Sekumpulan puisi dalam 77 Sajak Tirakat mengingatkan saya pada puisi-puisi dari para penyair meditatif yang pernah sangat berpengaruh dalam jagat perpuisian Indonesia pada periode 70-an seperti Sutardji Calzhoum Bachri, Danarto, dan terutama sekali almarhum Hamid Jabbar. Penyair yang saya sebut terakhir kebetulan saya saksikan sendiri peristiwa wafatnya yakni saat beliau membacakan puisi sambil diiringi alunan musik blues di salah satu pelataran kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penghujung Mei 2004.
Tentu semua penyair adalah meditatikus ulung tapi yang saya maksud penyair meditatif ialah penyair yang karya-karyanya, dengan aneka cara pengucapan, mengisyaratkan seruan sadar pada laku penziarahan, penjelajahan, perjalanan spiritual, pendeknya seruan untuk melakukan //perjalanan panjangmu/yang mengalirkan ribuan kisah/lalu sayup kudengar bibirmu berucap “bacalah”// atau untuk // terus memanggilMu.// (Tirakat 57)
Membaca 77 Sajak Tirakat saya terasa diajak menaiki sebuah bukit yang kendati menanjak, berbatu, dan kering tetapi tetap tak membuat saya berkeringat. Di atas bukit, sementara God Bless menemukan sebuah huma (melenceng sedikit, hehehe), saya sebaliknya semata menemukan kehampaan dan kesunyian (Tirakat 33) dan lalu “tersesat” (Tirakat 74) sehingga //tak tahu arah kembali// (Tirakat 68).
Topik tentang “ketersesatan” barangkali adalah kekhasan dari puisi-puisi Zabidi Zay Lawanglangit. Topik ini boleh jadi merupakan elemen penting pembeda puisi-puisi mas Zay penyair termasuk salah seorang sesepuh di Sastra Reboan Bulungan Jakarta Selatan dengan puisi-puisi meditatif yang khas angkatan 70-an itu.
Sekian dari saya
Khudori Husnan
matur nuwun kang atas pembacaannya...
BalasHapus