Langsung ke konten utama

Tangis Hermann Cohen



Barangsiapa meragukan arti penting seorang bernama Immanuel Kant (hidup antara 1724 - 1804) dalam khazanah pemikiran Barat modern, sesungguhnya ia belum belajar filsafat Barat secara kaffah.
Sungguh. Ini bukan klaim kosong. Posisi Kant dalam sejarah filsafat barangkali setara dengan kedudukan Imam Ghazali sang "Hujjatul Islam" yang amat mahsyur dalam tradisi pemikiran Islam.
Kant adalah figur yang mau dan mampu mendamaikan dua kutub sama kuat dalam sejarah gagasan, utamanya tentang persoalan dari mana sebenarnya sumber pengetahuan kita; apakah murni bersumber dari akal budi atau dari pengalaman belaka.
Nah, eyang Immanuel Kant ini secara mengesankan berhasil menyelaraskan dua kutub itu sambil teriak-teriak "beranilah berpikir sendiri, gaes!"
Salah seorang pemeluk teguh ajaran Kant bernama Hermann Cohen (1842-1918). Doi tidak hanya ngajar di salah satu kampus terkemuka di Jerman tepatnya di Universitas Marburg tapi ia juga menduduki posisi sangat strategis di situ.
Begitu ngotot Cohen dengan ajaran Kant, memicu sikap nyinyir dari para pengritik Cohen termasuk menyerangnya dengan sesuatu yang barangkali tidak filosofis, dengan lelucon.
Hermann Cohen "bikes ih," begitu barangkali ucapan para pengkritik Cohen seandainya mereka hidup di zaman "now."
Salah satu lelucon terkenal untuk Hermann Cohen berbunyi demikian.
Di Universitas Marburg filsafat menjadi materi wajib untuk meraih gelar diploma, dari fakultas mana pun si mahasiswa berasal.
Sekali waktu Hermann Cohen menjadi penguji ujian lisan Matkul filsafat di fakultas kedokteran. Dengan langkah mantap Hermann Cohen masuk kelas. Setelah memerhatikan sekilas seisi ruangan ia langsung bertanya pada para mahasiswa "Apa yang kalian ketahui tentang pemikiran filosof Plato?"
Para mahasiswa saling berpandangan satu sama lain. Plato, sebuah nama yang aneh, begitu mungkin pikir para mahasiswa. Sebentar Cohen memberi kesempatam para mahasiswa merenung. Sayangnya, tetap tak ada satupun mahasiswa bersuara.
Hermann Cohen mengajukan pertanyaan kedua, "Jelaskan ajaran pokok dari filosof Spinoza?"
Ruangan kelas hening. Semua mahasiswa terdiam. Herman Cohenn mulai lesu dan geleng-geleng kepala, ia pun bersiap dengan pertanyaan ketiga yang dianggapnya lebih mudah dan para mahasiswa pasti bisa menjawabnya karena menyangkut filosof paling berpengaruh dan idola Hermann Cohen sendiri; Immanuel Kant.
"Siapa filosof paling penting dari abad ke-18?" Mendengar pertanyaan itu, meski masih diwarnai keraguan, wajah para mahasiswa mulai sumringah. Menyaksikan itu semangat Herman Cohenn menyala-nyala, wajahnya berseri-seri.
Akhirnya seorang mahasiswa memberanikan diri menjawab, Cohenn makin antusias.
"Kaut, pak." Ucap si mahasiswa.
Mendengar penyebutan nama Kant secara keliru oleh mahasiswa, Cohen menundukkan wajahnya yang murung, dan meledaklah tangisnya.
Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

MERENTANG SAJAK MADURA-JERMAN; CERITA KYAI FAIZI MENAKLUKAN JERMAN

Siapa Kyai Faizi? Ia seorang penyair. Tak cuma itu ia selain menguasai instrumen bass, disebut basis, juga ahli bis, orang dengan kemampuan membaca dan menuliskan kembali segala hal tentang bis seperti susunan tempat duduk, plat nomor, perilaku sopir berikut manuver-manuver yang dilakukan, ruangan, rangka mesin, hingga kekuatan dan kelemahan merk bis tertentu. Terakhir, ia seorang kyai pengasuh pondok pesantren dengan ribuan santri. Ia juga suka mendengarkan lagu-lagu Turki. Pria ramping nan bersahaja ini lahir di desa Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Sebagai penyair ia  telah membukukan syair-syairnya dalam bunga rampai Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan ke-IV, 2011); kumpulan puisi Delapanbelas Plus (Diva Press, 2007); Sareyang (Pustaka Jaya, 2005); Permaisuri Malamku (Diva Press, 2011) yang terbaru adalah Merentang Sajak Madura-Jerman Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin (Komodo Books, 2012).   Buku disebut terakhir merekam kesan-kesan Kyai Faizi  atas berbagai ...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...