Langsung ke konten utama

Gajah Pada Dirinya Sendiri



Membaca tulisan saya sendiri di status sebelum ini, yang omong tentang gajah, saya ko masih penasaran ya kayak masih ada yang ngegantung gitu. Baik saya lanjutkan dengan bagian kedua deh.
Perbedaan titik tolak dan cara pandang dalam mengamati sesuatu mengakibatkan perbedaan pengetahuan, pemahaman dan atau pengertian; ini persoalan yang dihadapi keenam orang buta yang terlibat rusuh karena masing-masing punya klaim sendiri-sendiri tentang gajah.
Tapi, ternyata, bukan hanya orang buta loh yang memiliki masalah seperti di atas. Orang dengan panca indra sempurna pun tak luput dari problem tersebut.
Penyanyi Tulus, seperti telah saya sebut di tulisan sebelum ini, juga berlaku masalah itu.
Bukankah yang disebut Tulus dengan gajah adalah hewan besar, cerdas, setia kawan, punya ingatan kuat, tak bisa lompat tapi bisa berenang tak lebih dari, katakan, sifat-sifat gajah? Arti, hakikat, atau gajah pada dirinya sendiri sama sekali tak disinggung Tulus.
Mengapa bisa demikian?
Manusia termasuk aku, kamu, dan kalian memiliki kemampuan mempersepsi sesuatu dengan panca indra-dalam hal ini indra penglihatan; kemampuan ini, biar ringkas, kita sebut saja dengan istilah sensibilitas.
Jika diilustrasikan maka akan menjadi; ada aku, ada objek (kamu, gajah, sesuatu) ada jarak antara aku dan objek/sesuatu/kamu dan akhirnya ada sensibilitas.
Cieee aku dan kamu.
Sensibilitas membuat kita mampu mencerap penampakan dari sesuatu di bawah kendali model-model pemahaman yang saling berkaitan di diri kita.
Maksudnya, ketika kita melihat sesuatu yang ada di hadapan kita, secara serentak seluruh perangkat indrawi berproses sedemikian rupa, berusaha mengenali, hingga pada akhirnya menghasilkan sebuah pengertian tentang sesuatu yang ada di hadapan kita, dalam hal ini gajah deh.
Kendati demikian, sensibilitas tidak memberikan kita akses untuk mengetahui bagaimana sebetulnya gajah pada dirinya sendiri; sensibilitas hanya berperan mengarahkan bagaimana gajah bisa tampil atau tampak lalu ditangkap oleh perangkat indrawi kita.
Gajah otentik alias gajah pada dirinya sendiri masih berlumur misteri. Kalaupun misalnya di wikipedia, yang sering kalian rujuk itu, ada pengertian tentang gajah, tak diragukan lagi itu pasti datang dari ahli fauna. Untuk kepentingan praktis, bolehlaah.
Sensibilitas mengiris "dunia" menjadi dua bagian. Pertama, dunia yang bisa diobservasi lewat pengalaman, kedua, dunia sebagai realitas itu sendiri. Realitas pada dirinya sendiri tak diketahui karena kita, aku, kamu, dan kalian yang mau mengetahui itu, adalah bagian tak terpisahkan dari dunia yang pertama, yang bisa diamati melalui pengalaman.
Pertanyaannya, mampukah kita melintasi batas dua dunia itu untuk mengetahui realitas pada dirinya sendiri, yang aseli?
Au ah gelap.
Terakhir tapi tak kalah penting, semua penjelasan utama di atas, didasarkan pada secuil pemikiran orang bernama Immanuel Kant yang tempo hari diplesetkan oleh mahasiswanya Hermann Cohen dengan Kaut. Jadi bukan dari saya, aku mah apa atuh.
Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...