Gerak-gerik
teman-teman Fb saya ini menarik. Satu wacana yang terlempar dari status satu
dan beberapa teman, seketika mendapat tanggapan dari beberapa teman lainnya.
Begitu dan begitu terus, tak pernah berhenti.
Misal,
beberapa teman lewat statusnya secara bertubi-tubi memromosikan khilafah,
menyerukan boikot terhadap produk-produk Amerika dan Israel, nyinyir lahir
batin pada pemerintah karena tokoh idolanya kalah di Pemilu, hingga menyebarkan
kata-kata mutiara berbasis syari'ah.
Nah,
status-status model di atas pada waktu nyaris bersamaan, langsung mendapat
tanggapan kontra atau anti dari teman-teman Fb lainnya; baik lewat
"meme" lucu maupun catatan panjang lengkap dengan daftar pustaka.
Menariknya,
antara teman-teman pemilik satu wacana dengan wacana lain seringkali tak saling
kenal. Tapi, meski begitu, di antara mereka seperti ada kesepakatan diam-diam
untuk berkewajiban saling melempar wacana tanpa jeda dan tanpa kenal lelah.
Fb pun
menjelma medan kontestasi wacana yang sangat efektif. Satu tesis seketika
mendapat anti-tesisnya. Inilah dialektika "wow" di zaman
"now".
Tinggallah
saya melongo, mengamati/diamati pergerakan demi pergerakan perebutan wacana
untuk menjadi dominan/berkuasa penuh, yang berlangsung di ruang publik mini
bernama Fb ini.
"Subyektifikasi"
alias proses pembentukan subyek/diri/aku, dari sebuah artikel yang pernah saya
baca, berlangsung dalam ketegangan perebutan wacana model di atas.
Dari
tarik-menarik wacana yang terjadi, pelan tapi pasti diri/aku akan menemukan
kediriannya, seperti kira-kira tercermin dari pernyataan hits "semua akan
... pada waktunya" (titik-titik bisa diisi dengan 'keren, narsis, eksib,
cekrek upload, cekrek upload, kecebong, bikes, dll)
Apakah
ini masalah? Tidak sih. Kecuali si aku lumpuh, dan merelakan diri terseret oleh
salah satu arus wacana yang mau menjadi dominan itu. Artinya si aku tak bisa
menyeimbangkan dan menjadikan dua kubu wacana yang berbeda, serupa irama musik
yang merdu, yang bisa membuat berjoget.
Akibat
terdalam dari ketidakberdayaan menyeimbangkan pertengkaran wacana itu pada
tingkat tertentu memunculkan orang-orang berpikiran serba utopis, menganggap
lingkungan sekitar sedang dalam kondisi darurat dan terancam, terlalu memuja
angan-angan, tak bisa membedakan fakta dari fiksi, delusilah akhirnya; jiwa
menjadi "atit".
(Beruntung
sekarang BPJS udah mengcover pengobatan sakit jenis di atas sih. Tapi kalau
bisa tetap sehat yaa).
Lalu
bagaimana menyikapi perang wacana yang menggejala di sekitar kita? Kalau saya
sih, maaf aja nih, sebagian wacana ada yang saya anggap serius, tapi kebanyakan
saya yakini sebagai festival lelucon.
Komentar
Posting Komentar