Saat selfie (swafoto), orang biasanya hanya memotret bagian paling unik serta menarik dari dirinya dan ogah menjepret bagian-bagian yang menurutnya buruk dan memalukan hingga tak layak dibagikan pada orang lain.
Sampai saat ini jarang saya lihat foto selfie orang saat ia sedang menghayati ngupil atau menguap dengan mulut menganga maksimal.
Belum pernah juga saya lihat pose selfie orang saat menikmati aksi bersih-bersih sisa makanan yang nyangkut di sela-sela gigi.
Begitulah pemirsa.
Apa-apa saja yang dipotret lalu dibagikan, itulah yang disebut sebagai citra, sedangkan tindakan terus menerus memotret bagian paling menarik dari diri untuk kemudian secara sadar dibagikan ke orang lain disebut pencitraan.
Pembelahan citra dan pencitraan menyiratkan pertanyaan, dari citra yang tertangkap oleh mata, manakah yang paling mewakili karakter "ori" seseorang yang gemar berswafoto? Bermasalahkah kejiwaan orang yang setiap saat beraksi selfie?
Sebentar. Kita perjelas dulu duduk perkaranya.
Selfie berupaya menampilkan sesuatu yang menarik. Tapi, selfie juga bermaksud menyembunyikan dan merahasiakan sesuatu yang tak menarik dari diri seseorang.
Tukang selfie teladan dengan begitu adalah orang yang piawai bermain di antara ketegangan menampilkan dan menyembunyikan sesuatu. Ia mahir dalam urusan membuka dan menutup.
Kecenderungan orang untuk hanya menampilkan yang paling menarik dari dirinya, ternyata bukan murni bersifat intern dari si juru selfie. Para penyimak juga punya kecenderungan hanya mau melihat sesuatu yang menarik dan tak mau memerhatikan bagian tak menarik.
Tukang selfie yang hanya memotret bagian paling menarik dari dirinya berdiri sejajar dengan orang lain yang hanya ingin melihat sesuatu yang menarik.
Charlie Chaplin pernah bilang, terjemahan bebasnya kira-kira, kehidupan adalah sebuah tragedi saat diamati secara close-up, tapi komedi ketika diamati secara long-shot".
Amati dua foto jenis selfie milik orang lain bisa teman, keluarga, pacar atau diri sendiri. Satu secara close up bahkan close-up maksimal sampai pori-porinya tampak, satu lagi jenis selfie yang diambil dari jarak ideal. Perhatikan dalam-dalam. Lalu rasakan bedanya.
Kekaguman mungkin akan muncul saat melihat foto selfie dari jarak ideal. Sebaliknya, saat melihat foto selfie extra-close up, perasaan mengejutkan akan muncul. Betapa menyedihkan dia.
Kendati Chaplin bicara tentang angle dan jarak pengambilan gambar, apa yang diucapkan relevan dengan kemampuan "buka-tutup" juru selfie.
Tidak perlu repot-repot mencari tahu bagian paling tidak menarik dan buruk di balik sesuatu yang menarik dan coba ditampilkan oleh ahli selfie.
Bahkan, ketika yang buruk-buruk itu sekuat tenaga coba disembunyikan, dari sebuah pengamatan yang terperinci dan jujur, yang buruk-buruk itu seolah-olah terus meronta, menghentak, dan menyeru menuntut juga untuk diamati dan dikenali.
Mengapa bisa begitu?
Ini semua bermuasal dari piranti kamera yang kalian punya.
Tentang kamera Walter Benjamin dalam salah satu esay berpengaruhnya menulis "kamera juga mengenalkan kita pada optik ketidaksadaran seperti psikoanalisa pada impuls-impuls ketidaksadaran."
Wassalam.
Komentar
Posting Komentar