Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

Setelah Haul Cak Nur

Semalam (30/08) ikut hadir di acara Haul Cak Nur.  Sampai di TKP bakda Isya saya tak langsung masuk tapi duduk-duduk dulu di beranda sambil menghisap sebatang rokok setelah dapat korek dari Fachrurozi Majid. Kawasan Ampera sudah gelap sekali. Selang beberapa menit kemudian berurutan datang Kang Yudi Latif naik F**ner,  ibu Shinta Abdurrahman Wahid naik sedan hitam didampingi beberapa Paspampres, dan para pengunjung lain. Saya pun masuk. Oiya sebelum masuk saya lihat Ulil meninggalkan acara dipapah istrinya, katanya beliau sedang sakit. Semoga cepat sembuh. Saya ketemu beberapa kawan orang batak yang besar dalam buaian Jogjakarta, H. Simarmata, Filosof Betawi Sunaryo, aktivis HMI Slank dan Deni Agusta, ada juga “The Prophet of Workers” Ismail Fahmi, dan masih banyak lagi teman saya ha ha hi hi malam itu.  Di ruangan utama, tokoh-tokoh penting sedang memberi kesaksian tentang almarhum Cak Nur; pak Try, ibu Musdah yang bicara tentang cara Cak Nur ngajar dan sela...

Gila Agama dalam Cerpen-cerpen Alexander Aur

”Saya juga tidak mau menjual Tuhan. Cukup jadi orang biasa saja dan mengimani Tuhan dengan cara yang biasa-biasa saja.” Alexander Aur (FB) Mukadimah Kutipan di atas merupakan penggalan dari cerpen Alexander Aur   Para Penjual Tuhan ( PPT ). Cerpen ini  mengisahkan Maria Goreti, Paulus, dan seorang suster Katolik yang larut dalam  kebiasaan  saling kirim SMS berisi nasihat keagamaan dari pengirim pertama yang misterius.  Pesan singkat itu biasanya disertai  ancaman, kadang  juga iming-iming hadiah, bila si penerima meneruskan ( forward ) atau tak meneruskan isi pesan  ke sejumlah orang seperti perintah isi pesan. PPT tak hanya menceritakan  kebiasaan saling berkirim pesan pendek ”suci” yang pernah populer di 2012-an, sebelum berganti menjadi model SMS penipuan ”mama minta pulsa,” tapi juga menyoroti penggunaan lagu-lagu rohani dari penyanyi dari label rekaman tertentu sebagai nada sambung, seperti kebiasaan dua tokoh cerpe...

Olala ola olahie - Sindhunata

21 Mei 2017 Leo Kristri berpulang. Untuk mengenang almarhum berikut ini adalah tulisan Sindhunata di Harian Umum Kompas, 22 Agustus 1979. Selamat membaca.  Leo Kristi mengenangkan masa kecilnya. Ia teringat Pak Man, tetangganya seorang gelandangan di belakang rumahnya, yang bekerja sebagai penarik becak bila malam tiba. Tetangga sekitar tak menyukai Pak Man karena ia dikenal juga sebagai tukang jambret. Namun, Pak Man amat baik terhadap keluarga Leo. Seringkali Ibu Leo memberi makan kepadanya. Suatu hari Leo diajak Pak Man beli cengkerik di Pasar Kranggan. Leo dibopong Pak Man untuk memilih cengkerik yang ia senang. Tiba-tiba seorang teman Pak Man menjambret lampu sepeda. Leo tahu semuanya ini hanya alasan Pak Man. Pak Man berusaha memalingkan perhatian para pembeli cengkerik dengan membopong-bopong Leo supaya temannya mempunyai kesempatan untuk menjalankan operasi kilatnya. Leo langsung minta pulang. Pengalaman itu ternyata memberi kesan mendalam buat Leo ketika ia mulai ...

Cinta Mati Cholish dan Omi

Nurcholis Madjid  alias Cak Nur, salah seorang intelektual muslim paling terkemuka Indonesia yang  wafat pada 29 Agustus 2005  karen penyakit sirosis atau kanker hati itu, biasa memanggil Omi pada istri tercintanya Omi Komaria Madjid. Cholish adalah panggilan untuk Cak Nur saat ia masih remaja. Membaca  buku Hidupku Bersama Cak Nur, Catatan Omi Komaria Madjid   (Nurcholish Madjid Society; 2015) adalah membaca kisah cinta dan kesetiaan dalam artiannya yang sangat menyeluruh  mencakup cinta   seorang pria pada wanita, cinta dan bakti anak pada kedua orang tua, cinta pada sesama manusia, cinta pada agama, hingga cinta pada tanah air. Tapi, buku ini tak melulu  bertutur tentang cinta. Buku ini  juga menghadirkan  percikan pemikiran Cak Nur yang lekat dengan gagasan-gagasan besar seputar keislaman, kemodernan, dan terutama adalah keindonesiaa. Di halaman 59 – 60  misalnya, Omi terkenang  sepucuk surat cinta dari Cak Nu...

Memahami Sikap Rendra Pada Barat (Kompas, 08 September 2013)

Berbeda dengan puisi-puisi para penyair Indonesia lain, sebut saja di antaranya Chairil Anwar, Sitor Situmorang, dan Subagyo Sastrowardoyo, puisi-puisi Rendra selain selalu memikat saat dibaca, juga terasa nikmat didengar. Musikalitas puisi-puisi Rendra merupakan akibat langsung dari pemahaman pragmatis Rendra ihwal kesenian yang merupakan medium bagi kesaksian pada kehidupan, termasuk unsur-unsur sosial budaya pembentuknya. Puisi-puisi Rendra memiliki lapisan-lapisan yang menyiratkan adanya pernegosiasian puisi dengan jenis-jenis ekspresi kesenian lain, semisal teater, prosa, dan musik. Negosiasi digelar sekadar untuk mengantisipasi adanya penguasaan bidang-bidang kesenian lain atas puisi. Walhasil, puisi-puisi Rendra selain selalu tampak bertenaga dan penuh warna, juga terdengar sangat melodius. Puisi-puisi Rendra senantiasa setia kepada irama. Dalam arti ini, puisi-puisi Rendra masih memiliki keserupaan corak dengan puisi-puisi Chairil Anwar seperti Derai-derai Cemara...