Langsung ke konten utama

Arthur dan Perempuan Cerewet



Arthur Schopenhauer (courtesy:www.wikipedia.com)
Namanya Arthur. Dia hidup dari 1788 - 1860. Siapa dia? Kita simpan dulu jawabnya karena ada yang lebih menarik dari kisah hidupnya tinimbang identitas lengkapnya.
Arthur pernah hidup ngontrak dan punya tetangga seorang wanita tua yang bawel dan menjengkelkan; barangkali tipikal wanita paruh baya yang kalau nonton sinetron, ikut teriak-teriak menghujat tokoh jahat di sinetron, yang dianggap sudah bertindak kelewat batas hingga mengakibatkan si tokoh utama, biasanya wanita cantik berambut lurus dan berkulit putih, mewek-mewek hingga air matanya menghapus pupur dan gincunya.
Tak tahan dengan ulah wanita tua ceriwis, kesabaran Arthur habis. Dengan wajah dingin, ia datangi si wanita tua, mendorongnya dengan kasar hingga terjatuh. Bahu wanita tua cedera.
Tak terima dengan perlakuan Arthur, wanita tua menuntut ganti rugi, meminta Arthur bertanggung jawab atas luka-luka yang dideritannya.
Singkat cerita, Arthur diharuskan menafkahi wanita tua dengan lima belas keping perak tiga bulan sekali, selama dua puluh tahun!
Hadeuh, pikir Arthur. Tapi Arthur legowo ia menerima hukuman itu meski tetap mengganggap hukuman itu sangatlah sewenang-wenang baginya.
Tak berapa lama si wanita tua meninggal dunia.
Arthur tampaknya masih memendam kecewa pada wanita tua. Bahkan, ketika wanita tua telah tiada, ia masih tetap nyinyir.
Arthur, sosok yang gemar baca buku-buku berat dan tebal itu, membuka lembar demi lembar buku catatannya, lalu menuliskan sebaris kalimat berbahasa Latin "obit anus, abit onus", terjemahannya kira-kira "wanita tua mati, beban menyingkir."
Tak cukup sampai di situ, sikap negatif pada wanita kembali ia tuangkan dalam sebuah catatan panjang;
"keburukan mendasar dari sifat wanita adalah bahwa ia tak memilki rasa adil. Hal inilah penyebab utama di balik fakta bahwa wanita memiliki kekurangan dalam daya penalaran dan pertimbangan... Mereka tidak bergantung pada kekuatan, melainkan pada kecakapan."
Hmm. Sampai segitunya si Arthur. Tapi mari kita bertanya pada Arthur, bukankah wanita menjadi seperti itu karena lingkungan masyarakat berikut kebiasaan-kebiasaannya, yang mengondisikan wanita semata pada perkara dapur, sumur, dan kasur? Apakah kondisi semacam ini yang dikehendaki wanita sepanjang hidupnya?
Sebagai pribadi yang kelak dianggap sebagai cerdik pandai, Arthur tak bodoh-bodoh amat. Ia kelihatannya tahu masalah itu. Tapi ada yang lebih serius di balik curhatan bernada sinisnya pada wanita.
Arthur mau membidik duduk perkara lain. Ia berupaya membeberkan adanya suatu kondisi yang menggelisahkannya yakni ada satu kehendak yang tak dikehendaki tapi diikuti. Inilah ironi yang terjadi dan nyata di sekitar kita.
Lugasnya, apa yang dipikirkan tak selalu seiring sejalan dengan kehendak. Malah seringkali berlawanan. Misal, pada jargon "demi toleransi kita tidak akan menolerir tindakan-tindakan intoleran." Lah, bukankah pernyataan ini bentuk anti-toleransi? Kira-kira seperti itulah.
Oiya, sampai di sini sudahkah kalian tahu siapa Arthur?
Nama lengkapnya adalah Arthur Schopenhauer. Filosof Jerman berjuluk si pesimis. Karya terbesarnya berjudul "World as Will and Idea."
Friedrich Nietzsche, bukan Friedrich yang pengacara itu ya, banyak berguru pada mbah Arthur.
Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya