Langsung ke konten utama

Aku Komentar Maka Aku Ada (2)

Perbedaan  kritik dan komentar: kritik melakukan penilaian kemudian menciptakan sebuah putusan. Sebuah klaim; baik atau buruk, indah atau jelek dll.

Penilaian bertitik-tolak dari sebuah keyakinan ada yang sengaja disembunyikan di balik apa yang tampak dan terlihat. Nah, yang tersembunyi ini kita sebut saja maksud, makna, yang hakiki, atau lugasnya yang orisinal.

Kritikus alias orang yang kerjanya mengeritik, juga bukan orang sembarangan. Dia biasanya punya kewenangan tertentu misal karena latar belakang riwayat pendidikan. 

Latar belakang ini penting karena nanti bisa jadi bekal untuk pertanggungjawaban atas keputusan-keputusan yang dia buat. Jadi tidak asal bunyi.

Kritikus seni, sebagai contoh, berarti orang berlatar belakang pendidikan kesenian yang kerjanya mengeritik karya seni, menentukan kualitas karya seni. 

Pertimbangan-pertimbangan kritikus seni umumnya berpijak dari dan demi karya seni itu sendiri. Perkara-perkara di luar karya seni adalah omong kosong.

Sebaliknya, komentar tidak mau pusing dengan ada atau tidaknya yang orisinal (makna, maksud, yang hakiki) di balik apa yang tampak dari sesuatu. Lagi pula usaha mencari yang ori adalah kerja sia-sia. 

Kenapa? Karena yang ori selalu merupakan hasil persilangan berbagai unsur dari berbagai sumber. Ngotot mencari yang ori "mampus kau dikoyak-koyak sepi."

Jika kritikus memburu yang ori lalu apa yang dikejar komentar? Mudahnya, komentar berusaha mengidentifikasi inti masalah dari sebuah pengamatan pada yang tampak.

Politisi uzur masih wara-wiri melakukan komunikasi politik membangun koalisi atas nama, seperti sering terlontar dari mulutnya, kesejahteraan rakyat, kepentingan umat, bangsa, dan negara. 

Di balik kata-kata manis itu, kritikus dengan konsep kekuasaan yang ada di benaknya akan bilang "halaah bilang aja udah ngebet pengen berkuasa". Sebaliknya, komentator akan berbisik "gila ya udah uzur bukannya menikmati hari tua sambil momong cucu, berkebun, atau main burung eeh ini malah sibuk urus copras-capres. Lagian pada ke mana sih anak mudanya? Pada maen mobile legend ya?" 

Komentar lain mungkin akan berbunyi udah pada tuwir masih pada gagah n ganteng aja ya dst.

Contoh lain, perhatikan deh ratusan atau bahkan ribuan komentar yang berceceran di media sosial. Satu status fesbuk bisa dikomentari oleh puluhan komentar yang meski di antaranya ada kesamaan, seringkali komentar-komentar itu berbeda satu-sama lain. 

Mengapa bisa terjadi seperti itu? Tentu saja karena komentar bermula dari persepsi dan persepsi orang itu, kata teman saya, beda-beda.

Demikianlah, untuk sementara saya tutup dulu catatan ini dengan kesimpulan, yang dengan sangat terpaksa saya pakai istilah langit; sementarat kritik berdimensi sinkronik, komentar berdimensi diakronik. Apapula ini? Nantilah. Yang pasti ini bukan klenik. Titik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

MERENTANG SAJAK MADURA-JERMAN; CERITA KYAI FAIZI MENAKLUKAN JERMAN

Siapa Kyai Faizi? Ia seorang penyair. Tak cuma itu ia selain menguasai instrumen bass, disebut basis, juga ahli bis, orang dengan kemampuan membaca dan menuliskan kembali segala hal tentang bis seperti susunan tempat duduk, plat nomor, perilaku sopir berikut manuver-manuver yang dilakukan, ruangan, rangka mesin, hingga kekuatan dan kelemahan merk bis tertentu. Terakhir, ia seorang kyai pengasuh pondok pesantren dengan ribuan santri. Ia juga suka mendengarkan lagu-lagu Turki. Pria ramping nan bersahaja ini lahir di desa Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Sebagai penyair ia  telah membukukan syair-syairnya dalam bunga rampai Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan ke-IV, 2011); kumpulan puisi Delapanbelas Plus (Diva Press, 2007); Sareyang (Pustaka Jaya, 2005); Permaisuri Malamku (Diva Press, 2011) yang terbaru adalah Merentang Sajak Madura-Jerman Sebuah Catatan Perjalanan ke Berlin (Komodo Books, 2012).   Buku disebut terakhir merekam kesan-kesan Kyai Faizi  atas berbagai ...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...