Setelah suskes dengan pembacaan puisi oleh 3 Penyair miring: Mohammad Faizi (Penulis Buku Puisi Permaisuri Malamku asal Sumenep), Malkan Junaidi (Penulis Buku Puisi Lidah Bulan asal Blitar), Sahlul Fuad (Penulis Buku Puisi Dusta asal Gresik) pada 22/10/2011 silam Kafe Sastra Jakarta tadi malam (16 Desember 2011) sukses menggelar hajatan "Penyair NUhammadiyah Beraksi."
Dua penyair yang tampil membacakan puisi-puisinya ialah Kyai Matdon dari Bandung dan David Krisna Alka dari Jakarta . Pada malam itu David Krisna Alka tampil pertama membacakan puisi-puisinya (sayangnya, ia tak meninggalkan puisi-puisi yang dibacakannya sehingga sulit dideteksi, melalui Skala Ritchter, seberapa besar daya guncang puisi-puisinya) disusul kemudian Kyai Matdon.
Selepas pembacaan puisi dilanjutkan dengan tanya jawab antara Binhad Nurrohmat dengan Matdon dan David, kemudian pemaparan komentar oleh Khudori Husnan dan Alex Komang diakhiri dengan tanya jawab antara pengunjung Kafe Sastra Jakarta dengan semua nara sumber. Acara ditutup oleh penyair Zabidi Zay Lawanglangit dan dipotrat-potret sedemikian rupa oleh penyair sayang anak Sahlul Fuad.
Topik-topik menarik yang mengemuka dari sesi diskusi di antaranya ialah (b) beda antara NU dan Muhammadiyah dalam mengapresiasi kesenian khususnya puisi; (c) peran kata dalam puisi. Sebelum masuk pada uraian tentang butir-butir tersebut berikut ini (a) impresi yang tertangkap dari pijar puisi-puisi Kyai Matdon.
Siasat LUBE(A)R
Kyai Matdon adalah jenis penyair Langsung, Umum, Bebas, dan (anti) Rahasia. Langsung dalam artian dalam laku kepenyairannya ia tak dan tak mau dituntun oleh aneka kaidah puitik rumit dan serius sebaliknya ia lebih menekankan pada aspek spontanitas. Spontanitas bukanlah disaat seorang penyair mengalami pergesekan dengan realitas sosial maka saat itu pula puisi tercipta tapi sebaliknya spontanitas ala Kyai Matdon lebih pada keterarahan langsung kata-kata memotret realitas sosial yang dihadapinya seakurat mungkin tanpa memerhatikan secara serius susunan larik-larik, rima, dan seterusnya. Proses kreatif seperti ini mengandaikan adanya kebebasan diri dari seorang penyair dan tentunya kecepatan.
Umum dan tidak rahasia maksudnya puisi-puisi Kyai Matdon berkehendak menjadi juru bicara bagi sebagian besar orang yang geram ketika di depan mata dan kepalanya sendiri praktik-praktik sosial tak berkeadilan sangat semarak, situasi sosial ditandai oleh anomie, merosotnya nilai-nilai sosial yang diakui sebagai kebaikan bersama. Puisi-puisi Matdon bukan puisi sarat teki-teki (meski demikian lewat suatu perangkat analisa spesifik puisi-puisi Matdon dapat pula dipahami sebagai kode-kode yang bisa saja menyembunyikan sesuatu) sehingga setiap orang dapat dengan mudah memahami dan memaknai apa yang dituliskan Matdon.
Dengan style seperti telah disebutkan di atas (langsung, umum, bebas, dan anti rahasia) Matdon memantapkan posisi kepenyairannya sejajar dengan penyair-penyair terkemuka yang puisi-puisinya mencerminkan seruan protes keras dan pembebasan sebagaimana dasarnya sudah disediakan Rendra //inilah sajaku pamplet masa darurat/apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan/apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan// (Puisi Sajak Sebatang Lisong). Kyai Matdon, bersama-sama dengan Binhad Nurrohmat, adalah benteng terakhir puisi-puisi, menyitir sebaris puisi Wiji Thukul, yang melawan kebisuan (Puisi Sajak).
Kekhasan Kyai Matdon, dan ini menjadi kekuatan puisi-puisinya, ialah ia dengan sadar menyuntikan kejenakaan dalam puisi-puisinya. Tentu pada beberapa puisi-puisi Thukul dan Rendra unsur kejenakaan juga sempat mengemuka tapi umumnya diucapkan secara sinikal, banyolan-banyolan gelap, tapi pada Matdon kejenakaan sebagai sesuatu yang murni bersifat jenaka. Matdon sedang mengupayakan jenis puisi perlawanan yang melibatkan kejenakaan; suatu pengungkapan yang mirip dengan yang pernah disuarakan tokoh-tokoh terkemuka dari tatar Sunda seperti Kang Ibing, Doel Sumbang, serta Harry Roesli.
Beberapa puisi Matdon yang mencerminkan wawasan-wawasan di muka seperti
apa kabar yanti?
lama tak jumpa
lama sekali aku tidak berkeliaran
di hatimu yang sunyi itu
“ini siapa?, aku yanto bukan yanti”
oh maaf, salah kirim sms.
(Puisi Salah dalam Kepada Penyair Anjing, Ultimus, 2008)
Aku pernah jijik dengan diriku sendiri
Karena membiarkan penguasa dan penjilat
Menghancurkan kota ini
Kini aku tak jijik lagi
Tapi muak
(Puisi Pamflet Muak, Ibid)
berkali-kali kau bunuh diri
jiwamu mati
berkali-kali kau hidup selalu ingin mati;
yang selalu kembali hanya semangat mati
(Puisi Reinkarnasi, Ibid)
Name tuhan lu bacotin di bibir lu
dan lu sembunyi di balik kate ilahiah
biar keliatan seperti agym
ampe muntah lu terkurung perda
lu napsuin gue sih!!
(Puisi Lu Napsuin Gue!! Ibid)
Nuhammadiyah dan puisi
Topik yang sempat mencuat dari diskusi dalam penyelenggaraan pembacaan puisi kali ini ialah tentang perbedaan antara NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah dalam menyikapi kesenian khususnya puisi. Topik ini mengemuka karena adanya pendapat yang menyebutkan bahwa berbeda dengan NU yang banyak melahirkan penyair-penyair yang telah mendapatkan tempat di hati masyarakat, Muhammadiyah relatif tak menelurkan banyak penyair. Kemungkinan dari adanya persoalan itu (kalo hal ini mau disebut problema) ialah;
(i) tradisi ziarah kubur yang tumbuh subur dan mendapatkan legitimasi dari kalangan pemuka NU berkontribusi menjadi pemicu dan pemacu terpeliharanya daya imajinasi di kalangan nahdliyin. Dalam praktik ziarah kubur imajinasi dipahami mampu memperantarai ruang antara seseorang yang masih hidup dengan yang sudah berada di alam baka. Imajinasi melintasi batas waktu kemarin, hari ini, dan yang akan datang. Imajinasi termasuk penopang utama kreatifitas;
(ii) terdapat keberanian yang dimiliki nahdliyin untuk menafsirkan secara bebas, kritis alias tak gentar dicap kafir, dan berkesinambungan atas risalah-risalah keagamaan; tema yang dapat disebut sebagai tradisi eksegesis.
Kata, puisi, dan moving-image.
Deklamasi atau praktik pembacaan puisi di hadapan khalayak ramai selalu berwatak ganda; di stu pihak ia dapat menampilkan sebuah puisi menjadi sangat sempurna dalam artian apa yang tertulis dan apa yang dideklamasikan dapat menopang keutuhan sebuah puisi. Pesan yang mau disampaikan sebaris puisi dapat diutarakan. Tapi di lain pihak pendeklamasian seringkali juga tak dapat menampung dan menyuarakan pesan-pesan yang mau disampaikan sebuah puisi. Elemen penting dari persoalan ini terletak pada peran kata pada puisi.
Kata adalah unsur paling fundamental dalam puisi. Secara formal dapat disebutkan kemahiran memilah dan memilih kata secara cermat dan akurat menentukan “perwajahan” sebuah puisi. Rupa puisi, keelokan atau ketakelokannya sangat bergantung pada kecermatan memilah dan memilih kata. Kecermatan memutuskan memilih kata tertentu dan tak memilih kata tertentu lainnya sendiri, sangat bergantung pada seberapa dalam dan intens seorang penyair bergulat dengan suasana batinnya. Jadi, kata-kata dalam sebuah puisi merupakan perluasan situasi batin si penyair.
Kecermatan memilih dan memilah kata secara tidak langsung dapat berdampak pada lahirnya aneka kesan dan pencitraan dari pembaca terhadap kata-kata yang mengemuka. Aneka kesan dan pencitraan ini pangkal bagi lahirnya rupa-rupa tafsir dari pembaca terhadap sebuah puisi. Kesan dan pencitraan juga muncul dalam teater melalui gesture dan blocking sementara pada film muncul melalui apa yang disebut sebagai moving-image, citra-citra yang digerakkan sedemikian rupa melalui perangkat teknis sinematografis sehingga melahirkan rangkaian cerita dalam film.
Komentar
Posting Komentar