Setelah sukses dengan Dari Kiai Kampung ke NU Miring (Arruz Media, Yogyakarta, 2010) Sindikat Miring Nasional, yang dipelopori penyair Binhad Nurrohmat, kembali menerbitkan buku kedua yakni Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme (disunting Binhad Nurrohmat dan Moh. Shofan, Arruz Media, Yogyakarta, 2011). Buku kumpulan tulisan ini berkehendak merumuskan dinamika hubungan antara ideologi negara dan agama dengan berpegang pada pemahaman bahwa nasionalisme memiliki daya adaptif dengan ajaran dan laku keagamaan terutama Islam.
Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme memuat lima belas tulisan dari lima belas penulis yang tumbuh dan besar di lingkungan NU dan Muhammadiyah. Mewakili NU di antaranya Binhad Nurrohmat, Acep Zamzam Noor, Sahlul Fuad, Eyik Mustain Romly dan lain-lain. Sementara itu, Moh, Shofan, Zoly Qodir, David Krisna Alka, Sa’duddin Sabilurrasad dan lainnya mewakili Muhammadiyah. Dengan senantiasa menjadikan Muhammadiyan dan NU sebagai cakrawala berpikir dari masing-masing penulis, nasionalisme diperbincangkan dengan santai, serius dan bahkan cenderung rigourus.
Pesona Nasionalisme
Teoritikus Ernst Gellner (1977) menyatakan bahwa “nasionalisme adalah fenomena Gesellschaft (patembayan, perserikatan modern) yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang khas Gemeinschaft (paguyuban).” Nasionalisme sendiri merupakan gejala modern. Ia lahir dan berkembang seiring terbitnya fajar modernitas di Eropa seperti halnya ideologi modern dan berpengaruh lain seperti liberalisme, sosialisme, dan konservatisme. Bersama isme-isme besar tersebut nasionalisme mengemban misi sama yakni mempromosikan rasionalisasi, koherensi, dan jawaban optimistis ihwal pokok soal bagaimana mendamaikan konflik antara kawasan publik dan kawasan privat.
Berbeda dengan ideologi-ideologi besar lain yang mengalami pasang surut nasionalisme terus berkembang sedemikian rupa seiring dengan perkambangan zaman yang kian kompleks khas abad ke-21. Atas dasar kenyataan tersebut nasionalisme dianggap memiliki kemampuan mengartikulasikan secara konstan narasi-narasi yang dijanjikannya (mendamaikan tegangan antara wilayah publik dan privat, menyelaraskan yang institusional dan komunal, politik dan kultural) seraya mendedahkan paham kesetaraan dalam payung kita adalah satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.
Pesona nasionalisme terutama mencuat dari kemampuannya beradaptasi dengan ajaran-ajaran resmi dan formal. Nasionalisme berpaut erat dengan kemampuannya memberikan ramuan mujarab atas persoalan krisis identitas di era sekuler. Nasionalisme menyediakan suatu padanan lebih modern berkaitan dengan keyakinan keagamaan tertentu (kenyataan ini dapat dibandingkan dengan eksistensi Iran yang mendasarkan konstitusinya pada ajaran-ajaran Syiah).
Nasionalisme dan Nuhammadiyah
Dalam konteks Indonesia Abdurrahman Wahid (dalam Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Grasindo, 1999) dengan lugas menyebutkan NU (Nahdlatul Ulama) mempunyai kemampuan daya serap yang tinggi (eclectic) terhadap budaya luar yang dimungkinkan untuk menjadi kemanfaatan bagi diri dan umat Islam pada umumnya. NU-lah kata Gus Dur (sapaan akrab beliau) yang memulai memikirkan dan menyelesaikan secara tuntas hubungan antara ideologi nasional dengan agama. Kita, tulis Gus Dur, telah mengadakan rekonsiliasi atau titik temu antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi.
Posisi Gus Dur seperti disebutkan di muka dipertegas oleh Soffa Ihsan dalam buku ini. Ia dengan menunjuk pada pernyatan Mbah Wahab Hasbullah menulis “Nasionalisme ditambah bismillah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar, pasti umat Islam akan nasionalis (hal. 118).
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tampak belum memiliki sikap tegas apakah berada pada posisi pro atau kontra nasionalisme. Hal tersebut terjadi dikarenakan seperti disinyalir Zuly Qodir “dilihat dalam sejarahnya yang sedikit eksklusif (tertutup) terhadap kultur Jawa dan agaknya juga terhadap kultur keindonesiaan, kecuali kultur Arab sehingga cenderung berbau arabisasi, Muhammadiyah akhirnya tampak jelas menjadi yang dikenal dengan pemberantasan tahayul, tindakan tidak rasional. (hal. 72)
Berbeda dengan posisi NU yang terkesan sudah tak ada masalah ihwal hubungan agama dengan nasionalisme. Muhammadiyah tampak masih mengalami kesulitan memantapkan posisi dalam hal hubungan antara agama dan ideologi negara dalam bingkai nasionalisme kecuali mungkin, seperti dikemukakan Qodir ,Muhammadiyah sedang mengupayakan suatu jenis nasionalisme yang lain.
Sisi Gelap Nasionalisme
Seperti halnya modernitas, nasionalisme kerap kali tumbuh dan berkembang melalui kekerasan; Revolusi Prancis, Holocausts, Perang Dunia I dan II adalah beberapa peristiwa sejarah yang diakui sebagai episode sejarah berlatar nasionalisme yang mengubah secara radikal perwajahan dunia. Kendati demikian praktik kekerasan tak hanya menghinggapi hubungan antar-negara praktik-praktik tersebut terjadi juga dalam konteks internal negara sendiri.
Kekerasan atas nama persatuan, kesatuan, dan kedaulatan suatu bangsa juga merasuk secara mendalam dalam lingkup internal negara dan masyarkat sipil sebagaimana di dalam buku ini terlihat dalam praktik-praktik kekerasan atas kelompok minoritas yang terpinggirkan seperti komunitas Bissu, Segeri, Pangkep, Sulawesi Selatan (hal. 227-228) yang pernah mengalami penistaan, pengejaran, dan bahkan pembunuhan. Peristiwa serupa yang mencerminkan sisi gelap nasionalisme yang bermaksud menjadi alat pemersatu atau pengintegrasian dengan berbagai cara terlihat dari perlakuan negara terhadap warga Papua.
Sayangnya, buku ini tak secara tegas menunjukkan sikap terhadap pihak-pihak yang atas nama kekhasan nilai-nilai dan satuan-satuan budaya yang dianutnya bermaksud menegaskan jenis nasionalismenya sendiri. Buku ini belum bisa merumuskan secara terang benderang sikap pro dan atau kontra terhadap adanya kecenderungan pihak-pihak yang berkehendak melepaskan diri dari garis nasionalisme yang diakui umum.
Kendati demikian, setelah membaca lembar demi lembar buku ini terbaca cukup jelas bahwa nasionalisme a la Nuhammadiyah merupakan ikhtiar kreatif dari masing-masing penulis untuk mempercantik wajah nasionalisme dari yang semula melulu menyiratkan amarah menjadi lebih ramah dan dapat menggembirakan semua pihak. (Khudori Husnan)
Komentar
Posting Komentar