Langsung ke konten utama

Rousseau Tidak Suka Rusuh

J.J Rousseau (courtesy:www.wikipedia,com)


Pernahkah dirimu merasa pengetahuan dan atau informasi yang kamu punya, tanpa kamu sadari, ternyata membatasi ruang gerakmu?
Ambil contoh facebook yang saban hari kamu pantengin ini. Anggap facebook adalah sebuah lambang pergaulan sosial jaman kiwari. Dia yang tidak punya akun Fb akan dianggap terbelakang dan primitif.
Setiap saat Fb memandumu. Menjadi kompas dalam kehidupan, menjadi pertimbangan utama dalam laku keseharian. Ada yang kosong di langit jiwa saat kamu sehari saja tidak log in ke Fb.
Nun jauh di sana, seorang petani atau peternak kambing asyik dengan kesibukannya. Membajak sawah, mencari rumput untuk kambing, tidak mau pusing dengan hiruk pikuk yang berseliweran dari satu linimasa ke linimasa lainnya.
Ibarat kata, petani kampung yang tak kenal Fb, hidupnya sederhana saja, seperti dinyanyikan Slank "asal ada babi untuk dipanggang// asal banyak ubi untuk kumakan// aku cukup senang// aku cukup senang// dan aku pun tenang//
Lambang pergaulan sosial, apapun nama dan bentuknya dari Fb, institusi pendidikan, hingga pranata sosial lainnya telah menggerogoti kondisi alamiah manusia yang pada dasarnya penuh dengan kebaikan dan lalu menjerumuskan manusia menjadi gampang terlibat pertikaian, gemar berkonflik, barbar, dan terkurung sepi.
Nah, di sini tesis mahsyur dari Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) berbunyi nyaring;
"Manusia terlahir bebas, tapi di mana-mana menjadi budak. Sebagian besar manusia yakin dirinya adalah tuan atas sesamanya, tapi kendati demikian, ia lebih sebagai budak daripada yang lainnya. Bagaimana perubahan dari kebebasan ke dalam perbudakan terjadi dan bermuasal?"
Ketidakbebasan itu, kata Tuan Rousseau, bersumber dari lambang-lambang pergaulan sosial termasuk yang paling "ultimate" sekalipun yakni negara.
Negara bukan penetralisir terjadinya gesekan-gesekan di tingkat masyarakat. Sebaliknya, lagi-lagi kata Rousseau nih ya bukan kata gw, negara adalah sumber dari setiap rusuh dan bentrokan yang terjadi.
Posisi Rousseau berbeda dari Hobbes (tengok status saya sebelumnya) yang omong masyarakat sipil--masyarakat yang terikat dengan komitmen-komitmen komunitas, termasuk kewarganegaraan, patuh dan taat pada aturan-aturan sosial itu--berperan membatasi dan menyalurkan ke arah yang lebih berfaedah keegoisan masing-masing orang.
TAPI, faktanya, negara toh tetap ada dari masa ke masa.
Mari bayangkan negara bak janji suci pernikahan.
Sederhananya, mengikuti Hobbes, kondisinya mirip-mirip ini; capek juga yah bertengkar ga ada salahnya kan kita coba taarufan, sapa tau jodoh bisa lamaran dan dinikahkan oleh penghulu.
Mengikuti Rousseau situasinya serupa, kita ada banyak kesamaan ay, sama-sama baik, perbedaan dan semua yang bikin kesel itu, karena banyak yang ga suka aja sama kita, ke penghulu yuk, halalin hubungan kita.
Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...