Langsung ke konten utama

Filsafat Belanja


Belanja telah menjadi semangat zaman. Belanja tak hanya telah menjadi gaya hidup tapi lebih dari pada itu belanja adalah pilihan hidup. Tanpa pernah sekalipun berbelanja, kehidupan seseorang kemungkinan besar akan dicap sebagai terbelakang.  Di mana pun dan kapan pun kegiatan belanja akan dengan mudah kita sua. Di pinggir jalan, di pasar-pasar  tradisional, di  pertokoan, di  dunia maya, di mall-mall, dan masih banyak lagi.  

source:medievalmagic
Sebagian kalangan menilai aktivitas berbelanja  adalah  contoh terbaik dari gaya hidup hedonis dan materialistis. Selain itu, karena sebagian pelaku belanja berjenis kelamin perempuan, belanja juga kerap dituding sebagai perilaku yang memertahankan ketidakadilan jender.

Menarik bahwa seiring kian gencarnya tanggapan sinis pada belanja orang-orang  justru terlihat kian militan saja dalam berbelanja baik untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tertier masing-masing. Atas dasar ini, mari kita kesampingkan dulu tanggapan sinis dari sebagian kalangan itu ihwal belanja. Sejenak ada baiknya kita telisik ada apa sebenarnya di balik fenomena belanja yang seakan tak henti memancarkan pesona itu?

Cinta
Berbelanja  telah menjadi aktivitas rutin di keseharian. Pertukaran dalam bentuk jual beli terjadi  nyaris di semua lini kehidupan sosial kita. Rutinitas belanja serupa dengan rutinitas dalam peribadahan semisal sholat lima waktu bagi seorang muslim dan beribadah ke gereja di akhir pekan bagi pemeluk Protestan atau Katolik taat.

Penjelasan ihwal belanja yang berhenti pada masalah pemenuhan kebutuhan pokok jelas tak lagi memadai. Sebab seringkali kita jumpai seorang ibu berbelanja membeli seperangkat mainan untuk anak-anaknya, jenis-jenis cemilan kesukaan suaminya, buah-buahan segar kegemaran ayah atau ibu mertuanya, hingga pembelian model-model terbaru dari perabotan dapur. Kesemuanya itu menyiratkan kenyataan bahwa belanja tak hanya pemenuhan kebutuhan pokok belaka.

Di balik aktivitas belanja sendiri seseorang tampak sedang menghasrati atau mendambakan sesuatu yang boleh jadi lebih luhur dari pada sekadar menunjukkan laku konsumeristis, memiliki barang, jenis-jenis makanan, atau perabotan tertentu.

Dalam belanja tiga tahapan ini seringkali kita temukan; pertama seseorang berbelanja (baca pembeli) dengan cara memberikan sejumlah uang kepada penjual dan pembeli mendapatkan barang yang dikehendakinya;

kedua dalam  belanja yang menekankan jual beli,  penjual dan pembeli biasanya terlibat dalam proses tawar-menawar baik langsung maupun tidak langsung misalnya dengan memerhatikan dan mempertimbangkan banderol harga yang tertera di barang-barang tertentu. Bagi pembeli proses tawar menawar menjadi peluang untuk melakukan penghematan sedang dari sudut penjual barang jualannya akan terjual meski dengan untung yang relatif kecil ;

ketiga, barang-barang hasil dari berbelanja dinikmati tak hanya oleh dia yang berbelanja  tapi kemungkinan besar juga ikut dinikmati oleh orang-orang terdekatnya seperti suami, anak, ayah, kerabat, dan tetangga.
Seorang ibu, di luar peran pembantu, berbelanja aneka bumbu masakan untuk kemudian diolah, dimasak, dan dihidangkan untuk makan seluruh anggota keluarga.  Seorang istri membelikan suaminya kaos kaki baru setelah dia melihat kaos kaki lama sang suami berlobang di bagian jempolnya. Belanja menjadi cara lain seseorang untuk mengekspresikan cintanya pada yang lain.

Pengorbanan
Di muka telah disebutkan bahwa di balik aktivitas belanja seseorang yang tengah berbelanja tampak sangat menghasrati sesuatu yang jauh lebih luhur dari sekadar membeli barang dan menyajikannya entah untuk dirinya sendiri maupun untuk orang-orang terdekat yang dicintainya. Kerelaan dia yang berbelanja dan menghasrati sesuatu itu paralel dengan  ritus pengorbanan dalam sebuah kepercayaan agama tertentu.

Dalam ritual korban seseorang biasanya menyajikan sesajen kepada arwah leluhur. Sesajen pada umumnya tidak didapatkan secara gratis alias bahan-bahan yang kelak diracik menjadi sesajen harus dibeli terlebih dahulu. Demikian halnya dengan kurban dalam bentuk penyembelihan hewan kurban dalam momen hari raya kurban di kalangan muslim.  Hewan kurban, sapi atau kerbau haruslah tidak dalam kondisi sakit-sakitan intinya harus kualitas terbaik.

Nalar kurban menarik untuk diperiksa. Seseorang membeli, jadi bersifat konsumtif, demi mengharapkan sebuah imbalan sosial atau teologis dalam bentuk pahala. Logika melingkar terdapat dalam ritual korban; seseorang yang berkurban mengubah konsumsi menjadi produksi. Produksi ini pun kemudian dikonsumsi lagi.

Seseorang membeli hewan kurban lalu disembelih. Daging hewan kurban lantas dikonsumi oleh mereka yang diyakini sebagai pihak-pihak yang berhak menpat jatah hewan kurban. Tak dilaksanakannya ritual penyembelihan hewan kurban dan tak dibagikannya daging kurban secara adil sesuai aturan-aturan keagamaan dapat mengakibatkan lahirnya sangsi atau hukuman tertentu semisal dalam bentuk dosa atau perasaan bersalah.

Mereka yang berpikiran utilitarianistis, yakni menyempitkan dunia semata pada masalah kepentingan-kepentingan dan pragmatisme (sekadar untung dan rugi), jelas tak akan bisa menerima penalaran di balik ritual korban yang menekankan pada penghancuran kreatif atas diri; orang merelakan uangnya  berkurang, semisal untuk membeli sapi atau kambing kualitas terbaik hewan yang kelak disembelih. Model-model penalaran seperti ini berlaku juga pada momen belanja seperti sudah dijelaskan panjang lebar di awal-awal tulisan ini.

Sebagai kesimpulan dari tulisan saya, yang menjadikan buku Daniel Miller, A Theory of Shopping (Cornell University Press, New York, 1998), sebagai titik tolak, ada baiknya mulai sekarang sebelum berbelanja  Anda jangan lupa untuk menyempatkan diri untuk berdoa memohon ridho dan ampunan-Nya. (Khudori Husnan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...