Langsung ke konten utama

Bola itu Indah

koleksi pribadi
Sepak bola adalah jenis olah raga yang paling digemari di seluruh dunia. Pada tiap halaman surat kabar, nasional ataupun daerah, pemberitaan tentang sepak bola selalu mengemuka. Kendati demikian, apapun penjelasan dan pemberitaan tentang sepak bola satu yang pasti sepak bola pada dasarnya adalah jenis permainan belaka sebagaimana bisa diamati dari bendera ukuran besar bertuliskan  my game is fair play yang kerap diarak ke tengah lapangan sebelum pertandingan sepak bola dimulai.

Antusiasme pada sepak bola menjangkiti tokoh-tokoh penting di luar lapangan bola. Antonio Gramsci  yang mahyur dengan teori hegemonipernah berujar “sepak bola adalah model masyarakat yang individualistis. Ia menuntut adanya tekad, persaingan, dan perselisihan,” tapi, kata Gramsci, “sepak bola diatur oleh aturan tak tertulis dari fair play.”

Novelis, penyair, dan dramawan Oscar Wilde tak mau ketinggalan dengan sedikit berkelakar ia berkata “sepak bola sebagai sebuah permainan sangat baik bagi gadis-gadis yang tangguh, tapi sangat  tidak cocok bagi anak lelaki yang lembut.”

Pernyataan-pernyataan Gramsci juga Wilde mengisyaratkan suatu kenyataan bahwa sepak bola bukan sekadar permainan. Terdapat dimensi lain di balik sepak bola. Bagi Gramsci permainan sepak bola tak semata mengikuti aturan-aturan formal yang diakui dan ditaati semua pihak yang terlibat dalam sepak bola tapi lebih dari itu sepak bola juga melibatkan jenis aturan lain yang tak tertulis, semisal kerelaan mengakui keunggulan lawan, solidaritas, dan lain sebagainya, sebuah aturan yang justru berperan penting menjadikan sepak bola sebagai olah raga yang istimewa.

Lepas dari aneka penjelasan di muka, sepak bola sebagai jenis permainan tak jauh beda dengan jenis-jenis permainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak seperti petak umpet, congklak, gobak sodor, atau lainnya. Setiap permainan apapun jenisnya, jika tak ingin disebut main-main, tidak bisa tidak harus melibatkan intuisi keindahan.

Keindahan bermain sepak bola di antaranya dapat diamati dari proses beralihnya bola dari satu pemain ke pemain lainnya. Pengoperan atau peralihan itu menunjukkan pola yang konstan; panjang dan pendek. Di lapangan bola, pola panjang dan pendek ditata sedemikian rupa oleh para pemain (tentu dengan gaya, energi, perjuangan, doa, kerja keras, kemahiran, serta cucuran keringat) demi tercipta situasi di mana bola beralih dari kaki salah seorang pemain ke gawang kesebelasan lawan.

Meskipun demikian terkadang sebuah kesebelasan cuma menerapkan satu dari kedua pola tersebut. Keistimewaan kesebelasan Barcelona di Liga Spanyol, misalnya, sejauh ini masih konsisten menerapka permainan sepak bola dengan umpan-umpan pendek dari satu pemain ke pemain lainnya. Istilah yang dianggap merefleksikan cara bermain Barcelona, tim yang pernah diasuh legenda Belanda Johan Cryuff, disebut dengan “tiki-taka.”

Dalam tiki-taka penguasaan bola adalah hal pokok sebab dari penguasaan bola inilah permainan lawan dapat dikendalikan dan ujung-ujungnya kesebelasan lawan dapat ditaklukkan. Di lapangan, tiki-taka efektif bila seorang pemain meyakini kemampuan dan kemauan pemain lain yang menjadi rekan satu timnya.

Kemauan untuk apa? Kemauan untuk meraih apa yang secara kolektif dianggap sebagai tujuan atau kehendak keseluruhan pihak, termasuk pelatih, yakni memenangi pertandingan secara elok. Tiki-taka dengan demikian mengandaikan adanya saling pengertian dan saling menghargai di antara pemain.

Untuk memenangi pertandingan secara elok pelatih kerap merumuskan atau merancang teknik-teknik apa yang bakal diperagakan di lapangan untuk melumat tim musuh. Tapi, praktik di lapangan para pemain dengan kepiawaian yang dimiliki misalnya dalam menggiring, mengumpan, atau menembakkan bola ke gawang lawan, cenderung bekerja berdasar improvisasi dan spontanitas.

Orang boleh saja bicara aneka konsep, formula, teori, kaidah atau apapun namanya tapi dalam kerja kreatif, apalagi secara kolektif, aneka konsep kadang hanya tinggal di atas kertas; konsep terkadang hanya sebagian kecil saja mampu direalisasikan.  Keyakinan saya, improvisasi dan spontanitas juga merupakan istilah-istilah kunci yang melatarbelakangi lahirnya seniman-seniman top yang pernah dimiliki Indonesia misalnya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan Rendra.

Akhirnya, dari permainan sepak bola kita dapat memetik pelajaran bahwa karya cipta dalam berbagai bidang seperti ilmu pengetahuan, praktik politik, dan lainnya tanpa melibatkan intuisi keindahan boleh jadi hanya akan melahirkan produk-produk yang cenderung membosankan dan bahkan menjengkelkan. (Khudori Husnan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...