Langsung ke konten utama

Negara Egois

Thomas Hobbes (courtesy:www.wikipedia.com)


Hai kaum egois!
Dalam kesendirian dan kesunyian malam di Februari yang dingin, dirimu mungkin pernah bertanya mengapa tindakanku harus sesuai dengan tata tertib dan harus pula mematuhi aturan-aturan yang berlaku?
Kenapa gw ga boleh melakukan apa yang membuat gw senang, dan menciptakan hukum buat gw sendiri?
Mengapa gw harus menerima adanya hak-hak orang lain dan diakui oleh hukum yang berlaku pula buat gw, dan saat yang sama mengakui kewenangan pihak lain membatasi ruang gerak gw untuk harus begini ga boleh begitu?
Mengapa oh mengapa!
Model-model pertanyaan di atas bisa dipastikan lahir dari mulut orang-orang yang menempatkan kepentingan diri di atas kepentingan orang lain.
Dalam situasi sosial dipenuhi orang-orang yang memosisikan "diri sebagai panglima," bisa dipastikan bentrok akan sering terjadi, tawuran merebak di lorong-lorong kota, berita tentang kekacauan dan kerusuhan jadi santapan sehari-hari, jual-beli di pasar lumpuh, hak milik pribadi selalu dalam ancaman, "kehidupan manusia, kesepian, melarat, kejam, brutal, dan singkat."
Pertanyaannya, bagaimana hukum, lewat negara, bisa mengendalikan dan mengonsolidasikan tipikal warganya yang egois?
Tuan Thomas Hobbes (1588-1679) punya jawaban ciamik. Ciptakan sosok imajiner melampaui manusia konkret; sosok itu mesti memiliki kekuatan sangat dahsyat, mengerikan sekaligus menggagumkan. Satu lagi ia harus super-egois. Hobbes menyebutnya dengan Leviathan.
Hanya Leviathan, awas jangan salah ucap jadi lesbian, yang bisa mengendalikan orang-orang egois, membuatnya jinak, patuh, dan dengan sukarela menyesuaikan sepak terjangn semau gwnya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Kalian pasti rajin naik sepeda motor dan sering terlibat kesemrawutan jalanan ibu kota. Kacau lahir batin bukan? Tapi, lihatlah kemacetan itu pelan tapi pasti terurai dengan sendirinya meski saat itu polisi absen dan rambu-rambu lalu lintas nihil.
Begitulah, kumpulan besar orang-orang egois berhasil menciptakan sendiri kekuatan superegois di antara mereka, untuk kemudian tercipta keteraturan dan kelenturan. Meski hanya sementara.
Ingatlah pula oleh kalian salah satu dialog antara si muka parut dengan X di film XXX, "untuk menaklukan monster kau harus menjadi monster." Meski sedikit meleset, bolehlah kutipan ini ditaruh di mari. Apakah sutradara film ini pembaca Hobbes? Meneketehe.
Gambar Leviathan di atas akan lecek dan kucel ketika di keseharian kita temukan fakta ternyata manusia tidak seegois dan segarang yang dibayangkan Tuan Hobbes. Artinya, hakikat manusia itu ternyata baik, lucu, dan menggemaskan.
Kalaupun ada yang tidak beres dari manusia, misal terlalu egois, lebay, dan suka bikin kesel, itu hanya sebagian kecil dari yang kita kenal dari keseluruhan manusia.
Nah, yang terakhir itu secuil pandangan dari Jean-Jacques Rousseau, nantilah kita ajak ngopi bareng.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hamsad Rangkuti dan Dua Cerpennya

Hamsad Rangkuti adalah salah satu penulis cerita pendek terbaik dan otentik. Ia, satu dari sedikit cerpenis kita yang mau dan mampu merumuskan pertanggungjawaban kepengarangannya secara cerdas dan tangkas. Ia cuplik satu fragmen kecil tentang dan dari  kehidupan sehari-hari lalu menuangkannya dalam sebuah Cerpen yang mengesankan. Cerpennya relatif tak berurusan dengan perkara-perkara besar dalam peta besar pemikiran misal menyangkut ideologi besar, pertentangan adat, kesamaan hak, atau lainnya.  Tapi, kendati demikian di balik cerpen-cerpennya yang sederhana tersirat begitu banyak suara, membuka peluang aneka tafsir. "Malam Takbir" (1993), "Reuni" (1994) keduanya di dalam buku "Kurma, Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas" (Kompas:2002) adalah Cerita pendek yang unik. Secara teknik keduanya bisa dibaca sendiri-sendiri tapi dapat pula dinikmati sebagai sebuah kesinambungan, semacam dwilogi. Berlatar hari-hari terakhir ramadan kedua Cerpen bertut...

KUTUKAN ADAT DARI TIGA CERITA

Tiga cerita pendek, Tambo Kuno dalam Lemari Tua dari Muhammad Harya Ramdhoni (dalam Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air , Penerbit Koekoesan, 2012), Kode dari Langit dari Dian Balqis (dalam Maaf …Kupinjam Suamimu Semalam , Kiblat Managemen, 2012) dan Mengawini Ibu dari Khrisna Pabichara (dalam Gadis Pakarena , Penerbit Dolphin, 2012) mengemukakan suatu tema serupa: kutukan adat! Ketiga cerpen, dengan berbagai pengucapan khas masing-masing pengarang Ramdhoni yang memadukan hikayat dengan cerita pendek, Balqis dengan style sastra perkotaan, dan Pabichara dengan model penceritaan lazimnya cerpen-cerpen populer di koran-koran, serentak melakukan persekutuan diam-diam melakukan penilaian atas adat. Ketiga cerpen mengedepankan aktualitas adat dan pada saat bersamaan mengemukakan suatu ironi pada setiap usaha menentang dominasi adat. Begini ceritanya. Tambo Kuno Mencatat Barbarisme Sampul Buku Kitab Hikayat Tambo Kuno dalam Lemari Tua (disingkat Tambo) adala...

Novel Mada: Sebuah Kegalauan Pada Nama

Cover Novel Mada Novel Mada, Sebuah Nama Yang Terbalik (Abdullah Wong, Makkatana:2013) benar-benar novel yang istimewa. Pada novel ini pembaca tak akan menemui unsur-unsur yang biasanya terdapat pada novel konvensional seperti setting, alur, penokohan yang jelas, dan seterusnya. Di novel ini penulis juga akan menemui perpaduan unsur-unsur yang khas prosa dan pada saat bersamaan dimensi-dimensi yang khas dari puisi. Penulisnya tampak sedang melakukan eksperimen besar melakukan persenyawaan antara puisi dengan novel. Sebuah eksperimen tentu saja selalu mengundang rasa penasaran bagi kita tapi sekaligus membangkitkan rasa cemas bagi pembaca. Kecemasan itu terutama bermuara pada pertanyaan apakah eksperimen penulis Mada cukup berhasil? Apakah ada sesuatu yang lantas dikorbankan dari eksperimen tersebut?  Uraian berikut ini akan mencoba mengulasnya. Dalam kritik sastra mutakhir terdapat salah-satu jenis kritik sastra yang disebut penelaahan genetis ( genetic criticism ). Pen...