Langsung ke konten utama

Wajah Janus Puisi-Puisi Berto Tukan Tentang Buku Puisi aku mengenangmu dengan pening yang butuh panadol (Bagian Pertama)


Pengantar

Banyak hal mengherankan  di  kehidupan sehari-hari warga  kota, khususnya Jakarta; orang Jakarta kerap menyebut  mereka  yang baru tiba di Jakarta dari daerah-daerah tertentu di  Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah  dengan sebutan  orang Jawa,  padahal, Jakarta sendiri berada di Pulau Jawa.  Di sini Jakarta  terkesan tampil   sebagai bagian  sekaligus bukan bagian dari Pulau Jawa.

Contoh  lain,  saat  kondangan  di acara nikahan di beberapa daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi,  salah satu kecemasan  yang kerap menghantui  sebagian para tamu undangan adalah kesamaan  gaya busana dan aksesoris yang dipakai  dengan busana yang dipakai tamu undangan lain. 

Di acara pernikahan, tetamu   biasanya selalu ingin tampil beda, rapi,  dan modern, dalam arti mengenakan busana dan aksesoris yang tak ketinggalan jaman. Tapi, pada saat bersamaan, orang-orang ini cenderung  canggung jika  ternyata model busananya  sama dengan yang dipakai  tamu undangan  lain yang juga ingin tampil beda, rapi, modis  dan  modern tentunya.


Kota tak ubahnya  ruang  bagi  rangkaian  paradoks. Paradoks di kota  dengan aneka dimensi, variasi, dan implikasinya,  telah menarik minat  para  penyair  hingga mereka dengan berbekal kepekaan intuisi berupaya mengusut   apa yang ada  dan menggejala di seberang  paradoks kota. Puisi-puisi  Berto Tukan  dalam buku aku mengenangmu dengan pening yang butuh panadol (disingkat amdpbp, Penerbit Anagram, Jakarta, 2021)   termasuk puisi-puisi yang berupaya mengungkap dimensi paradoksal  dari  sebuah kota yang ingin selalu terlihat  modern. 

Berto Tukan mencoba mengusut paradoks kota dengan melacaknya dari  gang-gang sempit kota besar, stasiun kereta,  obrolan warung kopi, kehidupan kos-kosan, ruang publik warga, kawasan padat penduduk, bahasa gaul di kalangan kawula muda, aplikasi-aplikasi di ponsel dan seterusnya  seperti akan kita telisik lebih jauh di bawah. 

 Paradoks Kota dalam Puisi

Jakarta, tak menutup kemungkinan juga kota-kota besar lain di Indonesia,  tampaknya tak bisa dilepaskan dari  paradoks dalam pergaulan sosialnya. Atas nama kemajuan dan pembangunan, semakin tua usia  kota, semakin giat  ia bersolek dengan jenis-jenis tata kota  paling mutakhir dan spektakuler, semata-mata  agar kota selalu terlihat segar dan belia, seperti pernah dipuisikan Agam Wispi (2008:123) saat ia berpuisi tentang Surabaya //Surabaya/ lebih remaja dalam bantingan usia//

Paradoks kota juga  ditangkap   Chairil Anwar dalam sajak Cerita, kepada Darmawidjaja //Di pasar baru mereka/ Lalu mengada-menggaya// “mengada”  sebagai penegasan  otentisitas dalam terang paham  eksistensialisme berjalan beriringan dengan “menggaya,” sebuah pernyataan yang menyiratkan gaya hidup kebanyakan orang kota, yang kerap disebut sebagai kerumunan  atau “crowd.” 

Paradoks juga diamati  Rendra (2010:54) dalam  puisi Rick dari Corona  //(New York mengangkang// Keras dan angkuh// Semen dan baja// Dingin dan teguh// Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan// terdengar musik gelisah// yang tentu saja// tak berarti apa-apa//  Sementara itu, Subagio Sastrowardoyo (1975:116) dalam puisi New York menulis //Ini New York. Pusat Kesenian// Dan segala dosa. Dimana subuh hari// di muka gedung komedi bisa bertemu// tubuh lelaki diam terbaring dengan belati// di dada//   Afrizal Malna menulis dalam puisi berlin proposal (2015:42) //neon dalam isolasi cahaya, dinding membatalkan bangunan//   

Mengalami dan menyaksikan  paradoks di kota yang ia tinggali,  Berto Tukan  sepertinya  juga ikut bergetar hebat. Penggalan puisi Berto Tukan berjudul terik siang hari, ruko lampu hias belum tutup, lelaki memaki yang berbunyi  //cahayacahaya meredup//bagiku // di kota ini//  adalah seumpama// bermain metafora//pada kepergian// tetapi jalur tetap di situ juga// ada kembali pada yang berputar//  menyiratkan kesan  ihwal  adanya paradoks atau  absurditas di kehidupan kota,  yang kemudian ditegaskan lagi  pada  ada kembali pada yang berputar, hal ini  memperlihatkan kehidupan kota yang monoton, berkutat hanya pada itu dan itu  saja, membosankan dan diwarnai cahayacahaya meredup. 

Aneka  jenis hiburan yang berseliweran dan dapat dengan mudah dijumpai melalui smartphone bukannya menghadirkan vitalitas baru bagi kebanyakan penghuni kota,  tapi malah membuat warga  semakin larut dalam kejemuan, malas-malasan dalam laku rebahan. Sementara itu Berto Tukan terus berpuisi //tumbukan besi dan besi// menciptakan tegangan listrik// kilatan api// alih-alih memicu semangat malah //melempar jauh keberadaan// dari kota ini//   Rangkaian paradoks  nikmati Berto Tukan sebagai “seumpama metafora,” hingga mewujudlah  larik-larik puisi.  Menariknya, Berto Tukan menyadari, meski dengan sedikit keraguan,  berbagai keanehan yang terjadi  di kota itu,   “hanya  sementara, bukan?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya