Jokowi (Globalvoiceonline) |
Gaya kepemimpinan Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, terus menjadi pusat perhatian. Gerak-gerik Joko Widodo dalam memimpin Ibu Kota kerap menjadi peristiwa politik yang memicu antusiasme khalayak ramai, seperti baru-baru ini diperlihatkan Jokowi dalam merespons banjir besar yang menggilir Jakarta. Melihat besarnya animo masyarakat pada model kepemimpinan Jokowi, demikian sapaan akrab Joko Widodo, para pemimpin ataupun calon pemimpin mulai menirunya.
Peniruan terhadap model kepemimpinan Jokowi berlangsung secara terang-terangan dan diam-diam. Tiru-meniru dalam gaya memimpin adalah sebuah kewajaran. Tapi, khusus pada Jokowi, peniruan hanya akan melahirkan mudharat daripada manfaat bagi si peniru. Peniruan sekadar mengidindikasikan sebuah ketersesatan nalar.
Mengapa? Karena pertama, tiru-meniru mengisyaratkan adanya ketidakmatangan dan perasaan rendah diri dari seseorang; kedua gaya kepemimpinan Jokowi adalah khas karena boleh jadi tak berlandaskan pada sebuah desain sadar (rumusan tentang konsep kepemimpinan tertentu) tapi sebaliknya berbasis pada spontanitas, hasil dari desakan yang muncul dari dirinya sendiri.
Dua unsur di atas yang membuat gaya memimpin Jokowi khas dan oleh karenanya akan sulit ditiru oleh siapapun. Puluhan pemimpin dan atau calon pemimpin boleh saja sibuk blusukan serupa Jokowi, yang mendadak dan anti prosedur-prosedur formal, tapi karena aksi blusukan didorong oleh adanya unsur-unsur di luar dorongan yang muncul dari diri pemimpin dan calon pemimpin, misalnya karena saran atau bisikan orang-orang terdekat, aksi blusukan itu pun menjadi tak semenghibur dan tak sedramatis Jokowi.
Rezim Kecepatan
Gaya kepemimpinan Jokowi masih satu sarangkaian dengan visinya yang akan bekerja dengan kecepatan tingkat tinggi seperti sering diucapakannya dalam berbagai kesempatan. Dengan visi serba cepatnya ini Jokowi pun secara sadar melibatkan diri dengan apa disebut sebagai rezim kecepatan global; sebuah rezim yang didukung oleh pemahaman bahwa tatanan sosial berkembang sesuai nalar peningkatan kecepatan yang berlangsung secara serentak dan berkesinambungan.
Nalar kecepatan paralel dengan laju perkembangan model-model komunikasi dan transportasi; dari era kuda sebagai penggerak utama transportasi, ke era kereta api; era telepon ke era transmisi radio disusul oleh televisi, teknologi digital, dan teknologi informasi. Perkembangan teknologi menunjukkan adanya ikhtiar mengikis habis budaya lamban seperti tercermin dari bunyi iklan layanan masyarakat “i hate slow!”
Kecepatan memungkinkan orang lebih mudah bergerak semakin di depan, melihat, mendengar, dan memahami lebih intensif perkembangan dari lingkungan sosial mutakhir. Meskipun demikian, kecepatan juga dapat membatasi. Pada kecepatan, kemunculan gejala-gejala tertentu yang unik dan memperlihatkan kenyataan empirik, seringkali terabaikan.
Saat kita mengendarai mobil atau sepeda motor dengan kecepatan sangat tinggi adrenalin meningkat tajam. Kita juga akan mendapati pemandangan di samping kiri dan kanan seperti gedung, orang, pohon, atau lainnya terlihat seperti obyek-obyek dalam keadaan ikut berlari sangat kencang dan obyek-obyek itu tampak seragam. Pada momen kecepatan, keterperincian dan keunikan di masing-masing obyek seringkali tak terlihat jelas.
Sebagai mantan pengusaha Jokowi pasti tahu semboyan “lebih cepat lebih baik.” Tapi, apakah Jokowi paham bahwa semakin cepat ia bergerak semakin besar kemungkinan ia mendapat resiko?
Dalam konteks pemerintahan di Jakarta, resiko itu antara lain Jokowi potensial abai pada penanganan aneka masalah unik yang ada dan menjadi kekhasan kota besar seperti Jakarta seperti maraknya iklan-iklan yang terpasang bukan pada tempat semestinya hingga fenomena orang-orang yang hidup dalam gerobak yang kerap kita jumpai di jalanan Jakarta?
Masalah kecepatan yang diangkat tulisan ini mungkin berlebihan. Tapi, kendati demikian, hal tersebut tak cukup menjadi alasan untuk kita segera mengubah haluan kembali ke budaya lamban atau lambat. Saat ini yang dibutuhkan barangkali adalah suatu pergerakan wajar dengan visi dan orientasi yang jelas.
Bagi para pemimpin dan calon pemimpin yang sedang atau berkehendak meniru gaya kepemimpinan Jokowi ada baiknya merenungkan ungkapan mahsyur dari salah seorang filosof penting dari Jerman Friedrich Nietzsche: “Be a man do not follow me-but your self!” (Khudori Husnan)
Peniruan terhadap model kepemimpinan Jokowi berlangsung secara terang-terangan dan diam-diam. Tiru-meniru dalam gaya memimpin adalah sebuah kewajaran. Tapi, khusus pada Jokowi, peniruan hanya akan melahirkan mudharat daripada manfaat bagi si peniru. Peniruan sekadar mengidindikasikan sebuah ketersesatan nalar.
Mengapa? Karena pertama, tiru-meniru mengisyaratkan adanya ketidakmatangan dan perasaan rendah diri dari seseorang; kedua gaya kepemimpinan Jokowi adalah khas karena boleh jadi tak berlandaskan pada sebuah desain sadar (rumusan tentang konsep kepemimpinan tertentu) tapi sebaliknya berbasis pada spontanitas, hasil dari desakan yang muncul dari dirinya sendiri.
Dua unsur di atas yang membuat gaya memimpin Jokowi khas dan oleh karenanya akan sulit ditiru oleh siapapun. Puluhan pemimpin dan atau calon pemimpin boleh saja sibuk blusukan serupa Jokowi, yang mendadak dan anti prosedur-prosedur formal, tapi karena aksi blusukan didorong oleh adanya unsur-unsur di luar dorongan yang muncul dari diri pemimpin dan calon pemimpin, misalnya karena saran atau bisikan orang-orang terdekat, aksi blusukan itu pun menjadi tak semenghibur dan tak sedramatis Jokowi.
Rezim Kecepatan
Gaya kepemimpinan Jokowi masih satu sarangkaian dengan visinya yang akan bekerja dengan kecepatan tingkat tinggi seperti sering diucapakannya dalam berbagai kesempatan. Dengan visi serba cepatnya ini Jokowi pun secara sadar melibatkan diri dengan apa disebut sebagai rezim kecepatan global; sebuah rezim yang didukung oleh pemahaman bahwa tatanan sosial berkembang sesuai nalar peningkatan kecepatan yang berlangsung secara serentak dan berkesinambungan.
Nalar kecepatan paralel dengan laju perkembangan model-model komunikasi dan transportasi; dari era kuda sebagai penggerak utama transportasi, ke era kereta api; era telepon ke era transmisi radio disusul oleh televisi, teknologi digital, dan teknologi informasi. Perkembangan teknologi menunjukkan adanya ikhtiar mengikis habis budaya lamban seperti tercermin dari bunyi iklan layanan masyarakat “i hate slow!”
Kecepatan memungkinkan orang lebih mudah bergerak semakin di depan, melihat, mendengar, dan memahami lebih intensif perkembangan dari lingkungan sosial mutakhir. Meskipun demikian, kecepatan juga dapat membatasi. Pada kecepatan, kemunculan gejala-gejala tertentu yang unik dan memperlihatkan kenyataan empirik, seringkali terabaikan.
Saat kita mengendarai mobil atau sepeda motor dengan kecepatan sangat tinggi adrenalin meningkat tajam. Kita juga akan mendapati pemandangan di samping kiri dan kanan seperti gedung, orang, pohon, atau lainnya terlihat seperti obyek-obyek dalam keadaan ikut berlari sangat kencang dan obyek-obyek itu tampak seragam. Pada momen kecepatan, keterperincian dan keunikan di masing-masing obyek seringkali tak terlihat jelas.
Sebagai mantan pengusaha Jokowi pasti tahu semboyan “lebih cepat lebih baik.” Tapi, apakah Jokowi paham bahwa semakin cepat ia bergerak semakin besar kemungkinan ia mendapat resiko?
Dalam konteks pemerintahan di Jakarta, resiko itu antara lain Jokowi potensial abai pada penanganan aneka masalah unik yang ada dan menjadi kekhasan kota besar seperti Jakarta seperti maraknya iklan-iklan yang terpasang bukan pada tempat semestinya hingga fenomena orang-orang yang hidup dalam gerobak yang kerap kita jumpai di jalanan Jakarta?
Masalah kecepatan yang diangkat tulisan ini mungkin berlebihan. Tapi, kendati demikian, hal tersebut tak cukup menjadi alasan untuk kita segera mengubah haluan kembali ke budaya lamban atau lambat. Saat ini yang dibutuhkan barangkali adalah suatu pergerakan wajar dengan visi dan orientasi yang jelas.
Bagi para pemimpin dan calon pemimpin yang sedang atau berkehendak meniru gaya kepemimpinan Jokowi ada baiknya merenungkan ungkapan mahsyur dari salah seorang filosof penting dari Jerman Friedrich Nietzsche: “Be a man do not follow me-but your self!” (Khudori Husnan)
Komentar
Posting Komentar