Wajah Janus Puisi-Puisi Berto Tukan Tentang Buku Puisi aku mengenangmu dengan pening yang butuh panadol (Bagian Ketiga)
Menghidupi Kekacauan
seorang
lelaki tua melihat ke luar jendela
dunia
meninggalkannya berjalan tetatih
lengan
bajunya disingsingkan
seperti
pesan di lagu perjuangan
kala
itu
waktu
membawanya melaju ke depan terlalu cepat
waktu
menuntun dunia di luarnya melaju dan melupakan
dirinya
seorang
lelaku tua memandang ke luar jendela
jendela
bergerak, metropolitan bergerak
gedunggedung
bergerak
jembatanjembatan
bergerak
istilahistilah
bergerak
suarasuara
bergerak
cahayacahaya
bergerak
kenangankenangan
bergerak
seorang
lelaki tua memandang ke luar jendela
menyusun
kenangan, bertahuntahun mencumbui
jalur
itu
dunia
kini sudah berganti rupa
pun
pula rupa lelaki tua
perhentianperhentian
berlalu
begitu
saja
perhentian
pun
bahkan
bergerak!
ia
mengeja istilah baru
humi
…
lunid
…
lumid
…
luminal
…
diri?
gempa
dan tsunami, lorelindu
ia
lupa
kaki
kanannya di atas bangku
tangannya
pada lutut
lemah
barangkali
rheumatic
asam
urat
asam
lambung
halhal
lumrah akhirakhir ini
hatihati
pintu sebelah kanan akan dibuka
dari arah kedatangan kereta
lelaki
tua terus saja memandang ke luar jendela
ia
teringat pada gaya
dari
masa lalu
yang
kini
entah
di mana
(Berto
Tukan, Puisi seorang lelaki tua di atas kereta yang melaju tersendatsendat)
Dalam
khazanah pemikiran Barat, modern
(‘modern’ berasal dari kata Latin moderna yang artinya sekarang,
baru, atau saat kini) selain sering
diartikan sebagai subyek yang terpusat
pada rasio seperti pernah digemakan bapak filsafat modern Rene Descartes, juga terhubung erat dengan pelbagai anasir di jalanan kota besar.
Menjadi modern, demikian Marshall Berman dalam karangannya sebagai respons
untuk Perry Anderson, Sign in the Streets (2017) pernah menulis, adalah mengalami secara personal kehidupan
sosial sebagai sebuah ‘maelstrom,’ semacam kekacauan, disorder atau mungkin lebih tepat, disrupsi.
Menurut
Marshall Berman bersikap modern berarti
berupaya menemukan sebuah dunia yang dihidupi seseorang dalam bayang-bayang
disintegrasi dan ketegangan untuk
menemukan pembaruan-pembaruan. Mereka
yang gugup dan gagap menghadapi gelombang modernisasi akan tertinggal seperti
seorang lelaki tua dalam puisi Berto Tukan; //seorang lelaki tua melihat ke
luar jendela// dunia meninggalkannya berjalan tetatih// lengan bajunya
disingsingkan// seperti pesan di lagu perjuangan// kala itu// waktu membawanya
melaju ke depan terlalu cepat// waktu menuntun dunia di luarnya melaju dan
melupakan// dirinya//
Modernitas sendiri
tidak bisa dilepaskan dari adanya permasalahan
dan ketakutan, ambiguitas dan kontradiksi. Aspek-aspak ini inheren dalam modernitas oleh sebab
itu, suka atau tidak suka, masalah dan
ketakutan, ambiguitas dan kontradiksi harus
dihidupi dan dijalani secara bersamaan agar tetap terlibat
dengan alam atau lingkungan sekitar, Marshall Berman mengutip pendapat Karl Marx, “segala yang solid menguap dalam
udara” (all that is solid melt into air). Lugasnya, menjadi seorang modernis adalah
menjadikan diri kerasan atau
nyaman dalam arus-arus pusaran
"maelstrom."
Sementara itu,
tujuan dari modernisme tak lain adalah
memberikan pria dan wanita modern kekuatan untuk mengubah dunia yang secara
terus-menerus mengubah mereka, dengan cara demikian
mereka menjadi subyek sekaligus
obyek modernisasi. Mondernisme, kata Marshall
Berman, “ masih sedang terjadi, baik di jalan-jalan maupun di
jiwa-jiwa kita, dan bagaimana pun ia masih memiliki kekuatan imajinatif
untuk menolong kita membuat dunia ini menjadi miliki kita.”
Kekuatan
imajinatif membuat masyarkat modern mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman dengan mengeja kode-kode yang diberikan lingkungan di sekitarnya, mengacu pada puisi Berto Tukan
// dunia kini sudah berganti
rupa// pun pula rupa lelaki tua//
perhentianperhentian berlalu// begitu saja// perhentian pun// bahkan// bergerak!// ia mengeja istilah baru// humi …// lunid …//
lumid …// luminal …// diri?// gempa dan tsunami, lorelindu//
Kehidupan modern
juga identik dengan kerumunan atau crowd. Mengacu pada percikan-percikan pemikiran dan
puisi-puisi penyair besar Prancis Charles Baudelaire, seperti dikemukakan Marshall
Berman, kerumuman lekat dengan passion
manusia, intiligensia, aspirasi, imajinasi, kompleksitas spiritual dan
kedalaman. Pada saat bersamaan, kerumunan juga lekat dengan penindasan,
penggusuran, kemacetan, kerusuhan, pengusiran, kesengsaraan, pendeknya,
brutalitas kehidupan sehari-hari yang menyiratkan ancaman pemusnahan.
Akan tetapi, orang-orang
di kerumunan menggunakan dan
merentangkan kekuatan vital, otak, visi serta keberaniannya, untuk menghadapi
dan melawan pelbagai kengerian di balik ancaman-ancaman pemusnahan tersebut.
Rutinitas masyarakat modern yang dilakukan sepanjang waktu, kaki menjadi kepala dan kepala menjadi
kaki, siang dan malam, menyibak apa yang
pernah disebut Baudelaire sebagai “heroisme kehidupan modern.”
Seniman, termasuk
penyair, adalah bagian dari kerumunan. Para
penyair terperangkap dalam
kekacauan yang sama seperti dialami
kebanyakan orang kota (modern). Tapi, penyair berbeda dengan kebanyakan orang, pasalnya
seniman dan penyair berkemampuan melakukan puitisasi atau
estetisasi berbagai kekacauan yang mengepungnya. Salah satu judul puisi Berto
Tukan secara eksplisit menebut kerumunan sekerumunan orang yang bergosip di
warung kelontong pada siang 33 derajat celcius.
Para penyair
memberi sebuah bentuk yang ekspresif,
memantik, menyalakan dan menggemakannya,
hingga berpotensi membantu orang lain
mengarahkan orientasi dan visi hidup, menginjeksikan kesadaran akan adanya perasaan senasib sepenanggungan
dan dengan demikian membuat
orang-orang dapat bertahan dan
berkembang di tengah
kekacauan, termasuk kekacauan
yang timbul di era informasi.
Pada puisi-puisi amdpbp
terbaca bagaimana petualangan
penyair dalam bersentuhan dengan berbagai
aspek penting pembentuk kultur
urban yang relatif baru ia jumpai. Sang
penyair melihat segala hal yang melingkupinya dari sudut pandang mata anak
kecil sehingga apa yang disaksikannya
terasa sebagai sesuatu yang baru, berkilauan, dan menarik perhatian. Seniman, termasuk penyair,
dan pemikir adalah para individu yang
terasing dalam masyarakat kerumunan,
sebuah fenomena yang seringkali disebut
sebagai “kerumunan yang kesepian.”
Dengan
membayangkan diri sebagai “seorang lelaki tua” penyair kita Berto Tukan menulis //seorang
lelaki tua memandang ke luar jendela// jendela bergerak, metropolitan
bergerak// gedunggedung bergerak// jembatanjembatan bergerak// istilahistilah
bergerak// suarasuara bergerak// cahayacahaya bergerak// kenangankenangan
bergerak//
Komentar
Posting Komentar