Langsung ke konten utama

Gajah



Tulus. Dialah satu dari sedikit penyanyi pop yang berani menjadikan gajah sebagai judul lagu. Menurut Tulus, gajah adalah hewan yang besar, cerdas, setia kawan, berani bertarung sendirian, punya daya ingat luar biasa, tak bisa melompat tapi mahir berenang.
Kang Tulus beruntung memiliki panca indera sempurna sehingga pemahamannya tentang gajah relatif ok. Aa Tulus tak perlu repot-repot cek-cok dengan orang lain, yang punya pengetahuan berbeda tentang gajah, seperti cerita yang sering kita dengar di bangku sekolah, ceramah keagamaan di majlis ta'lim ibu-ibu, seminar motivasi, dan lainnya tentang beberapa orang buta yang bertengkar hebat mempertahankan pendapat masing-masing tentang wujud gajah.
Dirimu ingat cerita itu?
Saya kasih tambahan info ya. Cerita terkenal itu aslinya adalah sebuah puisi berjudul "The Blind Man and the Elephant" karya seorang penyair sekaligus wartawan Amerika ternama, bernama John Godfrey Sake yang hidup 1816-1887.
Puisi bergaya naratif itu lumayan panjang tapi ringkasnya kira-kira seperti ini;
Enam orang bijak dari Indostan, berjuang keras untuk bisa melihat gajah, padahal kenyataannya, keenam orang bijak ini semuanya buta.
Si bijak nan buta pertama menyentuh sisi lebar dan kokoh dari gajah, ia memyimpulkan gajah sangat mirip tembok, si buta kedua menggenggam gading, ia yakin gajah serupa tombak, si buta ketiga mencengkeram belalai, ia membandingkan gajah dengan seekor ular;
si buta keempat memegang kaki gajah, ia berpendapat gajah mirip sebatang pohon, si buta kelima yang memegang kuping gajah yang sering bergerak-gerak, ia memastikan ke teman-temannya gajah mirip kipas, giliran si buta keenam memegang ekor, ia runtuhkan semua pendapat teman-temannya sambil menyebut gajah adalah seutas tali.
Demikianlah, keenam orang bijak dan buta itu berdebat panas tentang hakikat gajah. Masing-masing dari mereka bersuara keras. Perselisihan berlangsung panjang hingga mereka senewen.
Keenam orang bijak dan buta itu ngotot alias keukeuh sumeukeuh mempertahankan pendapat masing-masing karena merasa pendapatnyalah yang paling benar.
Padahal, masing-masing dari mereka benar pada sebagian, dan keliru secara keseluruhan terkait apa yang secara umum dipahami sebagai gajah.
Saya bukan khotib yang baik. Jadi, silakan petik sendiri pelajaran apa yang bisa didapat dari cerita di atas. Cluenya ada pada kata "tapi". Maksudnya, dalam setiap adu pendapat janganlah gengsi untuk berucap "saya yakin pendapat saya keren TAPI bla bla bla.."
Bukan. Ini bukan tentang bagaimana mengalah atau menang, sikap itu diperlukan justru untuk menggapai pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Wow.
Dah gitu ajah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

Kwatrin Ringin Contong; Visi Maksimal Di Balik Puisi Minimal

Pengantar Buku kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong (Penerbit Miring dan Ar-Ruzz Media, 2014, selanjutnya disingkat KRC) menandai kembalinya Binhad Nurrohmat meramaikan panggung perpusian tanah air. Lewat  buku kumpulan puisi terbarunya ini Nurrohmat tampak  berupaya mengingatkan kembali arti penting “epik” dalam artikulasi estetis khususnya puisi. Nurrohmat terlanjur lekat dengan model puisi yang membabar aneka kawasan di mana nyaris tak seorang penyair pun mau dan mampu secara jujur, terbuka, dan percaya diri  menyelaminya; sebuah kawasan yang kerap dicitrakan sebagai liar, vulgar, jorok, dan menjijikan.  Walhasil, kehadiran KRC menjadi momentum kelahiran kembali puisi-puisi dari Nurrohmat dalam bentuk yang baru. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab ini perlu ditelusuri kedudukan KRC di antara karya-karya Nurrohmat lainnya. Dari Kuda Ranjang ke Ringin Contong Beberapa buku kumpulan puisi yang sukses menempatkan penyair kelahiran Lampung 1 Janua...

FILM OPERA 'TURANDOT'

Oleh: Rangga L. Utomo (Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara) sumber gambar: amazon “Tanpa keutamaan, teror itu membinasakan; tanpa teror, keutamaan itu tak berdaya.” [Robespierre. Laporan kepada sidang dewan, 5 Februari 1794] Turandot adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini, ditujukan pada libretto Italia Giussepe Adami dan Renato Simoni, didasarkan pada naskah drama karangan Carlo Gozzi. Pengerjaan opera ini tidak dirampungkan oleh Puccini yang keburu meninggal terkena kanker tenggorokan dan pengerjaan naskah tersebut diteruskan oleh Franco Alfano. Pergelaran perdananya ditampilkan di Teatro alla Scalla, Milan tanggal 25 April 1926, dikonduktori oleh Arturo Toscanini.  Selengkapnya