Langsung ke konten utama

Wajah Janus Puisi-Puisi Berto Tukan Tentang Buku Puisi aku mengenangmu dengan pening yang butuh panadol (Bagian Terakhir)

 


Sepanjang Jalan Kenangan

tersentak bunyi kipas angin berputar

pening panadol terkurung di meja baca

 

perihperih kecil kerentaan

kerentaan hidup virusvirus

bersama mata terkantukkantuk

 

lelah pada helaan ini

aku ingin mengajakmu

 

malam merayu untuk meliris

kita ikut selera tua

berharap kolaborasi

suatu saat

berbeda

 

itu dan itu

 

doa tersia-sia

rumah ibadah setiap dua rw satu

 

ini dan ini

 

barangkali malam larut

bus transjakarta duapuluh empat jam

 

dan beberapa langkah kecil

 

(Puisi, aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol)

 

Membaca puisi aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol sulit untuk tidak merasakan adanya keterkejutan dan kenyerian  yang dialami   penyairnya  dalam kegiatan membaca dan mengenang  hingga butuh bahu kawan untuk bersandar //tersentak bunyi kipas angin berputar// pening panadol terkurung di meja baca// perihperih kecil kerentaan// kerentaan hidup virusvirus// bersama mata terkantukkantuk// lelah pada helaan ini// aku ingin mengajakmu//

Bagi mereka yang terbiasa membaca teks, dalam arti yang luas, kegiatan membaca tak ubahnya sebuah kutukan. Membaca menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari   pembaca yang tidak bisa   ditolak. Bagi seorang pembaca saat mendapat sesuatu yang dapat dibaca, struktur-struktur  apriorinya  langsung bekerja sedemikiran rupa melakukan pembacaan.  

Membaca akan menjadi sebuah kegiatan   menyakitkan apabila  realitas yang dibaca terbilang asing, sangat sukar dipahami dan berbeda dengan cakrawala berpikir  pembaca. Menyikapi situasi ini, sebagian pembaca akan terus bertahan tapi tidak sedikit yang mencampakan bacaan lalu mencari bahan bacaan-bacaan lain.

Hubungan  pembaca dengan bacaan tak ubahnya sebuah narasi  penaklukan. Pembaca yang berhasil memahami  bacaan, akan dianggap  sukses  mencerna dan menguasai  bacaan. Sebaliknya, pembaca yang gagal memahami bacaan akan dinilai tidak sanggup menaklukan bacaan hingga akhirnya  bacaan tampil sebagai pemenang, atau setidak-tidaknya, menjadi bacaan tanpa tanding. Cukup sering terjadi bacaan yang berhasil dikuasai dan dipahami pembaca, malah  mempengaruhi dan membingkai cara berpikir, wawasan intelektual,  dan cara pandang pembaca mengalami, mengingat, dan  melihat sesuatu.

Masalah lain muncul ketika  bacaan yang terlempar di hadapan pembaca  dan  berhasil dibaca pembaca dengan susah payah adalah bacaan  jenis baru yang  asing dan  ganjil. Mengahadapi situasi seperti ini sekurang-kurangnya ada tiga sikap yang biasa diambil pembaca yaitu menerima, menyangkal, dan menarik diri.

Menerima berarti pembaca melakukan rekonstruksi hasil-hasil  bacaan untuk kemudian merumuskan hasil-hasil bacaan dengan gaya sendiri; menyangkal berarti mendekonstruksi  keseluruahn argumen yang terbangun dalam bacaan demi menegaskan posisi pembaca sendiri, terakhir, menarik diri, berarti mengesampingkan muatan bacaan dan pada saat bersamaan menjadikan pokok soal yang terdapat dalam bacaan tersebut untuk kemudian dikembangkan sendiri sesuai dengan maksud-maksud pembaca sendiri.

Dari potongan puisi yang berbunyi //malam merayu untuk meliris// kita ikut selera tua// berharap kolaborasi// suatu saat// berbeda//  itu dan itu// terlihat bagaimana penyair menjadikan sesuatu yang meliris sebagai yang sedang dibacanya dengan penuh keraguan namun masih terus saja dibaca.

Berangkat dari keraguan itu, penyair akhirnya memutuskan  untuk mengikuti selera tua, dalam arti meliris,  bahkan berharap untuk bisa berkolaborasi tapi dengan maksud untuk menegaskan posisi   meliris yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud penyair bukan lalu mengarahkan diri pada sesuatu yang sakral sebagaimana dituliskan doa tersia-sia melainkan mencari dan berusaha menemukan langkah kecil di jalanan pada bus transjakarta duapuluh empat jam.

Puisi aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol ini  paralel dengan puisi sekerumunan orang yang bergosip di warung kelontong pada siang 33 derajat celcius yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:

kita memulung remah-remah masa lalu

yang jatuh ada batubatu

 

batubatu waktu terhempas perubahan zaman

 

kita berpegangan

bergelantungan

 

pada batubatu

 

angin segala penjuru

 

yang ada aroma amir hamzah pada nafas kita

mengelanai kenangankenangan

sebagaimana dikatakan yang mati bunuh diri itu

bagai kilatan sekejap di udara malam

 

ya ada aroma amir hamzah pada nafas kita

berhamburan pada remahremah masa lalu

 

awas, sedikit saja tapi, pada masa kini

 

ramal, lemah saja tapi, pada masa depan

 

ada aroma anakk negeri awal abad dua puluh

                        pada keringat kita

tak tahu juga apa guannya

sedikit lagi pun terhempas deodoran  masa kini

 

gelombanggelombang

bukan lagi angin berbalik arah

duduk diam menunggu sinyal yang baik

terbang mengikuti angin

angin mana saja

 

kita bukan pemilih

 

pilihan sebentuk kemewahan

berjalanjalan pada kenangan masa lalu.

 

 

Penggalan puisi //ya ada aroma amir hamzah pada nafas kita//berhamburan para remahremah masa lalu// awas, sedikit saja tapi, pada masa kini// ramal, lemah saja tapi, pada masa depan//  mengacu pada paparan tentang hubungan antara pembaca dan bacaan yang telah diterangkan di atas, menunjukan bahwa penyair membaca gaya berpuisi Amir Hamzah dan tidak bisa lepas dari gaya berpuisinya. Tidak ada pilihan lain kecuali mengikutinya //kita bukan pemilih// pilihan sebentuk kemewahan// berjalanjalan pada kenangan masa lalu//

Meski tidak ada  pilihan lain kecuali mengikuti gaya berpuisi Amir Hamzah, Berto Tukan  masih berupaya menemukan  perbedaan   dengan Amir Hamzah dan jalan   untuk mendapatkan perbedaan itu adalah dengan cara menyusuri, meminjam judul lagu jadul,  sepanjang jalan kenangan, seperti berulangkali Berto Tukan  tegaskan termasuk dalam puisi pada sebuah tempat kemacetan datang tibatiba pada pukul satu lebih dua menit yang potongannya berbunyi  //pada orangorang kita berharap// panjang umurlah kenangan//

Bagaimana dari laku membangkitkan kenangan  dapat memungkinkan terjadinya sebuah perbedaan mendasar dalam hal penulisan puisi? Jawaban sepertinya muncul dari pergesekan penyair dengan pengalaman sehari-hari yang dihadapainya saat ini.

Berto Tukan sebagai penyair adalah penyair yang secara intensif dan antusias menjelajahi pelosok kota dengan budaya kerumunannya.  Berto Tukan terlibat dalam  kekacauan yang sama seperti  dialami kebanyakan orang kota (modern) dalam hiruk-pikuk keseharian yang penuh kemacetan, kebisingan,  lugasnya kekacauan. Tapi, Berto Tukan  membedakan diri dengan kerumunan  lantaran ia berkemampuan melakukan puitisasi  terhadap  berbagai kekacauan yang menyergapnya.

Kekacauan khas perkotaan barangkali  tak Berto Tukan temukan  di kampung halamannya  di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Berto Tukan terpukau, tertekan, terasing, bahkan syok saat harus mengalami dan menyesuaikan diri dengan berbagai kekacauan hidup yang relatif baru ia temukan di kota;

Kokok ayam jantan dan kicau burung di pagi hari, berganti  teriakan orang-orang menjajakan dagangan, dari mulai tahu bulat digoreng dadakan sampai tahu Bandung, tempe daun, dan ayam bumbu; lalu disusul  bisikan mamang-mamang sol sepatu menawarkan jasa dan baru saja suara mamang-mamang sol  sepatu berlalu,   penjual bakso  memukul mangkok dengan sendok menciptakan suara yang khas, selesai keriuhan dari pedagang keliling irama dangdut koplo, tembang kenangan hingga rock klasik, saling susul menyusul lalu  giliran berita kriminal dan sinetron di televisi ambil bagian.

Sejauh mata memandang saat menyusuri lorong kota,  iklan-iklan  tertempel di mana-mana termasuk di tiang listrik, dari sedot wc sampai kursus bahasa Inggris, onggokan sampah menyumbat sungai dan selokan, pemulung mengorek-ngorek sampah, para wanita berbagai usia dan status, menjajakan diri menawarkan kenikmatan dalam berbagai varian, judi online mewabah;  

Kesiur angin yang membawa bau  laut atau tanah basah sehabis hujan  di kampung halaman yang khas itu, berganti dengan aroma parfum SPG atau  ibu-ibu yang berduyun-duyun ke tempat pengajian memakai seragam, hingga  bau kotoran  menyeruak dari septic tank yang hampir penuh. 

Pada saat bersamaan, di kota juga berdiri mall-mall megah dengan pendingan ruangan, wangi, bersih, rapi dan ditopang  tata cahaya  lampu listrik berkekuatan ribuan watt  hingga menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan dan spektakuler, apartemen dan hotel-hotel berkelas internasional, kafe,  kantor dan kampus-kampus kelas menengah yang wah, dan lain sebagainya ada di kota.

Aneka kontras itu hadir nyata di depan mata penyair dan harus dihadapi tak bisa dilawan kecuali  coba dicerna  //mentahmentah kita makan segala yang distimuluskan// (Puisi menghunjam sembilu pada hujan semburat embun menyembunyikan sosokmu pada radius kesekian pandangan mata tak berkuasa)

Secara psikologis, manusia memiliki semacam mekanisme  pertahanan diri pun halnya penyair.  Persentuhan Berto Tukan dengan kultur urban melibatkan penyaringan-penyaringan yang ketat dan keras. Mengikuti alur berpikir Walter Benjamin dalam On Some Motifs of Baudelaire (2006), berbagai rangsangan dari luar  menjelma  pengalaman  yang dirawat sepanjang masa terutama ketika  pengalaman itu dirasa menyenangkan,   sebaliknya,  bagi pengalaman yang dirasa memalukan,  tidak menyenangkan, dan bersifat traumatik,  menjadi  rahasia.

Dua jenis pengalaman ini, melahirkan dua jenis ingatan,  pertama, ingatan sebagai sekumpulan data  yang dapat kita panggil sewaktu-waktu dalam apa yang kita sebut kenangan  lalu  kedua ingatan yang terisolir atau tersembunyi, kristalisasi dari pengalaman-pengalaman tertentu yang traumatik. Dalam pembacaan saya, dari interaksi antar  jenis-jenis ingatan dan pengalaman inilah puisi-puisi Berto Tukan terlahir.

Akhirul kalam

Puisi-Puisi Berto Tukan menyajikan realitas urban hari ini lengkap dengan pernak-pernik dinamikanya tapi ia hanya sedikit saja mengacu pada masa lalu // kita memulung remah-remah masa lalu//  yang jatuh ada batubatu// batubatu waktu terhempas perubahan zaman// kita berpegangan// bergelantungan//  pada batubatu//

Berbicara tentang kenangan, yang sangat sering diucapkan  Berto Tukan di puisi-puisinya,  Amir Hamzah (1967:98) ternyata juga pernah mengungkapkan dalam salah satu puisinya   Barangkali di mana dia menulis// Mari menari dara asmara// Biar terdengar swara Swarna// Barangkali mati di pantai hati// Gelombang kenang membanting diri//

Kenangan dalam narasi puitis Amir Hamzah, sepertinya hadir sebagai sesuatu yang menyudutkan, memperlemah, dan membuat nelangsa. Sementara itu, pada Berto Tukan, kenangan, dengan melibatkan proses pengalaman dan pengingatan sedemikian rupa saat merespons  kultur urban zaman kiwari,  harus dirayakan meski sungguh menyakitkan, pasalnya,  mengenang  memiliki dimensi penyelamatan dan pemulihan dari syok.

Menyusuri  sepanjang jalan kenangan sebgai upaya  pemulihan dan penyelamatan bukanlahlah sebuah perjalanan bebas hambatan tapi  penuh risiko dan marabahaya. Risiko yang terlihat di puisi-puisi Berto Tukan adalah saat ia  menganggap memiliki nilai puitis berbagai unsur pencapaian rezim kapitalis  seperti  perabotan, produk, penyebutan merek, jenis-jenis aplikasi, dan seterusnya, sebuah realitas yang dalam khazanah sejarah pemikiran filsafat dan estetika Barat,  termasuk Walter Benjamin dan Charles Baudelaire, disebut sebagai phantasmagoria.

Walhasil, dari sudut pandang pemikiran tentang phantasmagoria , penyair Berto Tukan hadir tak ubahnya seorang mata-mata yang dengan gigih mencari dan menemukan berbagai informasi berharga dari pihak musuh dalam rangka mencari titik-titik kelemahan musuh.  Tapi, pada saat bersamaan  ia  rentan  dicap sebagai pengkhianat karena mengumbar berbagai merek-merek tertentu, yang nota bene adalah anak kandung dari rezim kapitalistis  yang amat hegemonik dan eksploitatif. Pada titik inilah  puisi-puisi Berto Tukan, memiliki peran ganda tak ubahnya wajah Janus.


Khudori Husnan, penekun  kajian budaya. 

 

Daftar Bacaan

Avelling, Harry (editor dan penerjemah), Contemporary Indonesian Poetry, University of Queensland, Australia, 1975.

Berman, Marshall, Modernism in the Street, A Life and Times in Essays, Verso, London, 2017.

Baudelaire, Charles, The Painter of Modern Life dalam Vincent B. Leitch (ed), The Norton Anthology of Theory and Criticism, New York, 2001.

Benjamin, Walter, The Writer of Modern Life, Essays on Charles Baudelaire, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Cambridge, 2006,

Malna, Afrizal, Berlin Proposal, Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung, 2015.

Rendra, WS., Stanza dan Blues, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2010.

Simatupang, Iwan, Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air, Penerbit Buku Kompas, 2004.

Thukul, Wiji, Aku Ingin Menjadi Peluru, Kumpulan Puisi, Indonesia Tera, 2004.

Tukan, Berto, aku mengenangmu dengan pening yang butuh Panadol, Penerbit Anagram, Jakarta, 2021.   

Yulianti, Rhoma Dwi Aria & M. Dahlan, Muhidin (penyusun), & Gugur Merah, Sehimpunan Puisi Lekra – Harian Rakjat (1950-1965), Merakesumba, Yogyakarta, 2008,

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya