Langsung ke konten utama

Makan malam di surga



Waktu itu sedang dalam suasana perkuliahan, tiba-tiba Professor Frans Magnis-Suseno S.J membelokkan topik teodise pada sebuah cerita, (sayup-sayup celetuk FMS, cerita ini sumbernya dari Gus Dur);
Di surga sedang terjadi santap malam dalam suasana penuh kehangatan dan keakraban. Sesekali terdengar suara tawa mereka, peserta makan malam.
Para peserta makan malam, berasal dari latar belakang agama yang berbeda-beda. Saat masih di dunia, orang-orang ini dikenal sangat baik dan saleh.
Di tengah keasyikan menikmati makan malam, malaikat yang melakukan pengawasan dan pelayanan, merasakan ada yang tak beres.
Jumlah peserta makan malam tidak cocok dengan nama-nama penghuni surga yang terdata di catatannya.
Gawat! Satu orang ternyata tak menghadiri jamuan makan malam!
Takut kena tegur Tuhan, malaikat buru-buru melakukan pemeriksaan ke tiap-tiap ruangan.
Cukup lama malaikat melakukan penyisiran sebelum akhirnya berhasil menemukan satu orang, makan malam sendirian di kamarnya;
Wajahnya terlihat kesal, merengut, dan malas-malasan menyantap makanan. Kita sebut saja namanya dengan inisial F.
Malaikat langsung menghampiri, mengajaknya bicara dari hati ke hati, mencari tahu alasan kenapa ia tidak mau bergabung makan malam dengan warga surga lainnya.
Saat ditanya malaikat, apakah sedang kurang sehat? F menggelengkan kepala. Menu makan malam tidak menggugah seleranya? F jawab tidak.
Lantas apa masalahnya? Dengan mengerahkan kemampuan yang dimiliki, malaikat berhasil mengorek keterangan dari F.
Konon, saat masih di dunia, F punya keyakinan kelak yang masuk surga hanya orang-orang yang seagama dengan F, lebih khusus lagi dari mazhab F sendiri.
Tapi kenyataan bicara lain. Surga dipenuhi orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang keyakinan. Bahkan termasuk F sendiri.
Mendapati kenyataan itu, hati F terluka. Kepercayaannya saat di dunia bertolak belakang dengan kenyataan di surga. F makin nelangsa. Ia galau lahir batin. F tak rela surga dipenuhi orang-orang baik dengan latar belakang agama berbeda-beda.
Malaikat coba membujuk dan membesarkan hati F. Sayang, F terlanjur kukuh memegang pendiriannya bahwa surga sejatinya hanya untuk orang-orang dari kelompoknya.
Malaikat pun menyerah. Dengan langkah gontai malaikat berlalu pergi dari kamar F. Meninggalkan F seorang diri di kamar. Menjalani hari-hari di surga dengan tetap menjaga jarak dengan yang lain.
Sekian.
(Cerita ini tentu dengan penambahan dramatisasi di sana sini dari saya, tau sendiri FMS kan kalo bercerita suka gimanaa gitu)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...