Perbedaan kritik dan komentar: kritik melakukan penilaian kemudian menciptakan sebuah putusan. Sebuah klaim; baik atau buruk, indah atau jelek dll.
Penilaian bertitik-tolak dari sebuah keyakinan ada yang sengaja disembunyikan di balik apa yang tampak dan terlihat. Nah, yang tersembunyi ini kita sebut saja maksud, makna, yang hakiki, atau lugasnya yang orisinal.
Kritikus alias orang yang kerjanya mengeritik, juga bukan orang sembarangan. Dia biasanya punya kewenangan tertentu misal karena latar belakang riwayat pendidikan.
Latar belakang ini penting karena nanti bisa jadi bekal untuk pertanggungjawaban atas keputusan-keputusan yang dia buat. Jadi tidak asal bunyi.
Kritikus seni, sebagai contoh, berarti orang berlatar belakang pendidikan kesenian yang kerjanya mengeritik karya seni, menentukan kualitas karya seni.
Pertimbangan-pertimbangan kritikus seni umumnya berpijak dari dan demi karya seni itu sendiri. Perkara-perkara di luar karya seni adalah omong kosong.
Sebaliknya, komentar tidak mau pusing dengan ada atau tidaknya yang orisinal (makna, maksud, yang hakiki) di balik apa yang tampak dari sesuatu. Lagi pula usaha mencari yang ori adalah kerja sia-sia.
Kenapa? Karena yang ori selalu merupakan hasil persilangan berbagai unsur dari berbagai sumber. Ngotot mencari yang ori "mampus kau dikoyak-koyak sepi."
Jika kritikus memburu yang ori lalu apa yang dikejar komentar? Mudahnya, komentar berusaha mengidentifikasi inti masalah dari sebuah pengamatan pada yang tampak.
Politisi uzur masih wara-wiri melakukan komunikasi politik membangun koalisi atas nama, seperti sering terlontar dari mulutnya, kesejahteraan rakyat, kepentingan umat, bangsa, dan negara.
Di balik kata-kata manis itu, kritikus dengan konsep kekuasaan yang ada di benaknya akan bilang "halaah bilang aja udah ngebet pengen berkuasa". Sebaliknya, komentator akan berbisik "gila ya udah uzur bukannya menikmati hari tua sambil momong cucu, berkebun, atau main burung eeh ini malah sibuk urus copras-capres. Lagian pada ke mana sih anak mudanya? Pada maen mobile legend ya?"
Komentar lain mungkin akan berbunyi udah pada tuwir masih pada gagah n ganteng aja ya dst.
Contoh lain, perhatikan deh ratusan atau bahkan ribuan komentar yang berceceran di media sosial. Satu status fesbuk bisa dikomentari oleh puluhan komentar yang meski di antaranya ada kesamaan, seringkali komentar-komentar itu berbeda satu-sama lain.
Mengapa bisa terjadi seperti itu? Tentu saja karena komentar bermula dari persepsi dan persepsi orang itu, kata teman saya, beda-beda.
Demikianlah, untuk sementara saya tutup dulu catatan ini dengan kesimpulan, yang dengan sangat terpaksa saya pakai istilah langit; sementarat kritik berdimensi sinkronik, komentar berdimensi diakronik. Apapula ini? Nantilah. Yang pasti ini bukan klenik. Titik.
Komentar
Posting Komentar