Sex Pistols; Sumber:www.morrisonhotelgallery.com |
Pemberitaan tentang para Punker (sebutan bagi para pemuja dan pemeluk teguh Punk) yang digunduli dan diceburkan ke kolam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam oleh polisi syariah mendapat perhatian luas tak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Tak kurang grup musik beraliran Punk dari Amerika Serikat Rancid juga mengajukan keprihatinannya (di sini beritanya). Ada apa dengan Punk?
Tulisan ringkas ini berupaya secara sekilas memahami Punk; mengapa ia begitu cepat menarik perhatian kaum muda serta mengapa pihak-pihak tertentu merasa sangat ketakutan dan cenderung phobia dengan Punk?
Punk, meski dicap notorious (beken lantaran riwayat yang buruk), memainkan peran khas dalam pergaulan sosial Amerika dan Eropa periode 1970-an. Dampak yang ditimbulkan Punk yang membawa bara perlawanan itu tak hanya berpengaruh pada dinamika industri musik sebelum dan sesudah kemunculan Punk tapi sekaligus bermetamorfosis menjadi mimpi buruk panjang bagi kemapanan tatanan sosial dan politik.
Punk sebagai pertanda sosial dapat ditelusuri muasalnya pada kiprah kaum muda yang tergolong ke dalam pelbagai kelompok musik maupun penyanyi solo pra-1976 di antaranya Television, Ramones, Patti Smih dan lainnya. Mereka, kelompok musik atau pennyayi solo itu, biasa berbaur di klub CBGB New York. Pada perkembangannya, aksi dan gagasan bermusik mereka lewat sosok bernama Malcolm Mc Laren diinjeksikan ke kawasan Inggris Raya.
Punk merajalela di Inggris disokong situasi sosial politik (a) angka pengaguran di Inggris yang mencapai tingkat paling kritis sepanjang sejarahnya; (b) menguatnya garis politik konservatif sayap-kanan seperti kelak dapat dilihat dari naiknya Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris pada 1979; (c) mengganasnya peperangan di Irlandia Utara (Peter Wicke, 1990). Dari segi ini Punk dapat digolongkan sebagai isyarat atau indikasi dari sebuah tatanan sosial yang tengah mengidap persoalan sosial yang akut.
Atas dasar latar historis tersebut Punk di Inggris memperlihatkan tabiat berbeda—bahkan berlawanan—dengan yang terjadi di Amerika Serikat yang cenderung menekankan aspek pendalaman di bidang kesenian (Punk diparalelkan dengan aliran dan gerakan kesenian Dada dan Surrealisme). Punk, disimak dari pemikiran ini, adalah tanggapan kritis dan radikal atas situasi sosial yang gamang.
Di Inggris, perkembangan Punk diarak oleh, di antaranya yang terkemuka, John Lydon alias Johnny Rotten, Steve Jones, Paul Cook, Glen Matlock dan Sid Vicious. Sekomplotan anak muda ini secara musikal semula semata diikat oleh kemuakkan sama atas kuasa musik rock era 60-an dan 70-an seperti diucapkan The Beatles dan Rolling Stones.
Di mata Lydon, ekspresi musik band-band era 60-an itu “mirip suara garuk-garuk yang mengerikan”. Tapi menarik bahwa Punk menjunjung tinggi musik reggae alasannya bagi mereka reggae sangat mencintai suara-suara alamiah seperti suara-suara langsung yang dihasilkan klakson, tangisan bayi, dan siulan burung.
Sementara itu, maklumat terbaik kegiatan bermusik Sex Pistols tercermin dalam satu-satunya album studio mereka Never Mind the Bollocks, Here’s The Sex Pistols dirilis pada 16 Oktober 1977. Sejak album ini, yang memuat juga Anarchy in the UK (videonya), hanya dalam beberapa bulan Punk kian dinobatkan tak saja sebagai kategori baru dalam bermusik tapi sekaligus sebagai subkultur yang sangat agresif dan sangat cepat menarik perhatian kaum muda. Bersama Sex Pistols ekspresi musik menjelma peristiwa sosial.
Siasat Spontanitas Punk
Sangat sulit merumuskan dalam suatu rumusan tunggal dan definitf tentang Punk. Terkadang kata Punk disinonimkan dengan kotoran, sampah, dan olok-olok (Peter Wicke, 1990). Tapi, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memahami Punk ialah dengan mengenali wataknya.
Perihal watak Punk Dick Hebdige (1979) menerangkan “tak ada subkultur yang menghendaki kekuatan lebih menyeramkan daripada Punk dalam ikhtiarnya menceraiberaikan lingkungan sosial yang diterima begitu saja baik lewat bentuk-bentuk proses normalisasi—proses pewajaran—maupun untuk membubarkan dirinya sendiri melalui hujatan yang berapi-api.”
Punk, kata Hebdige, mencerminkan noise dan bukan sound. Kesan serupa diberikan sejarawan Jon Savage (1991) yang menyebutkan “sebagian besar orang yang hidup dan tersentuh oleh pembicaraan tentang Punk ia terlibat dalam guncangan perasaan (shock) sesungguhnya.”
Punk, mengacu pada pendapat-pendapat di atas, menunjuk pada perayaan akan sesuatu yang menyempal jauh dari pusat budaya arus utama (mainstream). Punk tak hanya mengejek, memaki, dan merubuhkan tatanan sosial dengan kecenderungan dasar menguasai, mengatur, melakukan normalisasi, serta menindas, tapi di saat bersamaan Punk juga mencemooh dirinya sendiri. Ibarat sebilah pisau belati Punk menikam tak hanya ke luar tapi juga sekaligus menghujam ke jati dirinya sendiri.
Maksudnya, berbeda dengan gerakan-gerakan serupa yang mendahuluinya, misalnya hippies era 60-an berikut rancangan budaya tandingannya, Punk tak memiliki seperangkat agenda politik semacam itu kecuali laku perlawanan, chaos, sembari mengibarkan panji-panji penyangkalan total dan menyuarakan kesadaran politik berbasis pertentangan kelas-kelas sosial.
Layaknya suatu peperangan Punk juga memiliki siasat dalam menghadapi lawan-lawannya di medan laga. Siasat itu terkenal dengan semboyan ‘doing it yourself’ dan there’s no future! (Craig O’Hara, 1999) yang didasarkan pada laku spontanitas atau kesertamertaan dalam berbagai kegiatannya.
Di balik tarikan nafas spontanitasnya, Punk sebetulnya sedang menyuntikan nilai-nilai artistik dan kultural pada aneka benda dan kegiatan keseharian tapi oleh pihak yang dominan secara sosial dan politik terlanjur dicap usang, banal, dan marjinal. Contohnya terlihat dari asesoris dan busana yang dipakai para Punker seperti pakaian dengan warna-wara menyolok, gelang dan kalung rantai serta potongan rambut Mohawk.
Punk hadir sebagai interogasi bagi khalayak yang terbiasa berada dalam kenyamanan. Punk merubah zona nyaman menjadi medan peperangan dengan target segala kemapanan yang ditopang rezim dengan doktrin dasar laba sebagai panglima atau dalam bahasa teknis akademis disebut kapitalisme dan konservatisme.
Punk hadir sebagai interogasi bagi khalayak yang terbiasa berada dalam kenyamanan. Punk merubah zona nyaman menjadi medan peperangan dengan target segala kemapanan yang ditopang rezim dengan doktrin dasar laba sebagai panglima atau dalam bahasa teknis akademis disebut kapitalisme dan konservatisme.
Punk memperagakan pemberontakan yang berpedoman pada rasa muak terhadap keseharian karena segala tetek-bengek dalam keseharian telah didukung dan dipasung total oleh sistem ekonomi kapitalisme dan terpenting Punk berkehendak melakukan pengaktualan ulang (reaktualisasi) benda-benda usang ke dalam kekinian.
Sementara kapitalisme dan para pemujanya sangat menekankan kebaruan dalam segala hal (misalnya model busana terbaru, gadget terbaru, merk celana dalam terbaru dlsb) Punk sebaliknya menggunakan perabotan bekas atau barang-barang rongsokan.
Aktualisasi a la Punk tanpa disadari berkait erat dengan suatu laku penyelamatan aspek-aspek terkecil dalam kehidupan sosial yang sengaja dilupakan dan disingkirkan atas nama kepentingan rezim tertentu. Dengan atau tanpa disadari Punk berupaya menyelamatkan ingatan kita atas apa yang pernah terjadi namun sengaja dilupakan.
Demikianlah sekelumit sejarah Punk pada periode-periode awal kemunculannya. Kini sebagai genre bermusik, Punk mengalami perkembangan dramatis dan telah pula melahirkan aneka cabang. (Khudori Husnan)
Komentar
Posting Komentar