Langsung ke konten utama

Wajah Janus Puisi-Puisi Berto Tukan Tentang Buku Puisi aku mengenangmu dengan pening yang butuh panadol (Bagian Kedua)

 


Puisi Liris Era Disrupsi

 kesekian kali alam menghamba pada

daundaun mengambang di udara bagai perasaan

yang menghilang jejaknya menit ke menit perjalanan

semesta

kulit kita lesap pada batubatu seumpama seekor macan

tutul pada

bungle in the jungle Jethro tull

 

melalui tapaktapak kita mengeja

kehidupan logika pada bebungaan

nestapa berhamburan pada dingin petang hari

 

kuingin jadi awan

kuingin jadi awan

 

sentimental waktu dan udara menyergap siasia

makan siang yang terbuang di kloset

titiktitik cerah bagai pelupaan akan kerja

kita tak lupa ada

kita hanya lupa pada kerja

 

filsafat mati diamdiam atau baru dibuahi pada

menitmenit tol laut terdengar sampai taman nasional

ada dingin yang sekejap di balik punggung seperti

seseorang sedang menatap tetapi kita tak kuasa

tak berani tepatnya

menatap mata di balik kacamata

perasaan menjelma tuhan

 

logika filsafat sekarat di mulut peradaban

memaki dan memaki tanpa menulis kata makian

jiwajiwa kelas menengah mengendap tak kuasa dihilangkan

 

embun turun

kita takut menjelma mooi indie

embun turun

kita takut menjelma romansa kanakkanak

embun turun

meski kita tahu ada psike terganggu

 

wajar sih

begitulah mesin bekerja pada sebatang pohon

yang rubuh karena renta

 

mentahmentah kita makan segala yang distimuluskan

 

mentahmentah kita makan segala yang diremajakan

 

mentahmentah kita hirup udara pegunungan

 

mentahmentah kita berlagak seolah entak kaki

dengan warna tertentu bagai lampu jalanan

 

kita tahu itu tipuan cahaya

kita mengamini tanpa pusing peduli

hanya demi estetika.

 

(Puisi menghunjam sembilu pada hujan semburat embun menyembunyikan sosokmu pada radius kesekian pandangan mata tak berkuasa)

 

Puisi-puisi dalam ampdpb  adalah puisi-puisi Berto Tukan yang ditulis  antara 4 November 2015 sampai dengan 25 Februari 2020, suatu periode yang sering disebut  para cendekiawan, aktivis, hingga politisi sebagai  disrupsi global.  Era disrupsi  meminjam kalimat panjang sastrawan Iwan Simatupang (2004)  adalah “masa yang berlangit penuh mega berarak mendung. Masa dari segala kejadian dan dari segala kemungkinan. Di mana segala nilai dan kaidah tiada bergeseran saja saling berantakan dalam deru yang gegap gempita, yang satu mencoba memagut yang lain.”

Buku kumpulan puisi ampdpb  terbit ketika kebiasaan-kebiasaan baru mulai bermunculan menggantikan kebiasaan-kebiasaan lama. Tradisi baru  menggantikan tradisi lama. Mukim di  planet Mars  pelan tapi pasti  akan menjadi kenyataan,  pandemi global selalu mengintai,  orang-orang mudah terkenal dan mudah pula dilupakan dalam waktu cukup  singkat  sesingkat durasi  TikTok, Reels, atau Short. Era disrupsi ini ditandai oleh fenomena ketika //semua kata// menjelma perusahaan// di era demam// start up// (Berto Tukan, Puisi pada malam ketika puisi adalah syair).

Puisi-puisi Berto Tukan dalam ampdpb juga lahir  di abad informasi yang ditandai oleh  merosotnya pengetahuan  menjadi  berita,  kegaduhan  gampang menyeruak dan menyebar,  informasi dalam berbagai varian membanjiri keseharian, menerobos kehidupan personal  lalu  meninggalkan jejak di ruang kognisi sembari  memberangus ruang   interpretasi atau refleksi kritis, menyitir puisi Wiji Thukul berjudul Kota (2000:86), //di kota yang sibuk ini //hidup jadi toko serba-otomatis// sulit terharu lupa meditasi// 

Informasi   serupa  jaring laba-laba  dengan kemampuan mengendalikan  individu yang hanya  bisa pasrah menghadapi  lalu  mereproduksi dan terkadang ikut mengabarkannya. Berto Tukan berpuisi  //logika filsafat sekarat di mulut peradaban// memaki dan memaki tanpa menulis kata makian// jiwajiwa kelas menengah mengendap tak kuasa dihilangkan//

Meski demikian, informasi adalah bagian dari pengalaman manusia, dalam artian informasi  tidak bersifat ekstrinsik atau  berada di luar  individu dan masyarakat. Informasi  juga bermuasal dari pengalaman manusia itu sendiri. Ini berarti, informasi telah mengalami apa yang disebut dalam khazanah pemikiran Marxisme sebagai  reifikasi; informasi terlempar  ke luar dari diri individu dan menjelma  obyek  otonom,  tercabut  dari  kodrat dan asal-usul sosialnya. Informasi disajikan dalam sebuah  template  yang seragam dengan kecenderungan  membatasi struktur pengalaman  individu  terhadap dunia.

Di era banjir informasi yang dipicu media sosial, individu  seperti tidak berdaya  melampaui dirinya sendiri  untuk melakukan pemulihan sudut pandangan komunitas  tertentu yang menjadi dasar atau fondasi dari kehidupan individual. Keakraban dan kenyamanan  di media sosial, termasuk grup Whatsapp, belum tentu akan menciptakan keakraban pula di kehidupan sehari-hari, sebab, media sosial sekadar kumpulan   individu yang terpisah-pisah dan   terlepas  dari perjumpaan di dunia nyata.

Internet telah memberikan manfaat luar biasa tapi pada saat bersamaan ia juga menyebabkan  kehidupan sehari-hari  terputus dari pengalaman langsung dengan manusia-manusia konkret lain. Dari sudut ini, media sosial memungkinkan terciptanya  sikap asosial karena mereduksi kompleksitas pertemanan dan hubungan yang dapat diidentifikasi dengan  jelas dan terpilah. Dalam ungkapan puitis Berto Tukan //embun turun//  kita takut menjelma mooi indie// embun turun// kita takut menjelma romansa kanakkanak//  embun turun// meski kita tahu ada psike terganggu// wajar sih// begitulah mesin bekerja pada sebatang pohon// yang rubuh karena renta//

Mereka yang terbiasa berpikir ketat dan  serius  barangkali akan menemukan kesulitan saat  mencoba menyesuaikan perangkat konseptual yang dimiliki untuk  menyoroti informasi-informasi yang berseliweran dengan amat cepat di abad informasi. Kesulitan menyesuaikan diri ini menimbulkan ketegangan yang berdampak  pada cara-cara seseorang  dalam berkomunikasi. Kuasa  informasi   pada gilirannya mereduksi  kemampuan  mengkomunikasikan pengalaman sehari-hari  secara lebih mendalam seperti diratapi Berto Tukan/ / filsafat mati diamdiam atau baru dibuahi pada// menitmenit tol laut terdengar sampai taman nasional// ada dingin yang sekejap di balik punggung seperti// seseorang sedang menatap tetapi kita tak kuasa// tak berani tepatnya// menatap mata di balik kacamata// perasaan menjelma tuhan//

Jika puisi kita pahami sebagai modus komunikasi seorang penyair terkait  apa yang dia dengar, lihat dan rasakan, maka puisi-puisi Berto Tukan adalah jenis puisi  yang terpapar perubahan besar dalam struktur pengalaman seiring terjadinya perkembangan zaman, seperti dijabarkan di muka.  Berto Tukan  berusaha  mentransendensikan   perubahan-perubahan  lingkungan di sekelilingnya melalui    puisi.  

Intimitas dengan budaya urban membuat Berto Tukan terpana karena pengalaman dalam kota besar ternyata sangat fragmentaris,  peristiwa-peristiwa  partikular dan unik tercerabut dari konteks tradisi yang melatar belakanginya   hingga mengakibatkan  lahirnya   perbedaan cara memahami  dan  memandang realitas yang pada akhirnya berdampak pada cara berkomunikasi.

Berto Tukan berusaha menerangkan aspek-aspek krusial di era informasi  berikut tahap-tahap transisionalnya, melalui  puisi yang mengambil  pola penulisan  berbeda dari para penyair sebelumnya. Sementara  para penyair lain menuliskan puisi-puisinya secara  santun, tertata rapi, dan harmonis, Berto Tukan menuliskan puisi-puisinya dengan  urakan, “semau gue,” dan tanpa mempertimbangkan kenyamanan hati para pembaca. 

Kata Berto Tukan// mentahmentah kita makan segala yang distimuluskan//mentahmentah kita makan segala yang diremajakan// mentahmentah kita hirup udara pegunungan// mentahmentah kita berlagak seolah entak kaki// dengan warna tertentu bagai lampu jalanan// kita tahu itu tipuan cahaya// kita mengamini tanpa pusing peduli// hanya demi estetika//

Lewat cara pengucapan puisi yang berbeda, Berto Tukan  secara sadar  sedang mengajak pembaca memainkan jenis permainan petak-umpet atau batu, gunting, kertas, yang biasa dimainkan kaum bocah di waktu luang, Berto Tukan menulis  //menyembunyikan segala asa pada ketiak malam// menyembunyikan segala rasa pada dingin malam// … //menyembunyikan maksud pada nada// menyembunyikan maksud pada bunyi// (Puisi pohon randu ditebang sore tadi, burung malam sembunyi di rantingnya, gak ada tempat ngelipir)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya