Langsung ke konten utama

Aku Komentar Maka Aku Ada (1)



Kita, aku dan kamu. Iya kamu adalah mahluk cerewet. Segala hal dikomentari entah apakah komentar itu bagian dari profesi  atau ungkapan dari naluri purbamu yang tak bisa hidup tanpa komunikasi.

Lepas dari logika dagang yang sering menyelinap di balik intensitas komentar, keberadaan seseorang di muka bumi masa kini, tampak akan lebih ditentukan oleh seberapa hebat dan menarik dalam berkomentar. Aku komentar, maka aku ada.

Lihatlah! Status dan cuitan penuh sesak oleh komentar, belum lagi jelas-jelas tersedia kolom komentar di nyaris semua jejaring sosial juga media daring.

Komentar yang "nota bene" sekadar sisipan seringkali lebih menarik dari perkara pokok/inti permasalahan yang sedang disampaikan. 

Sebutan "cebong, kampret, gabener dan wagabener, jokower, ahoker, sist, bro, gan, otw, btw, say, bun," dan seterusnya adalah istilah-istilah yang setahu saya awalnya bersumber dari komentar warganet di media sosial, tapi pada perkembangannya menjelma jenis-jenis komunikasi utama; menjadi semacam, istilah keren dari Tuan Fredric Jameson, metakomentar. 

Penyair Binhad Nurrohmat pada 2012 menerbitkan sebuah buku "Liberal Gadungan, Front Penyair Indonesia (FPI) vs Jaringan Islam Liberal (JIL)," yang isinya status-status FB lengkap dengan komentar-komentar dari teman-teman yang masuk dalam daftar pertemanan Gus Penyair.

Dari buku itu, tak semua berisi sesuatu yang berat dan serius. Tak jarang status berisi pendapat serius sang penyair ditanggapi/dikomentari dengan kelakar alias tak nyambung dengan isi status oleh para komentator-di buku disebutkan dengan "komentar rakyat."

Uniknya, meski status-status  yang tergelar terbilang berat dan serius karena menyangkut paham keagamaan dan aktivisme sosial, komentar-komentar dari akun teman-teman penyair yang berlatar-belakang macam-macam itu sungguh banyak dan ramai. Antusias.

Sebuah stasiun televisi swasta  bersemboyan "televisi masa kini" bahkan berani menawarkan sebuah mata acara bertajuk The Comment. 

Demikianlah. Komentar ternyata  jauh lebih populer bila dibandingkan dengan tetangga sebelahnya yakni kritik.

Pertanyaannya, bagaimana membedakan komentar dari kritik? Bagaimana jika kritik dan komentar kawin? Apakah perkawinan itu akan membahagiakan?

Ijinkan saya menarik nafas dulu. Kalau ada yang mau bantu jawab silakan loh. Biar bisa saya komentari di catatan berikutnya..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...