Langsung ke konten utama

Milea & Pangeran Brengsek

Vanesha Prescilla alias Milea (courtesy:www.bintang.com)


Judul di atas salah satu lagu dari komplotan musisi top yang tergabung dalam Kantata Takwa. "Pangeran Brengsek" ada di album kedua Kantata Takwa (1998) bersama dengan lagu-lagu lain seperti "Nyanyian Preman," "Lagu Buat Penyaksi," "Anak Zaman", "Asmaragama", "Panji-Panji Demokrasi", dan lainnya.
Ditingkahi permainan gitar yang gahar lagu Pangeran Brengsek diisi vokal Sawung Jabo yang serak dan berat. Iwan Fals yang biasa bernyanyi, di lagu ini, dia asyik bermain gitar saja.
"Pangeran brengsek gudel ngepet
Suka nyopet mati disantet
Pangeran brengsek gegar otak
Padahal jelas tak punya otak."
Kata "pangeran" tampaknya mau menunjukkan praktik nepotisme yang menggejala di lingkup pergaulan politik kita setidaknya saat lagu itu tercipta.
Asal ada darah pembesar mengalir di darah seseorang, maka seseorang itu sudah memiliki satu modal fundamental untuk menjadi orang penting di republik ini.
Meski untuk mencapai tujuan menjadi "orang penting" dilakukan dengan cara-cara menabrak nilai-nilai moralitas atau kepatutan sosial, tapi karena dilakukan oleh sang pangeran hal itu bisa dimaklumi, bahkan bisa dibenarkan.
Ini mengingatkan saya pada Sang Pangeran-nya negarawan dan teoritikus politik asal Italia, Niccolo Machiavelli (1469-1527).
Ditulis dengan gaya menyerupai buku wejangan, "Sang Pangeran" termasuk risalah politik paling berpengaruh di Eropa. Posisi kitab ini khas; dipuja sekaligus dicerca lantaran dengan tegas menyingkirkan moralitas dari praktik politik.
Gambaran ideal tentang penguasa yang terdidik, arif dan bijaksana, lemah lembut, serta rajin menolong, pasca Sang Pangeran malih rupa menjadi bengis, berdarah dingin, gampang mengumumkan situasi darurat dan karenanya hobi menciptakan situasi seolah-olah akan segera terjadi peperangan.
Dalam Sang Pangeran tertulis,
"Jangan pernah berhenti memikirkan perang, persiapkanlah senantiasa, beroperasilah dengan hal tersebut terutama lebih pada persepsi, dari pada perang itu sendiri."
Seorang penguasa yang tak henti menggelorakan semangat para serdadu untuk selalu bersiaga menghadapi musuh, angkatan bersenjatanya akan selalu memberi perhatian dan penghormatan pada si penguasa selaku pemegang komando tertinggi.
Apakah perang sebenar-benarnya perang akan sungguh terjadi? Itu perkara lain. Yang terpenting tercipta suatu kondisi psikologis dalam diri para tentara, pemimpinnya adalah sosok pemberani dan perkasa.
Ini bisa juga berarti, seorang penguasa yang mengobarkan semangat rivalitas dengan penguasa lainnya, akan selalu mendapat dukungan dari para pemujanya.
Apakah rivalitas itu benar-benar ada? Entah. Yang pasti tatapan mata dan pikiran para pendukung akan selalu mengarah padanya dan setiap saat para pendukung bisa digerakkan sekekehendak hati penguasa.
Berikutnya, jika kalian intim dengan jargon "tujuan menghalalkan cara" atau "tujuan membenarkan cara" dalam praktik politik, maka dapat dipastikan politisi yang mempraktikkan itu, adalah murid Machiavelli.
Bayangkan petuah ini; "jika Anda selalu memainkan peran sebagai orang baik di sebuah dunia yang sebagian besar warganya adalah brengsek, Anda harus belajar berhenti menjadi orang baik, sekurang-kurangnya ketika" Pilkada, eh maaf maksdunya, "kesempatan menuntutnya."
Penguasa yang mempraktikan amanat di atas dapat dipastikan ia lebih ingin menampilkan diri sebagai penguasa yang ditakuti dan bukan dicintai warganya. Tampangnya boleh baby face tapi di balik itu dia sebetulnya sangat ingin ditakuti.
Lagian, bukankah rasa cinta yang menggebu-gebu juga bisa tercipta dari rasa takut yang terlalu? Hmmm.
Akhirnya, seumpama kekuasaan itu sejenis Milea yang cantik dan segar, kata-kata dari Dilan ini begitu pas merangkum catatan di atas,
"Kalau aku jadi presiden yang harus mencintai seluruh rakyatnya, aduh, maaf aku pasti tidak bisa, karena aku cuma suka Milea."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...