Kami tidak mengutus
seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Alloh menyesatkan siapa yang Dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia-lah
Tuhan Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana” (QS Ibrohim, 14: 4). Tentang
ayat ini, dalam kitab Ruhul-Ma’ani, jilid 4 hal. 209, mufasir memahami dengan ungkapan, “Kecuali dengan
bahasa kaumnya sendiri maksudnya adalah Nabi itu berbicara dengan bahasa bangsa
yang kepada mereka Nabi itu diutus.” Terhadap ayat yang sama, dalam kitab
Tafsir Madarik at-Tanzil di bawah ayat (وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُولٍ)
dan dibawah catatan kaki Tafsir Khazin, jilid 3 hal 82, disebutkan, “Kecuali
dengan bahasa kaumnya adalah Nabi itu berbicara dengan bahasa kaumnya sendiri”
[17] Penyebutan ‘nabi baru’ dan ‘nabi lama’ sungguh berarti
menempatkan agama dalam kerangka historis-modernistik. Kita sungguh harus
berhati-hati dalam kasus ini agar tidak terjebak dalam kesalahan pemahaman.
Kebenaran Ilahi sungguh tidak terbatas waktu dan ruang historis dan Kebenaran
Ilahi yang disalurkan melalui nabi-nabi tidak terbatas waktu dan ruang historis
pula. Oleh sebab itu, tak ada ‘nabi lama’ dan ‘nabi baru’, sebagaimana tak ada
pula ‘kebenaran lama’ dan ‘kebenaran baru’; juga tak ada ‘kitab suci lama’ dan
‘kitab suci baru’, sebagaimana tak ada pula ‘Tuhan lama’ dan ‘Tuhan baru’. Kebaruan dan keusangan tidak mengenai kebenaran religius.
Agama selamanya benar kapanpun dan dimana pun; tidak benar secara baru dan
tidak benar secara lama.
[18] ‘Agama pertama’ berfungsi
distributif, sedangkan ‘agama berikutnya’ berfungsi korektif dan evaluatif.
‘Agama pertama’ bertugas menjamin agar Kebenaran Ilahi terwariskan ke seluruh
dunia dalam satu silsilah yang tak boleh putus dan tak boleh berbeda, sementara
‘agama berikutnya’ bertugas mengawasi, memonitor, memberikan evaluasi dan
koreksi atas segala penyelewengan manusia yang pernah terjadi, sehingga manusia
senantiasa terhubung dengan silsilah kebenaran ‘agama pertama’ hingga ‘Hari Akhir’
tiba. Semakin akhir suatu agama, maka ia semakin berat menanggung terjaminnya
ketersambungan antara ‘Zaman Akhir’ dan ‘agama pertama’.
[19] JWM. Bakker, Agama Asli
Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1987, h. 38
[20] Menurut Aldous Huxley dalam Foreword
to the Song of God, Bhagavad-Gtta, The New American Library, Mentor Religious
Classic, 1960, hal. 13, terdapat 4 kesamaan atau universalitas atau
Filsafat Perenial yang terdapat dalam semua agama dan tradisi primordial di
dunia, yaitu: (1) kesamaan ajaran bahwa dunia materi ini adalah manifestasi
dari Tuhan yang di dalam-Nya dunia materi menjadi ada, serta tanpa-Nya segala
jadi tiada; (2) kesamaan ajaran bahwa manusia tidak hanya mampu mengetahui
Tuhan dengan inferensi logis tapi juga dengan intuisi langsung; (3) kesamaan
ajaran bahwa manusia memiliki dua tabiat alamiah, yang satu adalah diri yang
fenomenal dan yang kedua adalah Diri yang Abadi, yang dengan keduanya ia dapat
mengidentikkan dirinya dengan Tuhan; dan (4) kesamaan ajaran bahwa tujuan ultimat
hidup manusia adalah mengidentifikasi dirinya dengan Diri Tuhan.
Komentar
Posting Komentar