Langsung ke konten utama

Menyadari Adat di Indonesia (Bag. IV)



Aspek Esoterik-Eksoterik
Ada hal menarik mengenai adat yang luput dari perhatian para antropolog dan sosiolog modern, tapi sungguh diperhatikan oleh masyarakat adat sendiri, yaitu, bahwa adat memiliki banyak kategori atau jenis, dan kategorisasi ini dilakukan oleh masyarakat asli itu sendiri, tanpa campur-tangan outsider. Suku Riau membagi adat ke dalam 3 (tiga) kategori: (1) adat sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; dan (3) adat yang teradat.[1] Adat sebenar adat ialah adat yang tidak berubah oleh kondisi dan situasi apapun, karena berasal dari Yang Ilahi. Ini adalah ‘aspek esoterik’ adat. Sedangkan dua jenis adat yang lainnya dapat berubah, karena dibuat untuk kepentingan sementara oleh pemimpin suku atau hasil musyawarah masyarakat itu sendiri. Ini adalah ‘aspek eksoterik’ adat. Adat yang diadatkan, dalam perspektif masyarakat asli Riau, berarti, sebagaimana diungkap oleh peribahasa:
Adat yang turun dari raja,
Adat yang tumbuh dari datuk,
Adat yang cucur dari penghulu,
Adat yang lahir dari mufakat,
Putus mufakat ia berobah.[2]

Sedangkan adat yang teradat ialah, sebagaimana diungkap pula dalam peribahasa berikut ini:
Adat yang teradat
Datang tidak bercerita
Pergi tidak berkabar;
Adat disarung tidak berjahit
Adat berkelindan tidak berjahit
Adat berjarum tidak berbenang
Yang terbawa burung lalu
Yang tumbuh tidak ditanam…[3]

Suku Melayu-Minangkabau juga memiliki kategorisasi adat. Mereka membagi adat ke dalam 2 (dua) kategori: (1) adat babuhul mati, dan (2) adat babuhul sintak. Adat babuhul mati adalah adat yang ikatannya merupakan ikatan mati, tak bisa diubah-ubah. Adat babuhul mati juga disebut dengan sebutan lain, yaitu adat sabana adat (adat yang benar-benar adat). Adat sabana adat ialah adat yang diambil dari seluruh hukum dan sifat alam yang tidak mengenal perubahan, sedangkan adat babuhul sintak (yang juga disebut dengan adat nan diadatkan) adalah adat yang ikatannya merupakan ikatan longgar, bisa diubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi kontemporer, yang dihasilkan, misalnya, lewat perenungan pendiri adat Minangkabau, bernama Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang, atau lewat musyawarah. Pada gilirannya, adat babuhul sintak akan menjadi adat babuhul mati, karena keputusan yang pada awalnya bersifat sementara itu kemudian diabadikan oleh masyarakat menjadi keputusan tetap.[4] Ini sangat tepat diungkap oleh peribahasa Minang:

Kamanakan barajo kapado mamak,
Mamak barajo kapado tungganai,
Tungganai barajo kapado panghulu,
Panghulu barajo kapado mufakat,
Mufakat barajo kapado alua jo patuik,
Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.

(Kemenakan dipimpin oleh mamak,
mamak dipimpin oleh tungganai,
tungganai dipimpin oleh penghulu,
penghulu dipimpin oleh mufakat,
mufakat dipimpin oleh tatanan alam dan kepatutan,
tatanan alam dan kepatutan dipimpin oleh Kebenaran,
Kebenaran berdiri sendiri.)[5]

Penelaahan terhadap adat dalam dua suku Melayu tersebut memperlihatkan, bahwa dalam masyarakat asli pun telah terjadi dinamika internal, yang tercermin dari adat yang diadatkan dan adat yang teradat (dalam suku Riau) dan adat babuhul sintak (dalam suku Minang). Masyarakat asli dapat saja memperbarui adatnya, tanpa harus membuang adat untuk mengambil sesuatu yang asing. Namun, barangkali formulasi tersebut tinggal sekadar formulasi. Pada prakteknya, pembaharuan dalam adat lewat jalur adat yang diadatkan atau adat babuhul sintak, amat sulit dilakukan, jika bukan dikatakan mustahil.
Pembusukan-pembusukan dalam adat pun terjadi, sebagaimana yang disesalkan oleh R.A. Kartini dalam kumpulan surat-suratnya Habis Gelap Terbitlah Terang, lantaran adat tidak segera diperbarui. Semestinya, semua pemimpin adat tidak perlu takut akan pembaharuan dalam adat, selama adat sebenar adat atau adat babuhul mati tidak berubah. Pembaharuan dalam adat babuhul sintak atau adat yang diadatkan merupakan keniscayaan hidup lahiriah manusia di alam historis, yang tidak akan berpengaruh pada ketetapan esensial dari adat sabana adat di alam meta-historis. Karena berasal dari Yang Ilahi Nan Abadi, maka adat sabana adat senantiasa abadi. Perubahan dan dekadensi hanya dapat mengenai adat babuhul sintak, sedangkan adat babuhul mati tidakkan dikenai perubahan dan dekadensi. Kebenaran itu abadi dan Kebenaran tidak mengenal keduaan (duality).

Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.

Jika dikatakan sebagai ‘abadi’, maka apa saja ‘yang abadi’ dalam Adat Sebenar Adat? Tentu saja yang abadi ialah kebenarannya, sebab ia manifestasi Sang Kebenaran. Jika dianalogikan dengan buah, kebenaran ialah isi buahnya atau daging buahnya, bukan kulitnya. Jika dianalogikan dengan cermin, maka kebenaran ialah suatu yang nyata ada di hadapan cermin, bukan yang dipantulkan cermin. Jika dianalogikan dengan matahari, kebenaran ialah intinya, bukan sinarnya. Dalam tari kecak di Bali, manakah elemen yang abadi? Bukan gerakan-gerakan tarinya, bukan format duduknya penari, bukan pula teriakan yang keluar dari mulut penari, yang merupakan unsur abadi, tapi komunikasi dan penyatuan (communion) dengan Yang Ilahilah yang abadi. Dalam tari Tunggal Penaluan suku Batak, manakah elemen yang abadi? Lagi-lagi, bukannya gerakan tarinya, bukan format barisan penarinya, bukan tongkat yang dipakai penari, bukan mantera yang dikomat-kamitkan penari yang bersifat abadi, tapi komunikasi dan penyatuan dengan Yang Ilahilah yang abadi. Dalam patung mbis suku Asmat, manakah elemen yang abadi? Bukan motif ukirannya, bukan simbolisme motifnya, bukan pula posisi vertikal patung itu yang abadi, tapi komunikasi dan penyatuan dengan Yang Sakrallah yang abadi.
Komunikasi dan penyatuan dengan Yang Sakral yang merupakan inti segala manifestasi adatlah yang menyebabkan adat jadi abadi. ‘Adat Abadi’ ini sungguh identik dengan apa yang disebut filsuf Perennialisme[6] sebagai Philosophia Perennis (Kebijaksanaan Abadi) atau Religio Perennis (Agama Abadi) atau the Tradition (Tradisi Abadi). Adat, bersama-sama dengan seluruh tradisi spiritual-sakral yang pernah ada di dunia ini, berintikan ajaran spiritual-sakral yang serupa dan tunggal: komunikasi dan penyatuan dengan Yang Ilahi. ‘Adat Abadi’ ini bukanlah ciptaan leluhur, tapi ciptaan Leluhur Abadi kita, yang disebut dengan beribu nama (Tuhan, Lowalangi, Deus, Theo, Tiwaz, Pater, Allah, dan lain-lain) tapi merujuk pada Kenyataan Nan Tunggal. Adat Perennis senantiasa ada di manapun, kapan pun, bagaimana pun, apapun manifestasinya, sebab: …there has never been a time without God, nor a place into which He has failed to descent. His eternal power and Godhead have always been manifest in the things that are made, and the particular traditions are so many palimpsests of a script written into the substance of creation itself. It is not surprising, therefore, that we should find signs of tradition wherever and whenever we look…’[7]
Di zaman ketika adat belum dimaknai dengan makna rasial, tidak ada 'pintu rasial'; yang ada hanya 'pintu spiritual'; semua suku asli Indonesia lebih dulu mengenal spiritualitas adat daripada rasialitas spiritual adat. Memang benar, leluhur pada awalnya merupakan pendiri suatu desa-keluarga dan spiritualisme leluhur merupakan agama desa-keluarga itu, tapi ketika spiritualisme leluhur bukan hanya diterapkan pada desa itu saja dan oleh penduduk desa itu saja, tetapi juga di banyak tempat di dunia dan oleh banyak penduduk dunia, maka spiritualisme leluhur itu bersifat supra-tribal, bersifat perenial. Sedangkan konsep Kejawaan (sering pula disebut Kejawen) dan Agama Wiwitan Sunda (sering pula disebut Agama Cigugur) yang merefleksikan 'spiritualisme rasial', merupakan perkembangan historis yang lebih belakangan daripada konsep spiritualisme leluhur. Itulah sebabnya, mengapa Sutatmo Suriokusumo di Jawa dan Datuk Sutan Maharaja di Minang lebih dulu menjadi theosophist dalam the Theosophical Society daripada menjadi anggota Budi Utomo atau menjadi seorang Datuk di zaman pra-Kemerdekaan. Mereka berdua memang bergabung dalam pergerakan rasial, tapi tidak melupakan 'ras' yang abadi, sebagaimana secara cantik diungkap Frithjof Schuon:…ada tanah air di dunia ini dan ada tanah air di surga. Yang terakhir merupakan bentuk asli dan sumber dari yang pertama, serta memberikan makna dan legitimasi terhadapnya. Dengan demikian, sebagaimana dalam ajaran Gereja, cinta ketuhanan memiliki prioritas di atas--dan berarti mungkin bertentangan dengan--cinta terhadap segala yang relatif, meskipun sama-sama bermuatan kemurahan hati. Satu makhluk harus mencintai 'dalam Tuhan'. Artinya, cinta itu sebenarnya tidak pernah dimiliki makhluk secara eksklusif. Kristus hanya memperhatikan tanah air surga yang 'tidak ada di dunia ini'. Ini sudah seharusnya, meskipun bukan berarti menolak fakta alamiah adanya tanah air di bumi, melainkan lebih untuk menghindari satu pengkultusan yang sesat--dan berarti tidak logis--terhadap tanah air tempat seseorang berasal. Jika Kristus menanggalkan tanah air temporalnya, betapapun ia mengakui hukum-hukum alamiah, berarti hukum-hukum itu dipandang tidak abadi dan tidak boleh dijadikan berhala.[8]
'Pintu pertama' adalah pintu lahir, sedangkan 'pintu kedua' adalah pintu batin. 'Pintu pertama' hanya untuk menunjukkan ekspresi lokal akan Kebenaran, sedangkan 'pintu kedua' hendak merangkul semua ekspresi lokal dari tempat dan ruang yang berbeda, lalu menunjukkan bahwa semua ekspresi lokal itu merujuk pada satu tujuan universal, satu paham universal, satu ajaran universal: 'ajaran abadi'. Di Jawa, ada Kejawen; di Sunda, ada Agama Cigugur. Walaupun diungkap dengan bahasa-bahasa lokal, spiritualitas universal yang terkandung di dalamnya merupakan common denominator yang menyatukannya dalam Bahasa Ilahi yang universal. Tradisi Teologi Islam mengatributkan Yang Ilahi sebagai al-Mutakallim (Yang Maha Bertutur). Dia senantiasa bertutur dan mengabarkan Kebenaran di tengah manusia. Bahasa apa yang dipakai Tuhan dalam bertutur? Bukan bahasa Latin; bukan bahasa Inggris; bukan bahasa Grik; bukan bahasa Ibrani; bukan bahasa India; bukan bahasa Cina; bukan bahasa Arab; bukan pula bahasa Jawa. Yang Ilahi bertutur dengan bahasa universal; bahasa ruh, 'bahasa hati', 'bahasa jiwa'.
Lalu, mana yang abadi? 'Adat Rasial' atau 'Adat Perennis'? 'Adat Babuhul Sintak' atau 'Adat Babuhul Mati'? 'Adat yang Diadatkan' atau 'Adat Sebenar Adat'? Tentu saja, jika kita disuruh memilih di antara 'huruf' atau 'ruh', kita akan memilih 'ruh', sebab, sebagaimana Perjanjian Baru bersabda: '…sebab Huruf membunuh, tetapi Ruh menghidupkan' (II Kor. 3:6). Menyadari bahwa Kebenaran Ruhaniah itu tunggal, Mpu Tantular, jika ditanya 'anda mau memilih Shivaisme atau Buddhisme?', akan menjawab:
Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
BhinnĂŞki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
BhinnĂŞka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.[9]

(Orang bilang Buddha dan Siwa adalah dua substansi berbeda,
Keduanya memang berbeda, tapi bagaimana mungkin memahami
perbedaan keduanya secara sepintas,
sebab kebenaran Jina (Buddha) dan kebenaran Siwa adalah satu,
keduanya memang sungguh berbeda, tapi keduanya dari jenis yang sama, karena tidak ada dualitas dalam Kebenaran.)

Aspek Perenial
Sejatinya, perenialitas dalam Sophia Perennis berakar pada diskursus-diskursus tentang kebijaksanaan abadi selama berabad-abad di seluruh dunia. Dalam tradisi Hindu, konsep tersebut ditemukan dalam ide Sanatana Dharma, yang berarti ‘Tradisi Abadi’ atau ‘Kebenaran Abadi’. Dalam Taoisme, eternalitas terkandung dalam kebenaran abadi, yang disebut Tao. Dalam Buddhisme Mahayana, konsep ini terdapat dalam ide Buddha-alam yang abadi (the eternal Buddha-nature) atau Sang Esensi Abadi. Seluruh penganut Buddha menganggap kitab-kitab suci Tripitaka mengandung kebenaran abadi (Dhamma, the Truth). Dalam tradisi Yudaisme, ajaran abadi disebut Torah dan prinsip-prinsip universalnya disebut Wisdom (seperti yang diajarkan dalam Amsal Sulaiman 8:22-31 dan 8:34-35). Tradisi abadi dinamakan oleh penganut Yudaisme sebagai Kabbala.
Dalam tradisi Islam, agama abadi disebut Fithrah (Surah XXX:30), yang mengilhami beberapa Sufi-filosof dari Al-Suhrawardi hingga Ibn ‘Arabi dan Ibn Miskawayh untuk mengkonseptualisasi ‘kebijaksanaan primordial’ (al-hikmah al-‘atiqah), ‘kebijaksanaan abadi’ (al-hikmah al-khalidah), dan ‘agama abadi’ (al-din al-khalidah, javidan khirad). Di era Skolastik, umat Kristiani-Barat meyakini apa yang dinamakan ‘hukum primordial’ (lex primordialis), seperti yang dimisalkan dalam tulisan-tulisan St. Tertullian, khususnya dalam bukunya An Answer to the Jews. St. Augustine, St. Bonaventura, dan St. Thomas Aquinas semuanya pernah membahas tentang ‘hukum abadi’ ini.
Di era Renaisans Barat, Giovanni Pico Della Mirandola (1463-1494) menekankan ide kontinuitas kebijaksanaan abadi yang secara esensial adalah satu semata-mata di dalam berbagai peradaban dunia dan periode sejarah yang berbeda-beda. Terakhir, di era Barat-Modern, konsep prinsip abadi menggema kembali dalam ide Perennial Philosophy yang dikembangkan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dan Aldous Huxley (1894-1963), ide ‘the way of the saints of any religion’ yang dikembangkan oleh Walter Terence Stace (1886-1967) dan Thomas Stearns Eliot (1888-1965), ide Primordial Tradition yang dikembangkan oleh RenĂ© GuĂ©non (1886-1951), ide Philosophia Perennis yang dikembangkan oleh Ananda K. Coomaraswamy (1877-1947), ide Sophia Perennis yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein Nasr, dan ide Religio Perennis yang dikembangkan oleh Frithjof Schuon (1907-1998).
Di Indonesia, ide kebijaksanaan abadi terdapat dalam tradisi Adat. Dalam tradisi Melayu-Riau dan Melayu-Minang, ide perenialitas ditemukan dalam ide tradisi abadi yang disebut Adat Sebenar Adat (oleh orang Riau) dan Adat Babuhul Mati (oleh orang Minang). Adat Babuhul Mati ini, menurut orang Minang, ‘…tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan’. Keabadian Adat juga dianut orang Bugis, sehingga ‘rusak taro datuk, tenrusak taro ade’’ (batal pendapat Raja, tidak batal hukum Adat). Adat tidak mengalami dekadensi yang disebabkan oleh perkembangan historis yang kontingen, sehingga orang Melayu mengatakan ‘Adat lama, pusaka usang’ (Adat tak pernah usang, pusaka usang).
Karena memahami Adat sebagai hukum abadi yang tak berubah-ubah, maka orang Melayu memahami segala sesuatu memiliki ‘adat’nya sendiri-sendiri; memiliki aturan kosmik sendiri-sendiri yang tak boleh dilanggar, karena jika dilanggar, maka Kosmos akan berubah jadi Khaos. Misalnya, sudah merupakan fitrahnya teluk bahwa ia menjadi timbunan kapal, sehingga sudah menjadi ‘adat’nya bahwa teluk jadi tempat menimbun kapal. Demikian pula ‘adat-adat’ atau ‘aturan-aturan abadi’ yang lain:

Adat teluk timbunan kapal
Adat gunung tempatan kabut
Adat periuk bergerak, adat lesung berdedak
Adat muda menanggung rindu, adat tua menahan ragam
Adat hidup tolong menolong
Adat dunia balas-membalas, syariat palu memalu
Adat rimba, siapa berani ditaati
Adat negeri memagar negeri, adat kampung memagar kampung

Orang Minang menyebut aturan Adat yang abadi sebagai Alua (Alur Alam), seperti yang diungkap dalam peribahasa mereka:

Kamanakan barajo kapado mamak,
Mamak barajo kapado tungganai,
Tungganai barajo kapado panghulu,
Panghulu barajo kapado mufakat,
Mufakat barajo kapado alua jo patuik,
Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.

(Kemenakan dipimpin oleh mamak,
mamak dipimpin oleh tungganai,
tungganai dipimpin oleh penghulu,
penghulu dipimpin oleh mufakat,
mufakat dipimpin oleh alur alam dan kepatutan,
alur alam dan kepatutan dipimpin oleh Kebenaran,
Kebenaran berdiri sendiri.)

Untuk menjamin keabadian Adat atau keabadian aturan kosmik, biasanya orang Adat menciptakan lembaga sosial yang dapat memberi sanksi sosial bila seorang penganut Adat melanggar Adatnya. Misalnya, dengan cara menciptakan kata-kata ejekan. Orang Melayu mengejek mereka yang melanggar aturan abadi Adat sebagai orang yang ‘tidak beradat’, sementara orang yang mengikuti Adat disebut sebagai orang yang ‘tahu adat dengan lembaga’; orang Toraja memberinya julukan ‘londong unnea toninna’ (‘ayam jantan yang melawan plasentanya’). Orang yang hendak menerapkan aturannya sendiri sehingga melepas ikatannya pada aturan Adat yang abadi, diejek orang Toraja sebagai orang yang ‘memisahkan mata putih dan mata hitam’ (‘pasisarak mata mabusa anna mata malotong’), sementara orang yang melanggar aturan Adat disebut dengan ‘orang menginjak aturan dihitamkan’ (‘to unluluq panda dibolong’). Orang Jawa mengejek orang yang melawan aturan Adat sebagai ‘bocah ora Jowo’ (‘anak yang tidak lagi Jawa’). Ia tidak lagi diakui sebagai orang Jawa, karena ia telah ‘membangkang dan tak mau taat’ (‘mbeguguk nguthawaton’).
Keabadian aturan Adat bukan hanya dijamin oleh tersedianya kata-kata ejekan bagi pelanggarnya, tapi juga oleh tersedianya peribahasa, petuah dan doa. Misalnya, orang Bugis memiliki peribahasa yang mengajak untuk mematuhi aturan Adat, seperti ‘mengikuti hukum yang ada, mengikuti pengalaman, melihat perbuatan yang lalu’ (‘mappattarette ri wari’e, muangnguru salompe mattanga rigau pura-laloe’). Agar orang senantiasa mengingat adanya aturan kosmik abadi, orang Bugis menasehati anaknya dengan peribahasa ‘landaskan pada hukum, sandarkan pada syari’at, melihat pada perbuatan yang berkata’ (‘pattupui riadae, pasanrei risyarae, muattangnga rirapangnge’). Suku Tolaki memiliki doa-doa yang kerap dibaca bila ada pelanggaran aturan Adat, agar bencana tidak menimpa Kosmos sehingga memunculkan Khaos. Doanya begini:

Oh… oh… oh…
Imbekoto inggoo
Guruno owuta
Sangiano wonua
Weweungano wuta
Karamano wonua
Tapuasano wuta
Langgaino wonua
La limbai owuta
La limbai oleo
La limbai ohina
La limbai roroma
Kuonggo mosehe sinala
Molisa sinirei
Kenola sinala
Kenola sinirei.[10]

(O…o…o…
Di mana kau gerangan
Gurunya bumi
Dewanya negeri
Saktinya bumi
Keramatnya negeri
Penguasa bumi
Laki-lakinya negeri
Yang selalu mengelilingi bumi
Yang menguasai matahari
Yang menguasai siang
Yang menguasai malam
Ku akan mensucikan pelanggaran Adat
Menghilangkan dosa
Jika ada yang bersalah
Jika ada yang berdosa.)

Sejarah yang berubah membuat suku-suku asli itu khawatir akan berubahnya Adat dan berubahnya sikap orang terhadap Adat. Mereka amat sadar bahwa manusia, di samping memiliki potensi memelihara aturan abadi, ia juga memiliki potensi merusaknya. Karena itu, orang Adat sering memperingatkan anak-anak mereka akan bahaya perubahan sikap dan perubahan pandangan itu. Suku Jawa, misalnya, sering mengingatkan anak-anak mereka dengan kata-kata bijak ‘ojo dhemen anyar’ (‘jangan suka hal-hal yang baru’). Mereka juga khawatir jika rupanya para pemuka Adatlah yang justru berubah; ia melanggar Adat yang telah lama ia anut hanya karena terjerat jeratan duniawi, sehingga mereka mengejek orang semacam itu dengan ‘palang mangan tandur’ (‘pagar malah memakan tanaman’). Orang Aceh secara retoris bertanya pada anak-anak mereka jika aturan kosmik Adat telah ditinggalkan orang, sehingga jadi aturan yang mati: ‘matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita?’ (‘mati anak ada mayatnya, tapi kalau mati adat, mau dicari kemana?’). Orang Melayu memperingatkan anak-anak mereka akan datangnya zaman Khaos jika aturan Adat tak lagi dipatuhi: ‘kalau hidup tiada beradat, di situlah tanda Kiamat’. Tanda bahwa Khaos telah terjadi dijelaskan oleh suku Jawa, yakni pada saat ‘pasar ilang kumandhange’ (‘pasar hilang suara riuhnya’), ‘wadon ilang wadone’ (‘perempuan hilang rasa malunya’), dan ‘kali ilang kedhunge’ (‘sungai hilang mata airnya’). Khaos terjadi pada saat keniscayaan Adat telah diingkari.


Aspek Religio Perennis

Religio Perennis yang digagas Frithjof Schuon menegaskan bahwa setiap agama memiliki 2 modus interaksi antara Tuhan dan manusia: (1) modus ‘pemisahan’ dan (2) modus ‘penyatuan’. Schuon menyimbolkan dua modus itu dengan dua peristiwa dalam tradisi Islam: ‘Malam al-Qadr dan ‘Malam al-Mi’raj. ‘Malam al-Qadr adalah terpisahnya manusia dari Tuhan, sedangkan ‘Malam al-Mi’raj adalah bersatunya kembali manusia dengan Tuhan. ‘Pemisahan’ itu terjadi supaya ‘penyatuan’ terjadi. Seluruh agama pasti memiliki dua elemen itu, dan karena perenialitas dua elemen tersebut selalu ada di semua agama, maka Schuon menyebut semua agama yang mengandung 2 elemen itu dengan sebutan ‘Religio Perennis’ (‘Agama Abadi’).[1]
‘Pemisahan’ (discernment) dilakukan oleh intelek manusia, sedangkan ‘penyatuan’ (attachment) dilakukan oleh cinta manusia. Intelek manusia cenderung membuat analisa-analisa, membuat pembedaan-pembedaan. Misalnya, menurut intelek, ‘Tuhan’ tentu saja bukanlah ‘manusia’; Tuhan memiliki karakter dan hakikat berbeda daripada manusia. Dari mata air intelek mengalirlah samudra teologi dan filsafat agama. Tapi, cinta manusia cenderung melebur segala perbedaan, menyatukan segala ketidaksamaan. Misalnya, menurut cinta, manusia bisa menemui Tuhan, menyapa-Nya, ‘menikahi-Nya’, bersatu dengan-Nya. Dari mata air cinta mengalirlah samudra mistisisme dan spiritualisme. Religio Perennis memeluk teologi dan mistisisme sekaligus dalam satu tarikan nafas.
Elemen ‘pemisahan’ dan elemen ‘penyatuan’ dikandung agama-agama Adat di Indonesia. Dari benda-benda budaya materil dan benda-benda budaya idiil yang dimiliki suku-suku pribumi, ditemukan aspek ‘pemisahan’ dan aspek ‘penyatuan’. Aspek ‘pemisahan’ bekerja pada saat orang Adat menggunakan akalnya untuk memahami Tuhan, sedangkan aspek ‘penyatuan’ bekerja di saat orang Adat menggunakan hasrat cintanya untuk menemui Tuhan. Dengan kata lain, segala produk akal adalah ‘pemisahan’, sedangkan segala produk cinta adalah ‘penyatuan’. Salah satu bukti orang Adat menggunakan daya akal analitiknya untuk mendeskripsikan hubungan Tuhan dan manusia adalah digubahnya nyanyian mitologi asal-mula (myth of origin). Lewat mitos kosmologis tersebut, orang Adat menjelaskan keterpisahan manusia dari Tuhan. Perhatikan mitologi asal-mula semesta yang dipunyai suku Batak berikut:
Pada mulanya tidak ada apa-apa. Di atas sana, di suatu ruang yang amat jauh, yang tidak nampak oleh penglihatan dan tidak disangka-sangka manusia, duduklah Debata, ‘Mula jadi na bolon’, sang dewa pencipta. Pada mulanya tidak ada apa-apa di bawah tempat Debata, ‘Mula jadi na bolon’, duduk itu. Yang ada hanya kehampaan yang sangat, yang diliputi oleh lautan luas dan alam arwah (netherworld), hanya ada kehitaman yang pekat, kesunyian yang amat senyap, tidak ada suara manusia, tidak ada suara binatang, apalagi suara desir angin yang berhembus. Ombak di lautan bergulung-gulung tanpa suara; tidak ada pantai yang dapat mencegah gulungannya. Hanya ada satu makhluk hidup yang diperkenankan untuk menemani kesunyian sang keabadian yang Maha Kuasa—manuk-manuk, yaitu ayam berbulu biru. Manuk-manuk ini, sang isteri dewa, menetaskan tiga telur dan dari ketiganya lahirlah tiga dewa: Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru pun menciptakan dunia dan manusia…[2]

Begitu Batara Guru menciptakan manusia, sebagaimana diceritakan dalam mitos itu, maka sejak itu pula orang Batak berpisah dari-Nya: itulah aspek ‘pemisahan’. Tapi orang Batak juga memiliki Tortor Tunggal Penaluan, tarian ritual yang ditarikan dengan hasrat cinta membara agar dapat berjumpa kembali dengan Batara Guru—Tuhan yang telah terpisah darinya di era penciptaan alam semesta; itulah aspek ‘penyatuan’.
Dalam suku Asmat di Papua, aspek ‘pemisahan’ dan aspek ‘penyatuan’ berkumpul dalam satu tindakan: memahat atau mengukir Mbis. Pada saat orang Asmat mengukir Mbis, maka wajah leluhur yang terukir dalam ukiran kayu merupakan ‘pemisahan’; terpisahnya si pengukir dari leluhur Tuhannya. Tapi di saat yang bersamaan, ketika si pengukir menggerakkan jari-jarinya dan alat ukirnya, disertai dengan rasa keramat yang memenuhi dada dan rasa rindu tuk menyapa si leluhur yang amat dirinduinya, maka itu adalah ‘penyatuan’; rasa bersatunya si pengukir dengan leluhur yang diukirnya.
Manusia primitif yang hidup di Babakan Bali di abad 35 SM membuat genderang perunggu (nekara) yang dilukisi dengan gambar bangau Cina. Bangau Cina adalah simbol Yang Ilahi; sesuatu yang terbang di Langit, berasal dari Langit, tempat dimana Yang Ilahi berada.[3] Ini adalah ‘pemisahan’; terpisahnya manusia primitif Bali dari Yang Ilahi. Tapi, begitu genderang itu ditabuh dan dipukul dengan penuh rasa kesakralan pada saat mereka melakukan upacara ‘minta hujan’, maka simbol ‘bangau Cina’ itu sekaligus berfungsi sebagai sarana menemui Tuhan. Inilah ‘penyatuan’; bersatunya kembali manusia Bali primitif dengan Tuhannya. Sedangkan orang Bali di era Hindu melakukan aktifitas nyastra, yaitu menelaah kitab-kitab sastra suci mereka: Weda, Agama, Wariga, Itihasa, Babad, dan Tantri.[4] Dari kitab-kitab sastra suci itu, mereka belajar bagaimana kasta-kasta manusia lahir dari tubuh Sang Dewa. Ini adalah ‘pemisahan’; terpisahnya si penyastra yang manusia dari Dewa. Tapi, begitu mereka menari Tari Kecak dengan luapan ekstase cinta serta rindu bergairah tuk menyatu dengan Sang Dewa, maka itulah ‘penyatuan’; bersatunya kembali manusia Bali dengan Dewa. Demikianlah dimensi-dimensi Religio Perennis dalam Adat suku-suku pribumi.

Demikian, Terima Kasih



Sastra Reboan
Bulungan Jakarta, 30 Januari 2013



Bachwar Abdullah



[1] Frithjof Schuon, Religio Perennis, artikel dari situs www.religioperennis.org
[2] Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, Oxford, New York, Singapore, Oxford University Press, 1990, h. xiii
[3] Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Qalam, 2002, hh. 116-119
[4] Ida Bagus Yudha, ‘Pengetahuan, Tradisi Nyastra dan Moral’, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan ULUMUL QUR`AN, Vol. 1, No. 4, 1990/1410 H, h. 22
 



[1] Lembaga Adat Melayu-Riau, “Adat-Istiadat dan Budaya Melayu: Kondisi, Potensi dan Prospektif sebagai Jati Diri Orang Melayu Riau menuju Masyarakat Madani”, hh. 130-131
[2] Ibid., h. 130
[3] Ibid., h. 131
[4] Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, (Padang: Angkasa Raya, 1993), hh. 21-23
[5] Ibid., h. 23
[6] Perennialisme atau ‘Ajaran Abadi’ tidak pernah dibangun, diciptakan, atau dibuat oleh seorang pun. Hanya Yang Ilahilah yang menciptakannya dan menyebarkannya kepada Utusan-UtusanNya atau Komunikatornya, yang disebut dengan banyak sebutan seperti Rasul, Nabi, Buddha, Boddhisatva, Sannyasin, Bikkhu, Ulama, Sufi, Spiritualist, Mistikus, Master, Leluhur, Nenek Moyang, Dukun, Cenayang, Orang Pintar, Paranormal, Filsuf Perennialist, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan Perennialisme di sini ialah aliran filsafat di Barat yang menggali kembali dan merevitalisasi ‘Ajaran Abadi’ tersebut, yang dipelopori oleh RenĂ© GuĂ©non (1886-1951), Frithjof Schuon (1907-1998), Ananda K. Coomaraswamy (1877-1947), dan lain-lain. Merekalah yang di Barat menyadarkan kembali akan kebenaran agama di hadapan Modernisme yang anti-agama.  
[7] James S. Cutsinger, An Open Letter on Tradition, dari situs  http://www.religioperennis.org
[8] Frithjof Schuon, the Transfiguration of Man, terj. Indonesia oleh Fakhruddin Faiz, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hh. 36-37
[9] Soewito Santoso, Sutasoma: A Study in Old Javanese Wajrayana, h. 578
[10] Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka, 1993, cet-2, hh. 388-389

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya